TangerangNews.com

Pendidikan Tinggi: Tangga Sosial yang Tak Terjangkau Semua Orang

Rangga Agung Zuliansyah | Selasa, 16 September 2025 | 15:19 | Dibaca : 35


Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Alpun Hasanah, Mahasiswi Porgram Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang

 

TANGERANGNEWS.com-Pendidikan tinggi kerap disebut sebagai tangga mobilitas sosial—jalan bagi anak-anak dari keluarga biasa untuk mendaki ke strata sosial yang lebih tinggi. Namun kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah slogan. Banyak anak muda berbakat harus mengubur impian kuliah karena terkendala biaya, lokasi, dan minimnya dukungan sosial. Akses ke universitas bukan sekadar soal kemampuan akademik, melainkan juga kemampuan ekonomi dan jaringan sosial yang menopang perjalanan mereka.

Kesenjangan ekonomi keluarga menjadi tembok pertama yang menghalangi jalan menuju perguruan tinggi. Biaya pendaftaran, uang kuliah, buku, hingga biaya hidup di kota besar kerap melampaui kemampuan keluarga berpenghasilan rendah. Beasiswa memang tersedia, tetapi jumlahnya sangat terbatas dan proses seleksinya menuntut sumber daya tambahan—seperti bimbingan belajar atau koneksi—yang ironisnya hanya bisa diakses mereka yang relatif mampu. Akibatnya, anak dari keluarga miskin seolah dipaksa berkompetisi dalam perlombaan yang bahkan sejak awal tidak dimulai dari garis yang sama.

Selain faktor ekonomi, lokasi geografis juga memainkan peran penting. Sekolah di wilayah pedesaan atau terpencil sering kekurangan fasilitas, guru berkualitas, dan akses informasi tentang peluang pendidikan tinggi. Ketika anak di kota bisa dengan mudah mengikuti bimbingan belajar atau seminar kampus, anak di desa kerap bahkan tidak tahu bagaimana cara mendaftar kuliah. Jarak fisik menjadi jarak sosial—yang membuat kampus terasa seperti dunia asing yang terlalu jauh untuk dijangkau.

Masalah lain yang jarang dibahas adalah tekanan sosial dan psikologis yang dihadapi anak dari keluarga kurang mampu ketika mencoba menembus dunia perguruan tinggi. Mereka tidak hanya memikul beban akademik, tetapi juga rasa minder karena perbedaan status sosial. Di banyak kampus, budaya dan gaya hidup mahasiswa dari kalangan mampu bisa menimbulkan rasa keterasingan yang menyulitkan mahasiswa dari kelas bawah untuk bertahan, apalagi berkembang. Akibatnya, meskipun berhasil masuk kampus, mereka tetap menghadapi risiko putus kuliah karena tekanan mental dan finansial.

Ketika akses ke pendidikan tinggi terbatas pada mereka yang punya modal ekonomi dan sosial, kampus akhirnya lebih banyak mereproduksi ketimpangan ketimbang menguranginya. Gelar sarjana menjadi simbol status, bukan instrumen kesetaraan. Orang kaya berkuliah, lulus, lalu mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi—sementara orang miskin tetap terperangkap dalam lingkaran kerja upah rendah karena tidak punya kesempatan yang sama. Mobilitas sosial yang dijanjikan pendidikan tinggi berubah menjadi ilusi.

Di sisi lain, dunia kerja semakin menaikkan standar kualifikasi pendidikan. Banyak pekerjaan yang dulunya bisa dimasuki lulusan SMA kini mensyaratkan minimal sarjana. Ini menciptakan paradoks: pendidikan tinggi semakin mahal, tapi juga semakin wajib. Bagi keluarga miskin, dilema ini menempatkan mereka dalam posisi sulit—antara harus menanggung utang besar demi kuliah, atau menerima pekerjaan rendahan dan peluang ekonomi yang stagnan. Kebijakan negara belum cukup serius untuk memutus rantai dilema ini.

Beberapa negara mencoba menjawab masalah ini dengan memperluas beasiswa, membebaskan biaya kuliah, atau menyediakan kampus negeri yang tersebar merata di berbagai daerah. Namun di Indonesia, langkah-langkah seperti ini masih parsial dan belum cukup menyentuh akar ketimpangan. Banyak kebijakan hanya fokus pada pembiayaan, tetapi lupa pada kesenjangan kualitas pendidikan dasar dan menengah yang membuat anak dari keluarga miskin tetap kalah bersaing saat seleksi masuk kampus. Ketimpangan terjadi jauh sebelum mereka duduk di bangku kuliah.

Masalah ini bukan sekadar soal pendidikan, tetapi juga soal keadilan sosial. Ketika pendidikan tinggi menjadi syarat utama mobilitas sosial namun tidak semua orang bisa menjangkaunya, maka sistem sedang gagal memenuhi janji meritokrasi. Kita menciptakan masyarakat yang seolah memberi kesempatan setara, tetapi diam-diam mengistimewakan mereka yang sudah lahir dalam kondisi istimewa. Ketimpangan pendidikan berarti ketimpangan masa depan.

Beberapa pihak sering berpendapat bahwa jalan keluar ada pada kerja keras individu, seolah-olah kemiskinan hanya soal kurang usaha. Namun argumen ini menutup mata terhadap fakta bahwa tidak semua orang memulai dari garis yang sama. Mereka yang lahir di keluarga mampu sudah lebih dulu mendapat akses gizi baik, pendidikan dasar berkualitas, kursus tambahan, jaringan sosial, hingga jaminan keamanan finansial. Sementara itu, anak-anak miskin sering kali harus berjuang mempertahankan hidup bahkan sebelum memikirkan nilai rapor mereka. Selama akses ke pendidikan tinggi ditentukan oleh kemampuan membayar, maka pendidikan tidak lagi menjadi alat pemerataan, melainkan alat pelestarian ketimpangan.

Diperlukan perubahan paradigma: pendidikan tinggi harus dilihat bukan sebagai hak istimewa yang hanya bisa diraih oleh sebagian kecil, tetapi sebagai hak sosial yang harus dijamin negara bagi seluruh warga. Ini bukan berarti semua orang wajib kuliah, melainkan semua orang harus punya kesempatan nyata untuk kuliah jika mereka ingin. Artinya, negara harus menutup jurang kesenjangan sejak pendidikan dasar, memperbaiki kualitas sekolah di daerah tertinggal, serta menjamin biaya kuliah yang benar-benar terjangkau tanpa mengorbankan kualitas.

Jika pendidikan tinggi tetap menjadi tangga sosial yang hanya bisa dinaiki oleh segelintir orang, maka ketimpangan sosial akan terus diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak berbakat dari keluarga miskin akan terus terkubur potensinya, sementara kursi kampus hanya akan dihuni oleh mereka yang sejak awal sudah berada di puncak tangga. Membangun bangsa yang adil tidak cukup dengan memperluas kampus—kita harus memperluas kesempatan. Karena pendidikan seharusnya bukan hak istimewa, melainkan pintu masa depan bagi semua.