Oleh: Ismia Putri, Mahasiswa Semester 1 FISIP UNTIRTA
TANGERANGNEWS.com-Janji pembangunan dan investasi kerap dikemas sebagai jalan menuju kesejahteraan. Namun, di lapangan, janji itu berubah jadi ancaman nyata bagi masyarakat adat, petani kecil, dan penjaga ruang hidup. Kasus di Raja Ampat, konsesi nikel, ekspansi sawit, PIK 2, hingga proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) memperlihatkan wajah lain pembangunan: perampasan tanah atas nama investasi.
Pembangunan PIK 2: Krisis baru di Tangerang
Di Tangerang, pembangunan PIK 2 juga menimbulkan polemik serupa. Proyek ini dipandang membawa wajah modernisasi, namun di balik itu ada penolakan warga pesisir yang merasa ruang hidupnya dirampas. Lahan pertanian dan wilayah nelayan perlahan tergusur demi kepentingan investasi, sementara kompensasi yang dijanjikan sering kali tidak sebanding dengan kerugian yang dialami masyarakat.
Bagi warga Sekitar, PIK 2 bukan sekadar proyek properti, melainkan simbol krisis baru: hilangnya tanah, identitas, dan hak hidup di negeri sendiri atas nama pembangunan. Secara ekonomi, janji investasi yang diusung pengembang kerap tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan. Harga tanah melonjak drastis, namun masyarakat lokal tidak mampu membeli ataupun mempertahankan lahannya.
Keuntungan besar justru jatuh pada pemilik modal dan spekulan tanah, sementara warga Pakuhaji hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri. Kesenjangan ekonomi pun semakintajam, memperlihatkan wajah ketidakadilan dalam pembangunan.
Karena itu, penolakan warga terhadap PIK 2 seharusnya tidak dipandang sebagai hambatan pembangunan, melainkan sebagai alarm keras bahwa ada ketidakadilan yang harus diselesaikan. Pembangunan sejati hanya bisa disebut berhasil bila masyarakat yang terdampak langsung merasa dilibatkan, dilindungi, dan diuntungkan. Tanpa itu, pembangunan hanya akan meninggalkan luka sosial dan kerusakan lingkungan yang dalam.
Tambang Nikel di Raja Ampat: Regulasi yang Tak Tegas
Raja Ampat seharusnya dikenal karena keindahan lautnya, bukan karena tambang yang merusak pulau kecil. WALHI Papua mencatat, ratusan hektare lahan sudah rusak akibat konsesi tambang. Pemerintah memang mencabut sebagian izin usaha pertambangan, tetapi ironisnya masih memberi ruang bagi PT Gag Nikel untuk beroperasi di pulau kecil padahal regulasi melarang keras tambang di wilayah rentan itu. Di sini publik bisa bertanya: keberpihakan pemerintah ada di mana, pada rakyat atau pada pemodal?
Sawit dan IKN: Ruang Hidup yang Menyempit
Kalimantan, yang kini jadi pusat perhatian karena pembangunan IKN, tak lepas dari konflik lahan. Ekspansi sawit dan pembukaan hutan secara masif menggerus hak masyarakat. Forest Watch Indonesia mencatat 20 ribu hektare hutan hilang dalam lima tahun terakhir di kawasan IKN. Sementara itu, komunitas adat di Penajam Paser Utara kehilangan tanah, situs ritual, bahkan sumber air. Apa arti pembangunan kota modern, bila yang dikorbankan adalah identitas dan kelangsungan hidup komunitas lokal?
Suara Para Korban & Aktor Sosial
•Darmawi, tokoh adat dari Maridan (Penajam Paser Utara), mengatakan: “Wilayah adat Maridan miliki sejarah tersendiri bagi komunitas… tiba-tiba di tempat itu sudah ada plang lahan Mabes Polri.”
•Yati Dahlia, dari komunitas Balik Sepaku: kehilangan lahan pertanian serta akses air bersih. “Sungai yang dulu menjadi sumber air utama telah berubah menjadi tanggul… sumur yang mereka gali pun menghasilkan air yang tidak layak konsumsi.”
•AMAN, WALHI, dan PB PMII menyerukan agar pemerintah menghentikan model “pembangunan eksploitatif” yang hanya menguntungkan investor & korporasi besar, sementara masyarakat lokal dan adat yang rugi.
HGU 190 Tahun : Janji Keadilan yang Pincang
Peraturan IKN yang memberi hak guna usaha hingga 190 tahun bagi investor adalah potret nyata bagaimana negara lebih ramah pada modal ketimbang rakyat.Masyarakat adat yang sejak lama menjaga tanahnya tak punya sertifikat formal, sehingga mudah disingkirkan. Di sisi lain, investor asing maupun domestik bisa menikmati kepastian hukum nyaris dua abad lamanya. Kontras yang menyakitkan.
Krisis Identitas, Bukan Sekadar Krisis Lahan
Perampasan tanah ini bukan sekadar konflik agraria, tapi krisis identitas bangsa. Hilangnya tanah adat berarti hilangnya situs budaya, makam leluhur, bahkan memori kolektif yang tak ternilai. Ketika masyarakat hanya dianggap objek pembangunan, kita sedang menyaksikan sebuah pola kolonialisme baru di mana “pembangunan” hanyalah topeng bagi eksploitasi.
Pada akhirnya, pembangunan yang diklaim membawa kemajuan sering kali menyisakan luka bagi mereka yang kehilangan tanah dan ruang hidupnya. Perampasan tanah atas nama investasi, seperti yang tampak dalam kasus PIK 2 di Pakuhaji maupun di berbagai daerah lain, menunjukkan betapa rapuhnya keadilan sosial di negeri ini. Jika negara terus berpihak pada modal dan mengabaikan suara rakyat, maka yang lahir bukanlah kesejahteraan, melainkan krisis baru: krisis kepercayaan, krisis lingkungan, dan krisis kemanusiaan di tanah sendiri.
Panggilan untuk Perubahan
Kita tidak bisa terus membiarkan pembangunan berjalan dengan logika “siapapunya modal, dia berkuasa”. Pemerintah harus:
1. Mengakui dan melindungi tanah adat melalui rekognisi formal.
2. Membuka data izin usaha secara transparan.
3. Memberikan kompensasi layak, bukan sekadar hitungan ekonomi.
4. Melibatkan masyarakat adat dalam setiap tahap pembangunan.
Jika pembangunan hanya berdiri di atas penderitaan, maka IKN dan proyek investasi lainnya hanya akan tercatat sebagai monumen ketidakadilan. Dan sejarah akan mengingat, negara pernah berpihak bukan pada rakyatnya, melainkan pada modal yang merampas.