TangerangNews.com

Cuaca Ekstrem, Panen Gagal: Adaptasi Iklim Kini Wajib di Pertanian

Rangga Agung Zuliansyah | Senin, 23 Juni 2025 | 15:01 | Dibaca : 52


Aulia Rizqy Nur Fadillah, Mahasiswa UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Prodi Agribisnis (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Aulia Rizqy Nur Fadillah, Mahasiswa UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Prodi Agribisnis

 

TANGERANGNEWS.com-Saat ini penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil kian meningkat yang menyebabkan makin tingginya gas rumah kaca. Gas Rumah kaca tersebut menyebabkan perubahan iklim yang berdampak pada munculnya fenomena cuaca ekstrem secara global.

Menurut sebuah artikel yang ditulis dalam laman resmi Desa Papayan Kabupaten Tasikmalaya, cuaca ekstrem merupakan kondisi cuaca yang di luar batas normal dan dapat menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sistem pangan. Fluktuasi cuaca yang tajam, seperti banjir, kekeringan, dan badai yang sering terjadi dapat berdampak buruk pada hasil panen, produksi pangan, dan keberlanjutan perekonomian. Meningkatnya frekuensi dan intensitas pola cuaca ekstrem ini telah menjadi perhatian serius bagi masyarakat, terutama petani dan peternak. 

Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), saat ini sebagian besar wilayah Indonesia masih menunjukkan pola peralihan dari musim hujan ke musim kemarau atau yang kita kenal dengan istilah masa pancaroba. Dalam rentang waktu ini, pola cuaca umumnya cenderung cerah berawan pada pagi hingga menjelang siang hari, lalu berubah menjadi hujan disertai petir pada sore hingga malam hari. Meskipun demikian, dalam sepekan terakhir sejumlah wilayah di Indonesia mengalami hujan sangat lebat hingga hujan ekstrem yang memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan banjir bandang. 

Dampak cuaca ekstrem terhadap sektor pertanian salah satunya terjadi di Kabupaten Gresik. Dikutip dari laman KabarBaik.co pada 12 Januari 2025 lalu gagal panen melanda perkebunan jagung warga yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Hujan lebat yang terjadi terus-menerus mengakibatkan merebaknya hama tikus yang menyerang ladang jagung milik warga.

Selain itu, curah hujan yang tinggi juga mengakibatkan tongkol jagung mengecil dan tidak dapat mengeluarkan bulir jagung. Kejadian ini serupa dengan yang dialami oleh salah seorang petani asal Kabupaten Pangandaran. Ia mengeluhkan kualitas panen padi  dengan bulir padi yang sangat kecil dan tidak normal sebagai akibat dari sawah miliknya yang sering terendam banjir (Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada, 2022). 

Cuaca ekstrem tidak hanya terkait hujan dengan intensitas tinggi yang terus-menerus, tetapi juga terkait dengan kekeringan yang parah. Salah satu wilayah Indonesia yang terkena dampaknya adalah Kabupaten Maluku Tengah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Latuny dkk (2022), Kabupaten Maluku Tengah mengalami fenomena cuaca ekstrem yang disebut El-Nino dan La-Nina. El Nino diikuti dengan penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara, sedangkan kejadian La Nina merangsang kenaikan curah hujan di atas curah hujan normal.

Kedua anomali iklim tersebut tidak menguntungkan bagi produksi pertanian, karena penurunan drastis curah hujan akibat El Nino dapat menimbulkan kegagalan panen akibat kekeringan, sedangkan kenaikan curah hujan akibat La Nina dapat menimbulkan banjir dan merangsang peningkatan gangguan organisme pengganggu tanaman (Malhi et al., 2021).

Dari beberapa contoh peristiwa tersebut kita mendapatkan fakta bahwa cuaca ekstrem benar-benar memberikan dampak yang sangat merugikan bagi sektor pertanian nasional. Akibat cuaca ekstrem, komoditas pertanian terganggu karena ketidakseimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembangnya tanaman. Hal tersebut sangat merugikan bagi para petani dan jika masalah ini tidak segera ditangani maka akan menyebabkan masalah lain yang lebih besar.

Masalah-masalah tersebut di antaranya krisis pangan dan kelangkaan bahan pangan, kenaikan harga pangan, menurunnya pendapatan dan kesejahteraan petani, ketergantungan pada impor bahan pangan, menurunnya kualitas gizi dan kelaparan di masyarakat. Secara garis besar, terganggunya sektor pertanian menciptakan efek domino yang mengancam stabilitas ekonomi, sosial, dan ketahanan nasional. Oleh karena itu, sektor pertanian harus melakukan adaptasi terhadap fenomena cuaca ekstrem yang kian meningkat. 

Adaptasi adalah suatu proses yang menempatkan manusia yang berupaya mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan untuk menghadapi lingkungan dan kondisi sosial yang berubah-ubah agar tetap bertahan (Robbins, 2003). Adaptasi dalam hal ini perlu dilakukan oleh para petani agar dapat tetap produktif dan bertahan di kondisi cuaca yang ekstrem. Adaptasi tersebut di antaranya: memilih dan menanam bibit tanaman yang tahan terhadap kondisi cuaca ekstrem menjadi langkah penting untuk mengurangi risiko kegagalan panen.

Petani didorong untuk menggunakan benih yang telah dikembangkan secara genetik agar tahan terhadap kekeringan, genangan air, atau serangan hama dan penyakit. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, varietas unggul padi yang dapat beradaptasi lebih baik terhadap perubahan iklim ini antara lain Inpara (Inbrida Padi Rawa) 3 hingga Inpara 10, Inpari (Inbrida Padi Irigasi) 29 dan 30. Dengan meningkatkan daya tahan terhadap cekaman cuaca ekstrem dan serangan penyakit, varietas baru padi tersebut memiliki produktivitas hingga 9 ton per tahun. 

Selain itu, strategi diversifikasi tanaman dengan menanam lebih dari satu jenis komoditas dalam satu lahan atau dalam satu musim dapat menjadi bentuk asuransi alami terhadap kerugian. Cara ini ditunjang dengan memanfaatkan teknologi untuk sistem pengairan otomatis seperti irigasi tetes pada saat musim kemarau dan menggunakan sistem saluran perpipaan yang terintegrasi.

Pendekatan adaptasi juga merambah pada pengelolaan hama dan penyakit. Untuk mengatasi hama menggunakan perangkap yang diizinkan dan aman. Hindari penggunaan racun tikus yang berbahaya bagi lingkungan sekitar dan manusia, serta ramah lingkungan dalam pengendalian hama agar ekosistem pertanian tetap seimbang. Di sentra produksi bawang merah Brebes, petani menggunakan perangkap hama berbasis feromon untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia yang dapat mencemari tanah dan air.

Selain petani, pemerintah juga harus ikut berperan penting dalam upaya adaptasi perubahan cuaca ekstrem terhadap pertanian. Di antaranya, seperti pemerintah memberikan pelatihan dan penyuluhan secara rutin tentang perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan strategi adaptasi yang tepat. Upaya peningkatan kapasitas ini telah dilakukan melalui program Sekolah Lapang Iklim (SLI). Program yang dikembangkan BMKG dan bekerja sama dengan berbagai pihak ini bertujuan meningkatkan pemahaman petani dan petugas penyuluh pertanian terhadap data serta informasi iklim yang dapat diaplikasikan pada aktivitas pertanian.

Literasi iklim dapat mencakup pemahaman tentang pola musim yang baru, teknik pertanian adaptif, serta cara mengantisipasi risiko gagal panen. Program-program ini juga harus dilengkapi dengan informasi praktis dan mudah dipahami, agar dapat langsung diterapkan oleh petani di lapangan. Kemudian pemerintah dapat memberikan bantuan berupa subsidi pupuk, bibit dan pestisida kepada para petani. 

Untuk menghadapi tantangan ini, adaptasi terhadap cuaca ekstrem menjadi langkah yang tidak bisa ditunda. Para petani perlu menerapkan strategi adaptasi mulai dari penggunaan benih tahan cuaca ekstrem, diversifikasi tanaman, sistem irigasi yang memanfaatkan teknologi modern, hingga pengendalian hama ramah lingkungan. Di sisi lain, peran pemerintah sangat penting dalam memberikan dukungan, baik melalui pelatihan dan penyuluhan, bantuan alat dan bahan pertanian, maupun kebijakan yang mendorong pertanian berkelanjutan.

Sinergi antara petani, pemerintah, dan lembaga riset menjadi kunci untuk memperkuat ketahanan sektor pertanian terhadap dampak perubahan iklim. Melalui kombinasi ini adaptasi terhadap cuaca ekstrem tidak lagi bersifat reaktif, melainkan menjadi strategi jangka panjang. Upaya ini perlu dilanjutkan dan diperluas agar ketahanan pangan nasional tetap terjaga meskipun berada dalam tekanan iklim global yang semakin tidak menentu.