TangerangNews.com

Generasi Emas Dalam Kepungan Racun Digital

Rangga Agung Zuliansyah | Sabtu, 19 Juli 2025 | 20:02 | Dibaca : 579


Gesti Ghassani/Gegeyys, Aktivis Muslimah. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Gesti Ghassani/Gegeyys, Aktivis Muslimah

 

TANGERANGNEWS.com-Seorang anak delapan tahun diam-diam membuka YouTube dan TikTok lewat gawai ibunya. Jarinya yang mungil, lincah memindahkan tayangan dari satu konten ke konten lainnya setiap hari. Di balik senyumnya yang polos, ia sudah terbiasa melihat kekerasan, mendengar kata-kata kasar, bahkan konten sensual.

 

Ibunya Tak Sadar, Negara Pun Abai

Inilah potret yang tak asing di era digital hari ini. Anak-anak kehilangan masa kecilnya, digantikan layar biru yang memenjarakan. Orang tua merasa sudah cukup hanya dengan membatasi durasi. Padahal masalahnya jauh lebih dalam: ini bukan sekadar soal waktu layar, tapi tentang arah hidup dan visi peradaban.

Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, mengatakan bahwa remaja Indonesia kini memiliki ketergantungan berlebih pada handphone atau gawai. Bahkan dalam jumlah kasus pornografi anak, Indonesia saat ini menempati peringkat keempat secara global serta peringkat kedua di wilayah ASEAN. (Tempo.co, 9-07-2025)

 

Gawai: Senjata Perusak yang Tersembunyi

Rendahnya literasi digital di kalangan anak dan remaja menjadi celah besar yang dimanfaatkan oleh konten-konten berbahaya di ruang digital. Anak-anak tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi korban dari sistem informasi yang tidak tersaring. Mereka dibanjiri konten kekerasan, pornografi, tren tak senonoh, serta budaya viral yang menyesatkan.

Di balik layar yang tampak menyenangkan, gawai perlahan merusak struktur otak, membentuk pola pikir instan, menurunkan fokus, dan melemahkan kontrol diri.

Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan gawai secara berlebihan dapat menimbulkan kerusakan pada otak yang lebih luas dibandingkan dengan dampak dari kecanduan narkoba. 

Sementara zat adiktif seperti narkoba menyebabkan kerusakan pada tiga area otak, penggunaan gawai justru dapat mengganggu hingga lima bagian otak sekaligus. Ironisnya, gawai tetap dianggap “aman” dan justru menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak baik di rumah maupun di sekolah.

Masalah ini tidak berdiri sendiri. Lemahnya iman anak-anak hari ini berpangkal pada sistem pendidikan sekuler yang tak membangun spiritualitas. Pendidikan lebih menekankan aspek akademik dan keterampilan pasar kerja ketimbang penanaman nilai.

Ketika iman tak menjadi fondasi, anak kehilangan kompas moral dalam menjelajahi dunia digital yang bebas nilai. Gawai tak lagi sekadar alat bantu, tetapi menjadi ruang privat yang memperdekat mereka pada gaya hidup permisif, narsistik, dan konsumtif.

 

PP TUNAS: Solusi Setengah Hati

Pemerintah Indonesia melalui PP Nomor 17 Tahun 2025 atau dikenal dengan PP TUNAS memperkenalkan regulasi perlindungan anak di ruang digital dengan mengatur tata kelola sistem elektronik.

Meskipun langkah ini tampak menjanjikan dan bahkan dipromosikan ke level global melalui ITU, sayangnya pendekatan yang diambil tetap berakar pada sistem sekuler yang teknokratis, bukan ideologis.

Perlindungan anak hanya terbatas pada aspek teknis seperti pengawasan konten dan pelaporan, tanpa menyentuh akar masalah berupa dominasi kapitalisme digital dan liberalisme nilai.

Kebijakan dan pengawasan terhadap konten digital sangat longgar. Banyak aplikasi dan platform asing dapat diakses tanpa pembatasan usia yang ketat, tanpa sensor bermakna, dan tanpa pendampingan edukatif.

Negara lebih sibuk mengejar peluang ekonomi dari digitalisasi ketimbang melindungi generasi dari kerusakan sosial. Literasi digital hanya jadi jargon yang terdengar bagus, tanpa strategi sistemik dan menyeluruh. 

Anak-anak akhirnya bukan hanya terekspos, namun seolah didorong masuk ke dalam arus digital yang merusak cara berpikir, merasa, dan bertindak mereka.

Lebih berbahaya lagi, penguasaan atas dunia siber oleh korporasi global menjadi alat penjajahan gaya baru. Bukan hanya anak-anak yang dijajah oleh konten, tapi juga bangsa yang dikendalikan lewat algoritma, data, dan persepsi. 

Arah opini publik bisa dibentuk, sistem pendidikan bisa disetir, bahkan kebijakan negara bisa dipengaruhi lewat tekanan teknologi. Ketika ruang digital tak dikuasai oleh negara, maka kedaulatan pun lenyap, tanpa peluru, tanpa invasi.

Dalam kondisi semacam ini, perempuan dan anak-anak sering menjadi pihak yang paling dulu merasakan dampak dan paling dalam lukanya. Masa kecil mereka yang seharusnya dipenuhi arahan dan cinta justru hilang begitu saja. Tapi semua ini dibungkus dalam label “kemajuan zaman”, padahal sejatinya adalah kehancuran yang terstruktur dan sistemik.

Anak-anak yang disiksa konten tidak pantas hari ini, tidak pula dipersiapkan dengan pendidikan bermutu, tidak dilindungi dari sistem yang rusak. Bagaimana kehidupannya nanti di masa yang akan datang. Generasi emas 2045, sudahkah kita benar-benar mempersiapkannya?

 

Islam Menjawab dengan Sistemik, Bukan Simtomatik

Dalam Islam, pelindungan anak tak cukup dengan mengatur teknis, tapi tidak harus dibangun di atas fondasi akidah Islam yang memisahkan tegas antara konten halal dan haram, serta menjadikan negara sebagai penjamin utama pendidikan dan lingkungan yang mendidik anak secara menyeluruh, bukan sekadar regulator pasif di tengah derasnya arus digital global.

Negara juga semestinya membangun sistem digital yang mandiri, tidak bergantung pada infrastruktur asing. Tujuannya bukan hanya menjaga kedaulatan, tetapi menciptakan ruang siber yang sehat, syar’i, dan bebas pornografi. Negara harus menjadi junnah (pelindung umat) bukan sekadar penonton.

Jika merujuk pada sejarah Islam, Rasulullah Saw. dan para sahabat sangat perhatian terhadap arus informasi. Dalam peristiwa fitnah terhadap Aisyah r.a., Rasul tidak membiarkan hoaks menyebar. Ia menyelidiki sumber, mengatur penyebaran, dan mendidik masyarakat.

Di sisi lain, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Zaid bin Tsabit diperintahkan oleh Rasulullah Saw. untuk mencatat wahyu dan surat diplomatik. Ini adalah sistem komunikasi resmi negara yang dikelola strategis dan terpusat. Ia juga mengirim utusan dakwah dengan surat resmi dan etika akhlak yang tinggi.

Penyebaran syair juga diatur, media tersebut tidak diharamkan, tapi diarahkan. Syair buruk dibatasi bahkan dilarang, syair kebenaran disebarluaskan, seperti yang dilakukan Hassan bin Tsabit. Dunia hiburan dan konten kreatif diarahkan untuk mendidik, bukan merusak.

Islam menunjukkan bahwa pembangunan teknologi bisa diarahkan dengan nilai yang benar. Mendorong negara untuk membangun sistem teknologi yang mandiri, tidak bergantung pada infrastruktur asing, dan mengarahkan seluruh pemanfaatan teknologi untuk menjaga akidah umat, kemuliaan manusia, serta keselamatan dunia dan akhirat. Ruang digital akan disaring secara ketat, tanpa kompromi terhadap konten yang bertentangan dengan syariat.

Solusi Islam bukan sekadar menyuruh orang tua lebih tegas atau guru lebih kreatif. Islam hadir dengan sistem yang menyeluruh. Sejak zaman Nabi, anak-anak dibina bukan hanya jadi cerdas, tapi juga punya visi hidup sebagai hamba dan pemimpin umat. 

Rasul membina Abdullah bin Umar sejak kecil untuk memahami Al-Qur'an dan jihad. Khalifah Umar bin Khattab menangis saat melihat anak kecil kurus, karena itu bukan urusan orang tua saja, tapi negara.

Inilah yang dibutuhkan hari ini: sistem yang mampu mengarahkan teknologi, membatasi konten racun, dan menggunakan dunia siber untuk menjaga kemuliaan manusia dan keselamatan akhiratnya.

Waallahualam biasshawab