TangerangNews.com

Gegara Mahasiswanya Pakai ChatGPT, Dosen Ini Pilih Berhenti Mengajar

Fahrul Dwi Putra | Senin, 7 Oktober 2024 | 06:30 | Dibaca : 207


Ilustrasi AI ChatGPT (@TangerangNews / Istimewa)


TANGERANGNEWS.com- Seorang dosen memutuskan berhenti mengajar setelah hampir 20 tahun berkecimpung di dunia akademik. 

Dikutip dari Tim Magazine, alasan utama di balik keputusannya adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI), seperti ChatGPT, oleh mahasiswa yang semakin marak. 

Hal ini, menurut dosen bernama Livingstone itu telah menghambat proses kreatif dan pemikiran kritis dalam menulis, yang seharusnya dipelajari oleh para mahasiswa.

"Menulis bukan hanya menyalin pemikiran yang sudah ada di pikiran penulis," tegas Livingstone, mengutip pemikiran ahli sejarah Lynn Hunt. "Menulis adalah proses yang erat kaitannya dengan berpikir," tambahnya.

Selama masa studinya, Livingstone mengaku menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyusun disertasinya. 

Baginya, menulis adalah cara untuk menyelesaikan teka-teki intelektual yang rumit. Namun, saat ini, banyak mahasiswanya yang tidak lagi mau menghadapi tantangan tersebut. 

"Dengan adanya AI, banyak bahkan mungkin sebagian besar mahasiswa saya tidak lagi bersedia berjuang melewati rasa tidak nyaman yang muncul dalam proses menulis," katanya.

Di tempat mengajarnya yang terakhir, Livingstone mengajar penulisan akademik kepada mahasiswa doktoral. Ironisnya, meskipun para mahasiswa ini paham bahwa AI sering menghasilkan kesalahan, seperti kutipan yang salah atau informasi yang tidak akurat, mereka tetap bergantung pada teknologi ini. 

Beberapa di antaranya bahkan secara terang-terangan mengakui bahwa mereka menggunakan ChatGPT untuk menulis artikel dari catatan kasar yang mereka buat.

"Saya sudah mencoba berbagai cara untuk mengatasi hal ini," ujar Livingstone. 

Ia bahkan merancang tugas khusus di mana mahasiswanya harus membandingkan tulisan asli mereka dengan versi yang dihasilkan oleh ChatGPT. Namun, banyak dari mereka tidak mampu mengidentifikasi kelemahan dalam hasil AI. 

"Salah satu mahasiswa PhD saya bahkan berkata, 'Ini membuat tulisan saya terlihat lebih rapi,' padahal saya sudah menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam teks yang dihasilkan AI," sambungnya.

Tak hanya itu, banyak mahasiswa juga bergantung pada alat parafrase berbasis AI seperti Quillbot. 

Livingstone berpendapat bahwa parafrase yang baik memerlukan pemahaman yang mendalam. 

"Alat parafrase ini sering menghasilkan tulisan yang tidak konsisten, tidak membantu menghindari plagiarisme, dan memungkinkan mahasiswa mengabaikan pemahaman mendalam terhadap materi," jelasnya.

Livingstone merasa bahwa mahasiswa yang mengandalkan AI dalam menulis telah kehilangan kesempatan berharga untuk berpikir lebih dalam tentang penelitian mereka. 

"Seperti yang dikatakan oleh penulis Ted Chiang, menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas adalah seperti membawa forklift ke dalam gym; Anda tidak akan pernah melatih kebugaran kognitif Anda seperti itu," tambahnya.

Meski begitu, Livingstone mengakui bahwa AI memang bisa membantu memperbaiki tata bahasa, terutama bagi mahasiswa yang bukan penutur asli bahasa Inggris, namun ia tetap menegaskan bahwa teknologi ini sering mengubah makna dari teks asli. 

"Mahasiswa saya sering tidak memiliki keterampilan untuk mengidentifikasi perubahan halus dalam makna ini," katanya.

Pada akhirnya, masalah terbesar bagi Livingstone bukanlah mendeteksi tulisan yang dihasilkan AI, tetapi kenyataan bahwa ia harus menghabiskan lebih banyak waktu memberi umpan balik kepada teks yang ditulis oleh AI daripada kepada mahasiswanya sendiri. 

"Saya menghabiskan lebih banyak waktu memberi umpan balik kepada AI daripada kepada manusia," ujarnya.

Karena alasan ini, Livingstone akhirnya memilih untuk berhenti. Namun, ia menekankan bahwa mahasiswa harus bersedia menghadapi ketidaknyamanan yang muncul selama proses belajar.