Oleh: Natasya Putri Hidayat, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
TANGERANGNEWS.com-Sebagai salah satu BUMN penting yang mengendalikan energi nasional, Pertamina selalu menjadi perhatian masyarakat. Setiap indikasi korupsi yang muncul di perusahaan ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga memperlihatkan serangkaian masalah lama yang seolah tidak pernah tuntas: lemahnya sistem pengawasan, budaya organisasi yang kurang terbuka, dan kerentanan dalam manajemen bisnis. Kasus penyimpangan yang sering muncul menunjukkan bahwa ancaman korupsi bukan hanya masalah individu, melainkan masalah sistemik.
Dalam konteks ini, sangat penting untuk mengevaluasi kembali efektivitas mekanisme pencegahan korupsi yang selama ini diakui telah diterapkan di lingkungan BUMN, termasuk Pertamina. Secara resmi, Pertamina dilengkapi dengan berbagai alat pengendalian, termasuk kode etik, sistem pelaporan pelanggaran, audit internal, serta kolaborasi dengan institusi seperti KPK dan BPK. Namun, kemunculan kasus-kasus korupsi justru menunjukkan bahwa alat tersebut belum berfungsi secara optimal atau bahkan hanya menjadi dokumen administratif yang tidak mampu menghadapi praktik saling melindungi dan budaya feodal yang sudah mengakar.
Risiko korupsi di dalam Pertamina kian meningkat karena perusahaan ini mengelola anggaran besar, komoditas berharga tinggi, dan memiliki rantai bisnis yang panjang—dari hulu, distribusi, hingga pemasaran. Pelanggaran dapat terjadi di berbagai tahap: pengadaan, impor minyak, kontrak distribusi, hingga praktik markup yang sulit diawasi oleh masyarakat. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya transparansi data, sehingga peluang untuk penyalahgunaan wewenang tetap besar.
Sistem antikorupsi di BUMN seharusnya tidak hanya menitik beratkan pada hukuman, tetapi juga pada upaya pencegahan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di Pertamina lebih bersifat reaktif, baru bertindak setelah skandal terjadi. Perubahan budaya integritas yang seharusnya menjadi dasar sering kali terhalang oleh penolakan internal dan kepentingan politik yang melekat pada BUMN strategis.
Untuk secara mendalam menguji dan memperbaiki sistem antikorupsi, dibutuhkan tindakan yang lebih mendasar. Data transparansi perlu ditingkatkan, terutama mengenai proses bisnis yang berisiko seperti pengadaan dan impor. Kedua, sistem whistleblowing tidak boleh sekedar prosedur; perlindungan bagi pelapor harus dijamin secara nyata. Ketiga, audit independen harus dilaksanakan secara rutin dengan hasil yang bisa diakses oleh publik. Namun yang paling utama, pemisahan pengaruh politik dari pengelolaan BUMN harus menjadi fokus utama agar tata kelola tidak terpengaruh oleh kepentingan kelompok tertentu.
Pertamina merupakan pilar utama energi di tanah air. Apabila korupsi terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya merugikan anggaran negara, tetapi juga menghambat kemajuan, merusak kepercayaan masyarakat, dan memperburuk pandangan terhadap BUMN. Momentum penanganan kasus-kasus korupsi seharusnya berfungsi sebagai langkah untuk reformasi menyeluruh, bukan hanya sekadar perubahan posisi. Pertamina seharusnya tidak menjadi lambang ketidakmampuan negara dalam melawan korupsi; sebaliknya, bada harus menjadi teladan bahwa BUMN dapat bangkit dan meningkatkan integritas.