Oleh: Hudjolly, Warga Kota Serang, Akademisi Untirta dan Legal Auditor
TANGERANGNEWS.com-Seminggu kemarin ada polemik antara Wagub Banten dan Wawali Kota Serang tentang apakah Kota Serang layak sebagai ibukota provinsi? Argumentasi keduanya tidak keliru. Memang wajar jika wagub mempertanyakan kelayakan Kota Serang dilihat dari segi kesiapan infrastruktur. Kota Serang perlu banyak berbenah. Planalogi kota musti diterapkan precise, bukan kota yang dibangun dengan sporadik berdasarkan kebutuhan politik lima tahunan.
Tetapi apa yang disampaikan Wakil Walikota Serang juga lebih relate kok. Secara topografi memang paling pas Kota Serang jadi ibukota. Arah pengembangan masih potensial digali dan dipersiapkan luas. Sementara itu di barat Banten, Kota Cilegon telah mentahbiskan diri sebagai kota industri yang beresiko tinggi. Pandeglang terlalu ke pojok, infrastruktur masih terlalu problematik, hanya ada sedikit arus urat arteri jalan. Geser ke Lebak, masih menyimpan problematika pedesaan yang tidak sederhana. Ke arah timur, Kota Tangerang, Tangerang raya. Terlihat cukup maju, sudah bercokol si pencakar langit dan rumah-rumah mewah. Tapi Tangerang itu aglomerasi Jakarta, penyangga megapolitan.
Tangerang bukan ditumbuhkan pure oleh pemerintah. Publik tahu bahwa Tangerang menjelma menjadi kota terang benderang yang maju lantaran sentuhan saudagar rumah yang banyak mengembangkan distrik satelit perumahan. Rawa-rawa dan hamparan tanah sawah disulap oleh pengembang jadi kota-kota kecil. Berarti Tangerang telah menampatkan diri menjadi areal tempat berternak para raja mega korporasi property Indonesia. Pemerintah daerah jelas kalah wibawa dalam hal melebarkan jalan dan mencetak taman-taman terbuka yang menawan.
Lagi-lagi benar bidikan Wagub Banten bahwa Kota Serang masih perlu diupgrade infrastrukturnya. Tetapi jangan dilupakan ada relasi antara Pemerintah kota dan pemerintah Provinsi. Dalam rasio UU Otonomi Daerah, status provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah adalah mengasuh daerah setingkat kota dan kabupaten. SDM aparaturnya pun dibedakan secara level. Pemerintah provinsi juga nampaknya mengabaikan daerah-daerah yang perlu diasuh dan lebih memilih melayani kemauan pusat. Salah satu indikasinya adalah belanja lahan jor-joran untuk akses jalan dan akses masuk ke jalan tol Panimbang Serang dari rumah sakit Adhiyaksa (RSA). Rumah sakit ini project megah kejaksaan pusat. Bayangkan, APBD rakyat Banten diminta untuk membiayai pembebasan lahan agar ada akses jalan agar rumah sakit bisa akses langsung ke tol. Super istimewa bukan? setara airport. Yang digusur adalah masyarakat Banten, konstituen pemilih Wagub dan Gubernur Banten, duit yang dipakai adalah APBD milik rakyat Banten. Hasil belanja “dihibahkan” ke fasilitasi kejaksaan pusat. Ini bentuk pelayanan pemprov Banten ke kehendak pusat.
Padahal proyek itu peninggalan rezim lama yang juga seibarat IKN. Dadakan. Nemu tanah hasil sitaan kasus korupsi, tahun itu juga direncanakan menjadi rumah sakit, tahun berikutnya semua langsung dibangun. Tidak perduli posisinya ada di tengah pedesaan tanpa akes jalan asalkan bisa menjadi legacy megah. Diusulkan sejak era kejayaan Joko Widodo. Diamini pemimpin pemprov Banten semasa dipegang PJ Gubernur. Pj Gubernur posting APBD untuk bayarin pembebasan lahan akses ke titik tanah sitaan. PJ Gubernur bukan hasil pemilihan rakyat Banten, tetapi orang pusat yang ditanam di daerah. Tidak aneh jika kehendak pusat langsung diamini dan diamankan. Apalagi ini permintaan kejaksaan, siapa berani menolak? Pekerjaan fisik rumah sakit itu menelan lebih dari 400 Milyar tahap satu dan 300 Milyar tahap kedua, duit APBN, digarap oleh kontraktor plat merah yang para komisarisnya masih satu circle dengan Menteri BUMN era itu, Erick Tohir.
Kewenangan kejaksaan mengelola rumah sakit kelas yustisial muncul ketika ada perubahan UU Kejaksaan. Pasal tentang kewenangan itu pun hasil tambahan pasal. Definisi yustisial merupakan scoupe terbatas terkait dengan kepentingan kejaksaan ketika menangani perkara.
Sementara itu APDB banten masih perlu menghadapi problem internal. Masalah layanan kesehatan di Banten masih bertumpuk, RSUD Provinsi kerapkali kewalahan melayani pasien. Fasilitas masih jauh dari cukup. Lebih elegan jika duit digunakan untuk upgrade fasilitas RSUD provinsi. Walaupun bukan urusan pemprov, tetapi wajah puskemas di daerah-daerah juga menyedihkan. Secara sosiologis dan kultural masyarakat wong cilik lebih dekat ke puskemas kok daripada mengakses rumah sakit megah dengan tingkat pengamanan tinggi. Banyak kebutuhan lain, misalnya masalah pembayaran gaji P3K, jadi “pemikiran berat” bagi APBD. Jelas di media masaa Gubernur Banten menyatakan meminta bantuan pusat untuk menggaji P3K. Meski banyak pekerjaan rumah yang terseok tetapi kok masih menggelontorkan duit buat kepentingan pusat, tidak berat?
Wagub dan Gubernur Banten perlu satu suara dalam hal ini, memproteksi APBD Banten untuk menumbuhkan agenda-agenda yang tumbuh dari kebutuhan rakyat, inisiasi rakyat, dan menolak APBD digunakan untuk membiayai project mewah pusat. Dengan begiitu secara anggaran akan lebih berpeluang bagi Pemprov Banten untuk sinergi dengan Pemkot Serang membangun titik-titik daerah yang perlu diupgrade. Menyiapkan wajah kota Serang sebagai Ibukota provinsi yang juga didiami oleh pemerintahan provinsi Banten.
Dari statemen Wagub itu, harus menjadi cambuk bagi Pemkot Serang, walikota Serang terutama. Menyiapkan pembangunan dan penataan kota agar layak sebagai ibukota provinsi setara Semarang, Bandung, Surabaya, Yogya. Kota dengan connectivitas tinggi. Ibukota tanpa transportasi masal ya hanya Kota Serang. Dan ini wajah pertama saat orang berkunjung ke ibukota: public transportation. Jika pasar di belakang malioboro, pasar di Semarang, pasar di Surabaya merupakan titik yang sering diburu orang yang datang ke kota itu, justru pasar tradisional Kota Serang jadi titik yang paling dihindari oleh warga, terutama pengendara roda empat: kemacetan Pasar Rau. Macet parah di sekitar pasar dan skenario arus lalu lintas yang tidak tepat.
Pasar Rau layak ditata kembali dengan sentuhan modern, tetapi orientasinya kembali pada kepentingan stakeholder orang pasar. Dilatasi kajian riil agar data dan penerima manfaat pasar terpetakan jelas, tidak ada orang oportunis, pejabat, politisi pencari rent seeker di sana. Pemkot tidak boleh cari untung dari skema proyek pembangunan fisik pasar. Pasar juga bukan sarana cari utang. Maka orang-orang pasar, warga dan paguyuban pasar perlu terus memelototi agenda pembangunan. Sejak dari gagasan skema pembiayaan pembangunan sampai skema tata ulang lapak. Di zaman now, kan semua dapat didokumentasikan via upload.
Memang masih banyak syarat mempercantik Kota, dari penerangan jalan sampai penanganan sampah, plastik kresek merah besar yang bertebaran nyusup di kanan kiri jalanan beton kota Serang. Ibukota paling gelap di pulau Jawa ya…Kota Serang. Padahal teknologi telah maju, listrik tidak harus dari sambungan kabel. Universitas juga banyak bercokol di Kota Serang tetapi mereka asyik dengan dunianya sendiri. Kisah kegelapan jalan yang mereka lalui setiap pulang larut dianggap hanya urusan orang pemkot. Artinya Pemkot mungkin belum membangun sinergisitas dengan komunitas potensial di sekitar Kota Serang. Pusat riset, pelaku industri teknologis kelistrikan, teknologi pengolahan sampah, penyedia transportasi, komunitas travel wisata, masyarakat konstruksi dan sebagainya. Untuk sinergi butuh keterbukaan agar mengantar pada kemitraan. Sinergi tidak cukup didasari prosentasi sharing revenue karena yang lebih diperlukan adalah mutual advantage.
Orang-orang di medsos sering bilang “cantik itu relatif, jelek itu mutlak”. Memoles cantik wajah kota Serang perlu berangkat dari budaya. Bukankan cantik itu hasil konstruksi budaya? Lalu konstruksi budaya apa yang sudah digali dan mengemuka di Kota Serang? Tradisi sih memang ada. Pernik etnisitas kedaerahan juga ada, kesenian juga ada. Namun konstruksi budaya lebih luas dari itu semua. Budaya mampu mencakup 7 matra system kehidupan: dari sistem bahasa, mata pencaharian, pengetahuan, tradisi, system religi, system sosial,dan kesenian. Tujuh matra ini urusan orang banyak, se Kota Serang. Mumpung Raperda Pemajuan Budaya Kota Serang sedang dalam tahap digodog di legislative, cara pandang terhadap kebudayaan perlu dirajut dengan kacamata multidispliner. Bukan hanya area orang-orang seni dan seniman tetapi sampai ke creator, curator, bahkan tidak ketinggalan para tukang gambar arsitektural yang membangun seni pakai di setiap bangunan-bangunan permanen sepanjang landscap Kota Serang. Ketika memasuki citraland di jalan lingkar Kota Serang, kita lihat seni instalasi berpadu dengan wajah pemukiman. Cantik. Ketika masuk kompleks perumahan di tepian-tepian Kota Serang, dari Walantaka sampai Dalung, yang terlihat hanya blok-blok ruang bangunan hebel minus seni. Perlahan bangunan minus seni itu akan menjelma menjadi blok urban: berjubel.
Ke arah utara juga tidak sepi dari dinamika kota. Kota Pelabuhan tanpa pesisir tanah berpasir ya Kota Serang. Dari wajah perlintasaan bawah lorong jalan tol yang menyumbat arus mobilitas saat pagi dan sore, kontras dengan wajah jalan utara Serang yang siap menjadi “jalan bebas hambatan” sebagai lalu lintas korporasi besar dari arah Cilegon, Desa Teratai, ke Kasemen, Banten, Sawah luhur menuju Tangerang. Itu semua berkait dengan perencanaan ruang yang berbudaya dan eksekusinya.
Kita semua sepakat bahwa kecantikan Kota Serang menjadi interest bersama dari Gubernur, Wakil gubernur, Walikota, Wakil walikota, kontraktor, legislator sampai pedagang kolor, pedagang kelapa kopyor di pasar lama. Menjadi cantik perlu biaya maka pemrov harus berhenti mbayarin mempercantik halaman orang dong, bayarin lah belanja fisik wajah Kota Serang biar makin cantik.