TANGERANGNEWS.com- Fenomena LGBT kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah pasangan sesama jenis viral di media sosial.
Reaksi masyarakat pun terbelah, ada yang memaklumi namun tak sedikit pula yang mengecam. Tak hanya dinilai semakin berani menunjukkan eksistensinya, jumlah individu LGBT juga disebut semakin bertambah.
Lantas, apa yang menjadi penyebab di balik makin terbukanya kelompok LGBT di Indonesia?
Menjawab hal tersebut, seksolog Zoya Amirin memberikan pandangannya dalam sebuah diskusi yang disiarkan secara langsung.
Menurutnya, perubahan sosial yang cepat akibat perkembangan teknologi, terutama media sosial, menjadi salah satu pemicu utama.
"Kalau misalnya soal berani atau tidak ini sebenarnya juga pengaruh dari teknologi. Teknologi sosial media. Kita terasa dampaknya, tiba-tiba semua orang bisa beropini. Sayangnya bahwa opinionate atau sebuah opini tidak semata-mata juga adalah fakta," jelas Zoya.
Ia menyebut, setiap individu saat ini seolah memiliki panggungnya sendiri untuk menyampaikan pandangan dan pengalaman pribadinya, termasuk mereka yang berasal dari komunitas LGBT.
Hal inilah yang menurutnya menjadi pedang bermata dua karena tidak semua informasi yang tersebar berbasis data atau pemahaman ilmiah.
Lebih jauh, Zoya menjelaskan, dalam dunia psikologi dan psikiatri, orientasi seksual seperti lesbian, gay, dan biseksual dipandang berbeda dari transgender. Kata dia, orientasi seksual bukanlah suatu penyakit ataupun gangguan mental.
"Di sini kami meletakkan bahwa orientasi seksual itu bukanlah sebuah gangguan, bukanlah sebuah penyimpangan," ujarnya.
Zoya menjelaskan, pihaknya sebagai psikolog menggunakan berbagai pedoman ilmiah dalam memahami isu ini. Antara lain ICD-10 dan ICD-11 dari WHO, DSM-5 yang berlaku secara internasional, serta PPDGJ III yang digunakan di Indonesia.
Namun berbeda halnya dengan kasus transgender, yang dalam praktik klinis bisa masuk ke dalam ranah diagnosis ketika individu mengalami ketidaksesuaian antara identitas gender dan jenis kelamin biologis sejak lahir.
Dalam konteks ini, Zoya menyebut istilah transeksual pernah digunakan untuk menyebut individu yang menjalani proses medis seperti operasi pergantian kelamin.
Menanggapi bertambahnya istilah dalam akronim LGBT, Zoya menjelaskan bahwa saat ini dikenal juga istilah LGBTQ+, di mana huruf Q mengacu pada “questioning” bagi mereka yang masih mempertanyakan orientasi seksualnya, atau “queer” sebagai identitas yang tidak terdefinisi secara spesifik.
Ia juga menyinggung skala Kinsey sebagai dasar pemahaman spektrum orientasi seksual, yang menunjukkan bahwa orientasi tidak bersifat mutlak antara heteroseksual atau homoseksual, melainkan bisa berada di antara keduanya. Dari pemahaman ini, muncul pula istilah seperti interseks, aseksual, hingga panseksual.
"Kalau hari ini saya mengidentifikasikan diri saya seperti ini, bukan berarti besoknya pasti akan pakem seperti itu. Jadi kita menyebutnya sebagai seksual fluidity atau yang mengalir sangat dinamis,"jelas Zoya.
Menurutnya, orientasi seksual merupakan persoalan preferensi emosional dan fisik, bukan sekadar urusan alat kelamin. "Orientasi seksual itu adalah preference soal hati, soal fisik, bukan soal kelamin," katanya.