TangerangNews.com

Pseudo Absolute dan Ilusi Demokrasi: Refleksi 100 Hari Pemerintahan Kota Tangerang

Rangga Agung Zuliansyah | Kamis, 29 Mei 2025 | 19:21 | Dibaca : 848


Khikmawanto, Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Yuppentek Tangerang dan Pendiri Garasi Baca “Revolusi Senja”. (@TangerangNews / Khikmawanto)


Oleh: Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Pengajar di Universitas Yuppentek Indonesia.

 

TANGERANGNEWS.com-Reformasi di Indonesia telah mengamanatkan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai upaya fundamental untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif. Harapannya, kekuasaan terdistribusi, kontrol publik menguat, dan pembangunan daerah dapat berpihak pada kepentingan rakyat secara utuh.

Namun, realitas di tingkat lokal seringkali menampilkan dinamika kekuasaan yang kompleks, di mana prinsip-prinsip ini dapat tergerus oleh kekuatan-kekuatan informal. Di Kota Tangerang, sebuah fenomena yang dapat disebut "pseudo absolute" tampaknya tengah beroperasi, di mana kendali pemerintahan secara de facto berada di genggaman kekuatan di luar struktur resmi. Ini adalah bayang-bayang yang terasa kental, bahkan dalam 100 hari pertama kepemimpinan Walikota yang baru.

 

Memahami Konsep "Pseudo Absolute" dalam Konteks Lokal

Konsep "pseudo absolute" ini, meskipun tidak secara eksplisit diuraikan sebagai istilah baku dalam literatur pemerintahan lokal, merujuk pada ilusi desentralisasi atau demokrasi di mana kekuasaan terlihat terbagi, namun sebenarnya dikendalikan oleh satu atau beberapa aktor atau kelompok di luar struktur resmi pemerintahan. Ini adalah gambaran tentang bagaimana sebuah pemerintahan yang secara konstitusional sah dapat kehilangan otonomi penuhnya karena intervensi kekuatan non-formal.

Di Kota Tangerang, indikator utama dari "pseudo absolute" ini adalah adanya pengaruh dominan dari kelompok atau figur kuat yang diduga memiliki kendali signifikan terhadap proses birokrasi Pemerintahan. Situasi ini menciptakan kondisi di mana keputusan krusial dan arah kebijakan kota, meskipun secara formal di tangan Walikota yang menjabat, dapat dibentuk dan diarahkan dari balik layar oleh kelompok atau figur tersebut.

 

Mekanisme Pengendalian: Dari Penempatan Pejabat hingga Minimnya Terobosan Nyata

Pengaruh kelompok atau figur kuat ini bekerja melalui jalur yang tidak formal namun efektif. Selama atau setelah periode mereka berkuasa secara resmi, kelompok atau figur ini disinyalir membangun dan mempertahankan jaringan patronase yang kuat, baik di dalam birokrasi maupun di antara elit politik lokal. Jaringan ini, yang diisi oleh individu-individu yang mungkin mendapatkan keuntungan atau perlindungan dari mereka, tidak serta-merta bubar saat status formal mereka berubah.

Sebaliknya, ia menjadi fondasi bagi pengaruh di kemudian hari. Pengaruh tersebut dapat termanifestasi dalam bentuk rekomendasi terselubung, lobi-lobi senyap, atau bahkan tekanan tidak langsung kepada Walikota atau pejabat yang sedang menjabat untuk memastikan "orang-orang mereka" menduduki posisi kunci, seperti kepala dinas, direktur BUMD, atau posisi staf yang strategis.

Pejabat yang ditunjuk, dalam banyak kasus, mungkin bukan semata-mata dipilih berdasarkan prinsip meritokrasi dan kompetensi terbaik, melainkan juga loyalitas atau kedekatan dengan kelompok atau figur sentral ini. Mereka seolah menjadi "perpanjangan tangan" yang memastikan agenda dan kepentingan tertentu tetap terakomodasi dalam setiap kebijakan dan proyek kota. Dengan menguasai posisi-posisi penting ini, kendali terhadap anggaran, proyek-proyek pembangunan, perizinan, dan arah kebijakan kota dapat tetap terjaga, bahkan tanpa harus memegang palu kekuasaan secara resmi.

Di sisi lain, bertepatan dengan 100 hari kepemimpinan Walikota yang baru, indikasi "pseudo absolute" juga semakin terlihat dari minimnya terobosan nyata atau kurangnya inisiatif signifikan dari Walikota sendiri, serta kecenderungan Walikota untuk tidak tampil di garis depan. Visi "Kota Tangerang Maju Bersama" yang diusung oleh kepemimpinan saat ini, dengan lima pilarnya yang ideal—mulai dari kolaborasi, kemajuan, kesejahteraan, keberlanjutan, hingga karakter akhlakul karimah—sejatinya menuntut kepemimpinan yang kuat, mandiri, dan visioner untuk diterjemahkan menjadi program konkret.

Namun, evaluasi awal dalam 100 hari pertama mengindikasikan adanya celah antara harapan dan realita. Jika Walikota sendiri tampak minim gagasan baru dan justru lebih banyak Wakil Walikota yang menonjol dalam sorotan publik, pertanyaan mendasar muncul: siapa yang sesungguhnya memegang kemudi utama dalam mewujudkan visi tersebut?

Terobosan yang diharapkan, misalnya perombakan besar birokrasi, reformasi pelayanan publik yang mendasar, atau peluncuran proyek-proyek inovatif yang berani, mungkin tertahan karena adanya perhitungan politik di luar struktur formal. Fenomena ini sejalan dengan pandangan Richard Robison dan Vedi R. Hadiz dalam buku mereka, "Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets" (2004), yang menyoroti bagaimana struktur oligarki lokal dan nasional dapat membatasi ruang gerak aktor politik baru, bahkan setelah pergantian kepemimpinan.

Mereka menunjukkan bagaimana kekuasaan informal dapat mengkooptasi atau menghambat reformasi yang mengancam status quo. Minimnya inisiatif signifikan dari Walikota di awal masa jabatannya dapat menjadi indikasi bahwa ruang geraknya untuk menerjemahkan visi ini secara murni pro-rakyat sedang terbatasi oleh tekanan-tekanan informal.

 

Dampak "Pseudo Absolute" terhadap Tata Kelola Pemerintahan

Dampak dari fenomena "pseudo absolute" ini terhadap tata kelola pemerintahan Kota Tangerang sangat signifikan dan cenderung negatif. Transparansi dan akuntabilitas pemerintahan dapat terkikis. Jika keputusan-keputusan penting telah "dikunci" oleh kekuatan di belakang layar, pelacakan pertanggungjawaban menjadi sulit. Publik mungkin kesulitan memahami mengapa suatu kebijakan diambil atau proyek tertentu didahulukan, karena alasan yang sebenarnya bukan berasal dari pertimbangan formal.

Pejabat yang ditunjuk berdasarkan loyalitas, bukan meritokrasi, cenderung lebih tunduk kepada sang "patron" daripada kepada aturan atau tuntutan publik. Risiko korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pun menjadi lebih tinggi. Penempatan individu yang tidak kompeten tetapi loyal membuka celah bagi praktik KKN. Proyek pembangunan, pengadaan barang dan jasa, atau perizinan usaha dapat diarahkan untuk menguntungkan kelompok tertentu yang terafiliasi dengan figur informal ini, mengorbankan kepentingan publik.

Fenomena ini telah menjadi perhatian umum dalam studi tentang tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia, di mana jaringan clientelism dan patronase seringkali menjadi penghambat pembangunan yang bersih dan efisien (untuk konteks umum, lihat: Edward Aspinall, "Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia" (2005), yang membahas bagaimana jaringan kekuasaan informal dapat bertahan dan beradaptasi pasca-regim). Akibatnya, pembangunan kota menjadi tidak optimal dan cenderung bias.

Kebijakan dan program pemerintah mungkin tidak sepenuhnya berpihak pada kepentingan umum masyarakat luas, melainkan lebih melayani agenda sempit dari kelompok yang diwakili oleh "orang-orang" yang ditempatkan. Inovasi, efisiensi, dan kualitas pelayanan publik dapat terhambat karena birokrasi lebih fokus pada pemenuhan ekspektasi figur informal daripada pada peningkatan kinerja berbasis kebutuhan masyarakat.

 

Prospek ke Depan: Melampaui Bayang-Bayang Kekuatan

Fenomena "pseudo absolute" di Pemerintahan Kota Tangerang, yang dimanifestasikan melalui kendali kelompok atau figur kuat terhadap penempatan pejabat dan potensi minimnya terobosan serta kecenderungan Walikota untuk tidak tampil di garis depan, merupakan sebuah pandangan analitis dan observasi kritis terhadap dinamika kekuasaan lokal. Meskipun esai ini adalah opini dan belum didukung oleh penelitian empiris spesifik untuk Kota Tangerang, argumen yang dibangun berbasis pada pola-pola umum yang dapat diamati dalam sistem politik desentralisasi di Indonesia dan relevan dengan dinamika politik 100 hari pertama kepemimpinan.

Ini adalah ancaman serius bagi prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Ini menghambat meritokrasi, transparansi, dan efisiensi birokrasi, serta berpotensi merugikan kepentingan publik demi kepentingan segelintir elit. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan keberanian politik yang sungguh-sungguh dari pemimpin yang menjabat untuk menegakkan meritokrasi dan independensi birokrasi, penguatan peran lembaga pengawas seperti DPRD, peningkatan transparansi dalam proses rekrutmen dan promosi jabatan, serta partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Tanpa kesadaran dan upaya kolektif ini, ilusi demokrasi akan terus berlanjut, dan potensi Kota Tangerang untuk maju secara adil dan transparan akan terhambat oleh bayang-bayang kekuasaan yang tak terlihat, bahkan di awal masa kepemimpinan yang baru.