TangerangNews.com

Ada Anomali, BMKG Ungkap Penyebab Hujan Masih Terjadi di Musim Kemarau Juli 2025

Fahrul Dwi Putra | Senin, 7 Juli 2025 | 10:01 | Dibaca : 463


Banjir di Kota Tangerang usai diguyur hujan deras, Selasa 17 Juni 2025, malam, (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


TANGERANGNEWS.com- Memasuki awal Juli 2025 yang seharusnya menjadi awal musim kemarau, hujan dengan intensitas tinggi justru masih mengguyur sejumlah wilayah Indonesia. 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, fenomena ini merupakan bagian dari anomali iklim yang sudah terdeteksi sejak Mei 2025.

Menurut BMKG, hujan dengan curah tinggi di atas normal mulai terpantau sejak awal Mei dan hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda mereda. 

Bahkan pada akhir Juni, sekitar 53 persen wilayah Indonesia masih mengalami hujan dengan intensitas di atas rata-rata.

"Hujan dengan sifat atas normal terjadi di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan, sebagian Sulawesi, Maluku, dan Papua," tulis BMKG melalui keterangan resminya, Senin, 7 Juli 2025 dikutip dari CNN Indonesia 

Dalam sepekan terakhir, BMKG mencatat curah hujan ekstrem di dua stasiun, yakni Stasiun Geofisika Deli Serdang dengan curah hujan 142 mm dan Stasiun Meteorologi Rendani, Papua Barat sebesar 103 mm pada 2 Juli 2025.

BMKG menyebut, dinamika atmosfer yang masih aktif menjadi penyebab utama hujan masih terjadi, meski Madden-Julian Oscillation (MJO) sudah memasuki fase 2 atau fase Samudra Hindia yang secara umum tidak mendukung pembentukan awan hujan.

Namun, beberapa faktor lain turut memperkuat pembentukan awan hujan di Indonesia. Salah satunya adalah lemahnya Monsun Australia yang membuat atmosfer di sebagian besar wilayah selatan Indonesia tetap lembap.

Selain itu, aktivitas atmosfer intra-musiman seperti MJO dan gelombang ekuator juga turut mendorong terbentuknya awan hujan. Gelombang ekuator yang berperan aktif saat ini meliputi Rossby Ekuator, gelombang Kelvin, dan gelombang Low Frequency.

BMKG menjelaskan, gelombang-gelombang ini memperkuat proses konveksi awan hujan terutama di wilayah Sumatera bagian timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara, dan selatan Pulau Jawa. 

Ditambah dengan kelembapan udara yang tinggi dan suhu muka laut yang hangat, kondisi ini sangat mendukung terjadinya hujan.

"Kewaspadaan ini penting, khususnya di wilayah yang masih rentan terhadap kejadian cuaca ekstrem, meskipun sebagian wilayah Indonesia telah memasuki periode kemarau," tulis BMKG.

BMKG juga menyebutkan adanya bibit siklon tropis 98W di sekitar Pulau Luzon yang meski tidak berdampak langsung ke Indonesia, turut menyebabkan peningkatan kecepatan angin di kawasan Laut China Selatan dan utara Filipina.

Di sisi lain, sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Sumatera dan Samudra Pasifik utara Papua Nugini membentuk zona konvergensi di berbagai wilayah seperti Laut Jawa, Laut Flores, Sulawesi Tengah dan Tenggara, serta Maluku bagian utara. Zona ini memperbesar potensi hujan sedang hingga lebat di wilayah tersebut.