TangerangNews.com

Pendidikan yang Mahal, Harapan yang Kian Tipis

Rangga Agung Zuliansyah | Kamis, 18 September 2025 | 16:33 | Dibaca : 36


Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang

 

TANGERANGNEWS.com-Pendidikan selalu dipandang sebagai pilar utama kemajuan bangsa, bahkan sering disebut sebagai “senjata paling ampuh untuk mengubah dunia”. Namun di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan justru kian menjauh dari jangkauan rakyat biasa karena mahalnya biaya yang harus ditanggung.

Mulai dari uang pendaftaran, biaya seragam, buku pelajaran, transportasi, hingga kebutuhan harian di sekolah atau kampus, semuanya membentuk benteng tak kasatmata yang menghalangi anak-anak dari keluarga miskin untuk mengejar cita-cita. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, kini berubah menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati mereka yang mampu secara finansial.

Fenomena ini menimbulkan ketimpangan sosial yang semakin melebar. Anak-anak dari keluarga mampu dapat mengakses sekolah unggulan, les tambahan, dan fasilitas digital yang mendukung proses belajar, sementara anak-anak dari keluarga miskin sering kali harus puas dengan pendidikan seadanya. Ketimpangan ini bukan sekadar perbedaan fasilitas, tetapi juga berpengaruh pada kualitas masa depan. Semakin tinggi kualitas pendidikan yang diterima, semakin besar pula peluang mendapatkan pekerjaan layak, sedangkan mereka yang tertinggal dalam pendidikan cenderung terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Maka, mahalnya pendidikan bukan sekadar persoalan biaya, melainkan pintu yang mengunci kesempatan sosial.

Dampak mahalnya pendidikan juga merembet pada masalah psikologis. Banyak anak dari keluarga kurang mampu merasa putus asa sebelum memulai, karena sejak awal mereka tahu bahwa biaya kuliah, asrama, atau alat penunjang belajar adalah hal yang tidak mungkin dijangkau. Ketidakmampuan ekonomi membuat mereka kehilangan motivasi dan keyakinan bahwa kerja keras akan membawa perubahan. Rasa minder dan inferioritas tumbuh perlahan, membuat mereka ragu bersaing dengan teman-teman dari kalangan berada. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang halus, di mana sistem seolah-olah memberi kesempatan setara, tetapi sebenarnya hanya menguntungkan mereka yang punya modal.

Sementara itu, negara tampak gagal menunaikan amanat konstitusi yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Alih-alih menjadi hak publik yang dijamin, pendidikan kerap diperlakukan layaknya komoditas yang bisa diperjualbelikan. Banyak sekolah dan perguruan tinggi berlomba membangun citra “kelas atas” demi menarik siswa dari kalangan elit, sementara sekolah-sekolah di pelosok kekurangan guru, buku, bahkan bangunan yang layak. Ketika pendidikan dibiarkan menjadi bisnis, yang lahir bukanlah generasi unggul, tetapi ketimpangan sosial yang makin mengakar dalam struktur bangsa.

Ironisnya, beban biaya pendidikan justru kerap dialihkan kepada individu melalui mekanisme utang atau pinjaman pendidikan. Banyak mahasiswa harus menanggung beban utang sebelum mereka bahkan mulai bekerja. Ini menciptakan tekanan ganda: di satu sisi mereka dituntut berprestasi, di sisi lain mereka dihantui kekhawatiran akan utang yang menumpuk. Alih-alih menjadi ruang pengembangan diri, pendidikan berubah menjadi arena tekanan mental yang melelahkan. Model seperti ini hanya memperkuat ketimpangan karena mereka yang miskin akan ragu melanjutkan pendidikan, sementara mereka yang kaya bebas mengejar ilmu tanpa khawatir biaya.

 

Di lapangan kerja, mahalnya pendidikan juga memicu paradoks baru. Perusahaan menuntut pekerja berpendidikan tinggi, tetapi peluang itu hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar biaya pendidikan tinggi. Artinya, pasar tenaga kerja pun akhirnya hanya berputar di kalangan orang berada, sementara mereka yang tidak mampu akan terus terpinggirkan. Akibatnya, mobilitas sosial menjadi nyaris mustahil. Pendidikan yang mestinya menjadi jembatan menuju kesetaraan, justru berubah menjadi gerbang eksklusif yang memperkokoh ketidakadilan.

 

Dalam jangka panjang, hal ini berbahaya bagi masa depan bangsa. Ketika sebagian besar rakyat kehilangan akses terhadap pendidikan, potensi sumber daya manusia akan terbuang percuma. Banyak anak cerdas gagal berkembang karena tidak mampu membiayai sekolah. Kita kehilangan inovator, peneliti, dan pemimpin masa depan hanya karena mereka lahir di keluarga miskin. Negara yang membiarkan ketimpangan pendidikan sesungguhnya sedang menggali jurang kehancurannya sendiri, karena kemajuan tidak mungkin lahir dari masyarakat yang hanya memberi ruang bagi segelintir elite.

Maka, pemerintah harus mengambil peran aktif dan serius dalam mengatasi mahalnya biaya pendidikan. Kebijakan beasiswa tidak boleh hanya menjadi simbol, tetapi harus menyasar mereka yang benar-benar membutuhkan. Anggaran pendidikan harus digunakan untuk membangun fasilitas di daerah terpencil, meningkatkan kesejahteraan guru, dan memastikan bahwa tidak ada anak yang berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Pendidikan harus kembali pada hakikatnya: sebagai hak asasi, bukan komoditas. Selama biaya menjadi penghalang utama, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa hanyalah slogan kosong tanpa makna.

Selain itu, masyarakat pun perlu mengubah pola pikir bahwa kualitas pendidikan hanya bisa diukur dari mahalnya biaya. Banyak sekolah negeri dan komunitas yang sebenarnya mampu memberikan pendidikan berkualitas jika mendapat dukungan bersama. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus diperkuat untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif. Transparansi penggunaan dana pendidikan pun mutlak diperlukan agar publik percaya bahwa pajak yang mereka bayarkan benar-benar kembali untuk mencerdaskan anak bangsa, bukan memperkaya segelintir birokrat dan pengusaha pendidikan.

Pada akhirnya, pendidikan yang mahal bukan hanya membunuh harapan individu, tetapi juga merusak fondasi keadilan sosial. Setiap anak seharusnya punya kesempatan yang sama untuk bermimpi, tanpa harus dihantui pertanyaan: “Apakah aku sanggup membayarnya?” Sebuah bangsa hanya akan maju jika pendidikan menjadi tangga yang bisa dipijak semua orang, bukan tembok tinggi yang hanya bisa dipanjat mereka yang kaya. Karena itu, menurunkan biaya pendidikan bukan sekadar pilihan kebijakan—melainkan keharusan moral. Tanpa itu, harapan akan masa depan yang setara hanya akan menjadi bayangan yang semakin pudar di mata generasi muda.