Oleh: Prastiyo Umardani, Pengajar Pancasila SMA dan Sekjen lingkaR stUdi maSyarakat dan Hukum (RUSH)
TANGERANGNEWS.com-Dalam jagat nalar, profesi bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan eksistensial. Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein—makhluk yang sadar akan keberadaannya dan memiliki tanggung jawab terhadap dunia sekitarnya. Guru, dalam konteks ini, bukan sekadar pelaksana kurikulum, melainkan arsitek peradaban. Namun, perdebatan yang belakangan marak di media sosial—terkait pernyataan Menteri Keuangan bahwa gaji guru menjadi beban dalam APBN—telah memantik diskursus yang lebih dalam tentang posisi guru: apakah ia dipandang sebagai aktor profesional atau sekadar pelaksana administratif?
Pandangan tersebut menimbulkan pertanyaan filosofis yang mendasar: sejauh mana negara memaknai profesi pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan bukan beban fiskal semata? Dalam tradisi Aristotelian, eudaimonia—kebahagiaan tertinggi manusia—hanya bisa dicapai melalui aktualisasi potensi, salah satunya melalui pendidikan. Maka, ketika pendidik justru diposisikan dalam narasi "beban", sesungguhnya bukan hanya guru yang dilecehkan secara simbolik, melainkan juga nilai luhur pendidikan itu sendiri.
Media sosial, sebagai ruang publik digital, telah menjadi panggung perdebatan antara idealisme dan pragmatisme. Di satu sisi, guru dituntut untuk profesional: berintegritas, berdedikasi, dan terus mengembangkan kompetensinya. Di sisi lain, pengakuan negara terhadap profesionalisme itu justru goyah ketika insentif dan penghargaan terhadap guru dianggap membebani sistem anggaran.
Fenomena ini mengantar kita pada perenungan mendalam: Apakah profesionalisme dalam pendidikan masih dianggap sebagai karir yang mulia, atau justru mulai tergeser oleh kalkulasi ekonomi yang sempit? Dan apakah negara, sebagai pemangku amanat konstitusi, masih menjunjung nilai pendidikan sebagai investasi jangka panjang atau sekadar pos pengeluaran?
Melalui tulisan ini, kita akan menelusuri ketegangan antara karir dan profesionalisme dalam dunia pendidikan, menggali makna profesi guru secara filosofis, serta mengevaluasi bagaimana narasi kebijakan publik turut membentuk atau mereduksi nilai-nilai luhur pendidikan.
Karir dan Profesionalisme Guru: Antara Visi dan Realitas
Secara konseptual, karir dalam dunia kerja merujuk pada perjalanan profesional seseorang dalam mencapai posisi, prestasi, dan pengembangan diri secara berkelanjutan. Sementara itu, profesionalisme adalah sikap dan etika yang melekat pada suatu profesi, ditandai oleh kompetensi, tanggung jawab, dan dedikasi terhadap nilai-nilai luhur yang menjadi dasar profesi tersebut. Dalam dunia pendidikan, idealnya kedua aspek ini berjalan beriringan. Namun kenyataan di lapangan sering kali memperlihatkan jurang antara keduanya, terutama dalam konteks guru sebagai profesi.
Guru, sebagai pilar pendidikan, semestinya berada dalam posisi yang tidak hanya dihormati secara simbolik, tetapi juga dijamin kesejahteraannya secara struktural. Namun ketika karir guru tidak dibarengi dengan skema penghargaan dan jenjang yang jelas, profesionalisme mereka pun diuji. Bagaimana mungkin menuntut guru untuk terus mengembangkan kompetensi, berinovasi dalam pengajaran, dan membimbing karakter siswa secara holistik—jika kehidupan dasar mereka sendiri tidak tercukupi?
Di sinilah letak paradoksnya. Negara sering menuntut guru untuk menjadi profesional—mengikuti pelatihan, mendapatkan sertifikasi, mengimplementasikan kurikulum yang dinamis, hingga menghadapi kompleksitas sosial siswa. Namun, pada saat yang sama, imbal balik dari tuntutan profesionalisme itu masih belum proporsional. Ketika gaji guru dianggap sebagai beban dalam APBN, hal itu menunjukkan bahwa penghargaan terhadap guru masih diposisikan dalam kerangka biaya, bukan investasi jangka panjang. Sebuah pandangan yang tidak hanya sempit secara ekonomis, tetapi juga reduktif secara filosofis.
Dari sudut pandang filsafat eksistensial, guru tidak hanya menjalani profesi untuk bertahan hidup, melainkan untuk merealisasikan makna hidup melalui pengabdian. Namun pengabdian, sebagaimana dicatat oleh Paulo Freire, tidak boleh dimanfaatkan oleh sistem yang tidak adil untuk menekan atau mengabaikan hak-hak dasar guru. Ketika pengabdian guru dikomodifikasi sebagai alasan untuk menggaji rendah atau memperlakukan mereka sebagai "beban", maka negara sedang gagal memahami hakikat pendidikan sebagai proses pembebasan.
Selain itu, dari perspektif Max Weber tentang etika profesi, profesionalisme menuntut adanya penghargaan yang rasional terhadap keahlian dan dedikasi. Jika tidak ada mekanisme yang adil dan terstruktur untuk mendukung karir guru—baik dari sisi pengembangan profesi, jenjang jabatan, maupun insentif ekonomi—maka tuntutan profesionalisme justru bisa menjadi alat kontrol yang eksploitatif.
Dengan demikian, relasi antara karir dan profesionalisme guru tidak boleh dipahami sebagai pilihan biner. Guru tidak harus memilih antara “menjadi profesional” atau “mengejar karir.” Sebaliknya, keduanya harus dipertemukan dalam sistem pendidikan yang menghargai guru sebagai insan berpengetahuan sekaligus sebagai manusia yang memiliki kebutuhan dan hak yang layak.
Paradoks Karir
Secara harafiah, frasa karir itu mencerminkan adanya struktur atau tangga yang dilalui. Dalam kontek guru, maka tidak ada karir, yang ada hanyalah tugas tambahan. Maka, apabila seorang guru atau pengajar berorientasi pada harta dan kekayaan sudah dipastikan salah tempat. Guru dengan motif ini biasanya berbasis impact, yang memiliki skema mempersulit para peserta didiknya dalam memberi penilaian agar terciptanya timbal balik. Selanjutnya guru dengan motif orientasi pengetahuan, guru model ini sudah dipastikan memiliki kreativitas yang lebih tinggi dan adaptif dalam pengajaran, yang terus berinovasi dalam pembelajaran hingga mendapatkan sesuatu yang dianggap tepat dalam menerapkan pembelajarannya. Yang terakhir adalah guru dengan motif kedudukan, guru model ini adalah guru yang penuh intrik dan penuh drama. Cara pandang yang mengubah realitas.
Sebagai guru, jika yang dituju adalah karir maka problemnya adalah menuju pada tangga tersebut. Namun, jika guru sebagai pengajar yang hendak dituju adalah kemampuan dari profesi serta kemampuan profesional maka bisa berbicara soal peningkatan. Lalu, apa perbedaan antara profesi dan profesional ? profesional artinya mensyaratkan adanya tambahan pengetahuan, karena pada dasarnya setiap orang bisa dan mampu menjadi pengajar atau guru baik yang terdata melalui sistem kenegaraan atau pun tidak. Setiap orang yang mengklaim sebagai profesional guru, maka profesional mensyaratkan adanya tambahan pengetahuan, itu sebabnya negara mensyaratkan kepada para pendidik untuk menambah porsi kompetensi melalui workshop, upgrading dll.
Habitus dan Adaptasi Guru
Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep habitus sebagai disposisi internal yang memengaruhi perilaku seseorang. Habitus guru merupakan hasil akumulasi pengalaman sosial, budaya, dan profesional yang menentukan bagaimana mereka menjalankan profesi.
“Guru yang habitusnya kuat akan mampu beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan komitmen pada nilai-nilai pendidikan,” kata Prof. Hudjolly, dosen Pendidikan Pancasila dan lulusan filsafat Universitas Gadjah Mada. Adaptasi guru tak hanya soal menyesuaikan diri dengan teknologi atau kurikulum, tapi juga menjaga integritas profesional di tengah tekanan ekonomi dan sosial.
Namun, fenomena hedonisme di kalangan sebagian guru menunjukkan adanya pergeseran habitus, di mana orientasi pada gaya hidup konsumtif menggeser fokus profesionalisme dan pengabdian.
Guru: Beban atau Investasi?
Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN) 2023, jenjang karir guru masih terbatas dan banyak yang stagnan di posisi awal selama bertahun-tahun. Hal ini berkontribusi pada rendahnya motivasi guru untuk mengembangkan diri.
Sementara itu, profesionalisme mengharuskan guru menguasai kompetensi dan etika yang tinggi. Negara mengharuskan guru mengikuti pelatihan dan sertifikasi sebagai bukti profesionalisme, tetapi tanpa penghargaan yang sepadan, tuntutan ini terasa berat.
Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1922) menegaskan pentingnya penghargaan rasional terhadap keahlian profesional. Tanpa itu, tuntutan profesionalisme dapat berubah menjadi bentuk eksploitasi.
Kesimpulan: Investasi Pendidikan yang Terabaikan
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut gaji guru sebagai beban APBN membuka perdebatan penting. Memang, ada sebagian guru yang belum menunjukkan profesionalisme yang ideal dan terjebak dalam gaya hidup hedonistik. Namun, menyederhanakan masalah dengan label “beban” melewatkan konteks lebih luas.
Guru adalah investasi jangka panjang bangsa yang harus dihargai bukan hanya secara finansial, tetapi juga melalui sistem penghargaan yang adil dan berkelanjutan. Negara perlu memperbaiki sistem karir, menguatkan habitus profesional guru, dan mendorong adaptasi yang bermakna.
Sebagaimana ungkap Benjamin Barber, guru bukan hanya pengajar, tapi juga pembentuk masa depan. Jika negara gagal menghargai mereka, maka masa depan pendidikan dan bangsa pun akan suram.