TangerangNews.com

Pelestarian Alam dan Ekoteologi Islam

Fahrul Dwi Putra | Kamis, 28 Agustus 2025 | 07:14 | Dibaca : 115


Ahmad Fadhil, Dosen Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten (@TangerangNews / Redaksi )


Oleh : Ahmad Fadhil, Dosen Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten

TANGERANGNEWS.com- Alam Indonesia semakin "aneh". Di satu tempat kebanjiran, tidak jauh darinya kekeringan. Ada semburan lumpur, semburan gas, longsor, dsb. Ini bencana yang efeknya lokal. Ada bencana lain yang efeknya global, di mana negara kita disorot dunia sebagai pemilik hutan tropis terluas di dunia yang tidak mampu menjaganya sebagai salah satu penyebab pemanasan global. Di tengah kedua jenis bencana ini, perilaku manusia Indonesia tidak kalah aneh. Kepedulian terhadap lingkungan yang lemah kini ditambah dengan munculnya anggapan bahwa banjir, longsor, dan semburan lumpur akan tetap terjadi, apa pun yang kita lakukan, persis seperti gempa bumi dan tsunami tetap terjadi tanpa peduli pada kehendak dan perilaku kita.

Anggapan ini membuat kita semakin jauh dari wacana yang terus berkembang di dunia internasional, terutama di Barat, yaitu wacana "etika terhadap lingkungan". Wacana ini mengingatkan bahwa manusia telah mengambil banyak manfaat dari lingkungan dan alam semesta. Sebagai imbalannya, manusia harus bertanggung jawab untuk melestarikannya, tidak boleh mengekspoitasinya dengan rakus, dan wajib mewariskannya dalam bentuk yang baik bagi generasi mendatang. Kaum intelektual dan ilmuwan di Barat telah menyadari kesalahan salah satu prinsip sains modern bahwa manusia dapat menggunakan alam dalam cara apa pun untuk kepentingannya, karena alam tidak memiliki akal seperti halnya manusia.

Dalam wacana ini, Islam memberikan ajaran yang menarik, yaitu isyarat-isyarat bahwa makhluk-makhluk hidup selain manusia juga memiliki akal, dan sebagai khalifah di bumi manusia berkewajiban menghormati dan mengarahkan mereka kepada tujuan penciptaan mereka.

Al-Quran menyatakan bahwa “benda-benda mati” memiliki level kesadaran dan dapat mengekspresikannya jika diperintahkan Tuhan. Misalnya, pada hari Kiamat, bumi akan “bercerita” mengapa ia berguncang (az-Zalzalah: 1-5); tangan, kaki, lidah, dan kulit manusia dapat “berbicara” dan “bersaksi” karena diperintah Allah SWT (Yasin: 65 dan Fushshilat: 20-21). Ada ayat yang menerangkan, "Kabarkan bencana yang sangat pedih kepada orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah," (at-Taubah: 34). Berdasarkan ayat ini, al-Biruni, seorang ahli fisika muslim yang hidup pada abad 4 H, menyatakan bahwa barang-barang tambang adalah makhluk-makhluk Allah SWT yang aktif, hidup, memiliki persepsi, bergerak menuju tujuan tertentu (yakni diinfakkan di jalan Allah), sehingga kita tidak dapat merampas hak hidup mereka tanpa alasan (dalam bentuk menimbun-nimbunnya).

Tumbuhan memiliki level kesadaran dan akal yang lebih tinggi dari barang tambang dan binatang memiliki level yang lebih tinggi dari tumbuhan. Di dalam surah an-Naml dikisahkan, ketika Nabi Sulaiman dan pasukannya tiba di lembah semut, Raja Semut memerintahkan rakyatnya masuk ke dalam sarang-sarang mereka, agar tidak terinjak oleh pasukan Sulaiman. Kemampuan mengetahui, menyadari, dan berkomunikasi ini adalah bukti bahwa semut memiliki akal. Dalam kisah selanjutnya, ketika Nabi Sulaiman memeriksa pasukan burung, beliau tidak melihat Hudhud. Beliau bermaksud menghukum Hudhud jika tidak memiliki alasan atas ketidakhadirannya. Hukuman hanya diberikan kepada yang berakal. Alasan pun hanya dapat dibuat oleh yang berakal. Lebih dari itu, surah an-Naml mengindikasikan bahwa Hudhud memiliki level akal yang sangat tinggi, karena ia mengenali konsep-konsep yang rumit, seperti konsep gender, ibadah, setan, dan hidayah.

Jika kita beralih pada Sunnah, kita mendapatkan petunjuk-petunjuk yang sangat indah mengenai perlakuan manusia terhadap alam. Ada hadits yang menyatakan bahwa binatang memiliki enam hak atas manusia: tidak boleh dibebani di luar kemampuan mereka, harus diberi makan sebelum lapar, tidak boleh dipukul karena mereka bertasbih, dan tidak boleh dilukai perasaannya. Nabi saw berpesan agar para pemilik binatang membersihkan kandang dan menjaga kebersihan badan binatang peliharaannya. Beliau melarang orang membunuh burung kecil tanpa alasan, dan Allah akan meminta pertanggungjawaban orang yang melakukan hal itu pada hari kiamat.

Dengan berpijak pada nash-nash tersebut, para fuqaha telah meng-istinbath hukum-hukum fiqih yang sangat peduli lingkungan. Misalnya, orang tidak boleh memisahkan anak binatang yang masih kecil dan tergantung pada induknya. Jika seseorang mengambil madu dari sarang lebah, ia harus menyisakan madu itu untuk si lebah. Jika seseorang memeras susu kambing, ia harus menyisakan untuk anak kambing itu. Jika seseorang menyembelih binatang, ia harus menajamkan pisaunya. Bahkan, untuk menjaga perasaan binatang yang lain, ia tidak boleh menyembelih di hadapan binatang lain. Orang tidak boleh memotong dahan, kecuali terpaksa atau ada alasan yang kuat, dan jika seseorang melihat dahan atau ranting yang patah, maka ia harus memperbaikinya. Jika dahan atau ranting yang patah di satu pohon saja wajib diperbaiki, maka tentu kita lebih wajib memperhatikan kelestarian hutan.

Kesimpulannya, pemeliharaan lingkungan dan pelestarian alam bukan sekadar tuntutan akal manusiawi, melainkan juga perintah dari wahyu ilahi. Artinya, bukannya memilih sikap pasrah, tidak peduli, dan mencuci tangan, kita justru harus melangkah bersama masyarakat internasional untuk secara serius, sistematis, dan terorganisir dalam membangun perilaku yang bertanggung jawab terhadap alam demi kelangsungan hidup kita bersama di dunia. Di samping itu, kita pun harus melestarikan alam dan menjaga lingkungan sebagai bagian dari kewajiban keagamaan kita. Di sini, penting bagi kita untuk menanamkan keyakinan bahwa kepatuhan dan pelanggaran atas kewajiban ini akan menentukan keselamatan dan kebahagiaan hidup kita di akhirat.