TangerangNews.com

Pengampunan Politik, Tarian Menuju Stabilitas Elite

Rangga Agung Zuliansyah | Jumat, 1 Agustus 2025 | 20:51 | Dibaca : 114


Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia.

 

TANGERANGNEWS.com-Setiap kali pemilihan umum usai, ketegangan politik seringkali membekas, membelah masyarakat dan elite ke dalam kubu-kubu yang sulit disatukan. Dalam suasana seperti inilah, langkah Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto menjadi sorotan tajam. Di mata sebagian besar publik, tindakan ini mungkin terlihat sebagai isyarat rekonsiliasi yang mulia. Namun, dalam kacamata ilmu politik, keputusan ini adalah lebih dari sekadar pengampunan. Ini adalah manuver strategis yang menandai dimulainya gerakan rekonsiliasi elite, sebuah tarian politik yang cermat untuk mengonsolidasikan kekuasaan.

Di balik tindakan ini, ada logika kekuasaan yang kuat. Pakar politik Juan Linz pernah mengingatkan bahwa dalam sistem presidensial, presiden seringkali punya kekuasaan besar yang dapat digunakan secara mandiri untuk memperkuat posisinya. Pemberian amnesti ini adalah perwujudan dari prerogatif presiden tersebut. Dalam sistem presidensial, kemenangan sering bersifat winner-take-all, menciptakan insentif kuat bagi pihak pemenang untuk mengonsolidasikan kekuasaan demi mencegah kebuntuan legislatif dan menjaga stabilitas pemerintahan. Dengan merangkul lawan, Prabowo tidak hanya menghindari kebuntuan politik, tetapi juga secara pragmatis memanfaatkan kekuasaannya untuk membentuk lanskap politik yang lebih menguntungkan bagi pemerintahannya.

Tindakan ini juga bisa dipahami sebagai strategi kooptasi elite. Para pakar transisi demokrasi seperti Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter menjelaskan bahwa dalam masa konsolidasi kekuasaan, elite politik seringkali membentuk "pakta elite"—kesepakatan tak tertulis di antara faksi-faksi yang tadinya berseteru—untuk menjamin stabilitas. Pakta ini berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian dan risiko politik yang bisa mengancam jalannya pemerintahan. Dengan menarik figur-figur kunci seperti Tom Lembong, yang mewakili oposisi intelektual, dan Hasto, simbol perlawanan institusional PDI-P, pemerintah secara efektif menetralkan potensi ancaman dari dua front yang berbeda. Hal ini secara langsung mengikis identitas mereka sebagai oposan murni dan menempatkan mereka dalam posisi di mana interaksi dengan kekuasaan menjadi lebih mungkin. Strategi kooptasi semacam ini adalah cara praktis untuk mengubah musuh menjadi sekutu, mengurangi perlawanan yang terorganisir dan memastikan kekuasaan berjalan mulus.

Namun, yang paling menarik dari semua ini adalah bagaimana tindakan tersebut dikemas. Filsuf Michel Foucault mengajarkan kita bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui tindakan, tetapi juga melalui wacana yang membentuk pemahaman kita. Pemberian amnesti ini bukan sekadar kebijakan, melainkan juga sebuah narasi. Pemerintah secara aktif menciptakan wacana "rekonsiliasi" yang kuat, memposisikan Prabowo sebagai pemimpin bijaksana yang mengatasi perpecahan masa lalu. Dengan narasi ini, kekuasaannya menjadi terlihat lebih sah dan bermoral di mata publik. Wacana ini secara halus mengubah persepsi, mengaburkan batas antara manuver politik dan niat tulus demi kepentingan bangsa.

Pada akhirnya, gerakan rekonsiliasi elite ini memiliki dampak yang jauh lebih besar dari sekadar pengampunan. Ini adalah upaya strategis untuk membentuk ulang peta politik nasional dan mengamankan stabilitas. Namun, pertanyaan yang tersisa adalah apakah proses ini akan mengarah pada pelembagaan demokrasi yang lebih kuat, di mana aturan main ditegakkan dan institusi bekerja secara mandiri, atau justru pada konsolidasi kekuasaan yang mengikis checks and balances. Langkah ini mungkin berhasil menciptakan stabilitas, tetapi tantangannya adalah memastikan stabilitas tersebut tidak datang dengan mengorbankan demokrasi itu sendiri. Dengan semua lapisan analisis ini, kita dapat melihat bahwa tindakan politik Prabowo adalah langkah yang kompleks dan penuh perhitungan. Ini bukan akhir dari sebuah konflik, melainkan permulaan dari sebuah babak baru yang akan sangat menentukan arah politik Indonesia di masa depan.