Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P., Aktivis Muslimah Banten
TANGERANGANEWS.com-Di era digital seperti sekarang ini, penggunaan gadget tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan sosial dan komunikasi. Semua aktivitas kita sehari-hari seakan memang sengaja diarahkan untuk mengoptimalkan penggunaan gadget. Walhasil gadget bukan lagi barang mewah melainkan kebutuhan dasar dan penunjang gaya hidup modern. Penggunanya pun bukan lagi orang dewasa, justru anak gen z yang jauh lebih aktif sebagai pengguna gadget dalam bentuk ponsel, sebab mereka merupakan generasi yang paling dekat dengan teknologi dan media sosial.
Dilihat dari intensitas penggunaan ponsel, Indonesia bahkan mencetak rekor dunia. Tercatat sebagai negara no 1 yang sudah kecanduan gadget, baik orang dewasa, generasi z bahkan anak-anak SD sudah terpapar akses terhadap internet. Rata-rata waktu online harian masyarakat Indonesia tergolong tinggi, mencapai 7 jam 22 menit. Dominasi ponsel sebagai perangkat utama internetan di Indonesia juga tercermin dari data lainnya. (Cnbc Indonesia.com, 29-11-2025)
Hal ini bukanlah sebuah kebanggaan, melainkan sebuah problem. Mengingat gen z tumbuh dalam era digital yang memberikan kebebasan berekspresi dalam berbagai platform seperti Instagram, Tik Tok, Twiter. Di balik asyiknya gen z melakukan aktivitas virtual, ada bahaya yang siap menjemput. Alih-alih menjadi tempat berekspresi dengan bebas, media sosial justru menjadi sumber tekanan yang terus mengintai.
Demi mendapatkan validasi berupa like dan komen serta banyaknya followers. Walhasil muncul beragam tekanan dari berbagai tuntutan, rasa kurang bersyukur atas apa yang dimiliki termasuk kondisi fisiknya. Mereka merasa harus memenuhi ekspektasi tersebut agar dapat diterima oleh lingkungan, meskipun hal tersebut bertentangan dengan kondisi mereka yang sebenarnya. Hal ini berdampak langsung pada mental health mereka. (detik news.com, 21-4-2025)
Dibalik Jahatnya Kapitalisasi Digital
Era digital memang tak mampu terelakkan, terutama bagi kaum generasi z yang telah lahir dan tumbuh di era tersebut. Dibalik banyaknya kemudahan yang ditawarkan dunia digital, pengaruh buruknya pun tidak bisa dibilang sedikit. Bagai dua sisi mata uang, begitulah dunia digital bekerja. Satu sisi mempermudah kita dalam menjalankan aktivitas di zaman modern, namun di sisi lain bahayanya pun tak mampu kita anggap enteng. Dari ruang digital yang menguasai kehidupan kita belajar bahwa dunia digital tidaklah netral. Sebab faktanya dunia digital didominasi oleh nilai-nilai sekuler kapitalistik.
Nilai-nilai sekuler inilah yang menjadi rujukan bagi kehidupan dunia digital. Tolak ukur dari setiap tindakan baik dunia virtual maupun dunia nyata. Tidak sedikit generasi z yang sejatinya memiliki activism glocal dan mudah belajar di ruang digital mengikuti arus pusaran era digital tanpa batas atas nama kebebasan berekspresi. Mereka terjebak dengan istilah kebebasan dalam dunia digital, sebab yang terjadi justru mereka hanyut dalam tekanan sosial yang diciptakan oleh media sosial itu sendiri. Muncul persaingan tidak sehat, menggadaikan aqidah demi pujian di media sosial. Walhasil gaya hidup mereka tanpa sadar diatur oleh algoritma dan ekspektasi sosial yang tidak selalu realistis.
Walhasil mereka tidak ada beda dengan budak di era digital. Mudah mengalami problem mental health, mulai muncul sifat inklusif progresif yang memiliki nilai sendiri, berbeda dengan generasi tua yang pernah mengalami transisi dunia analog ke era digital. Akhirnya gerak kehidupan generasi z lebih cenderung pragmatis dalam memecahkan masalah kehidupan. Agar validasi berupa kemudahan dalam menjalankan kehidupan bisa terealisasi. Kehidupan mereka memiliki karakteristik digital native yang cenderung lemah. Pelan tapi pasti maka rusaklah mental generasi z dengan terbawa arus oleh dunia digital yang kapitalistik.
Islam dan Dunia Digital
Walaupun generasi z dipandang sebagai generasi lemah, namun banyak potensi yang bisa digali dari mereka. Sikap kritis yang mereka miliki merupakan modal penting untuk menjaga aqidah dan mampu menolak hal yang tidak masuk akal. Kemampuan mereka dalam menginisiasi perubahan melalui sosial media sudah terbukti dengan banyaknya kasus yang viral dan booming.
Amat sangat disayangkan apabila seluruh potensi ini tergerus dengan mudah akibat salah kelola terbawa arus nilai-nilai sekuler kapitalistik di dunia digital. Maka menyelamatkan generasi z dari pengaruh hegemoni ruang digital yang sekuler kapitalistik merupakan perkara penting dan genting untuk dilakukan saat ini.
Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan generasi z dari ancaman global tersebut. Yakni, dengan mengubah paradigma berpikir sekuler mereka menjadi paradigma berpikir Islam. Paradigma berfikir Islam merupakan cara pandang terhadap dunia dengan menggunakan rujukan Islam dalam setiap kesempatan. Mengedepankan aturan syariat ketimbang menuruti ego pribadi yang lahir dari naluri baqo manusia sebagai bentuk eksistensi diri. Mengalahkan penguasaan nilai sekuler yang berbasis pada manfaat serta materi semata.
Dari kecenderungan berfikir menggunakan paradigma Islam, maka akan tumbuh gerakan yang mengarahkan generasi z pada perubahan solusi sistematis dan ideologis. Solusi yang mampu menyelesaikan akar masalah utamanya hingga otomatis masalah cabang yang menyertainya mampu diatasi dengan mudah. Sebab perubahan yang terjadi bersifat ideologis, sesuai dengan cara pandang muslim yang fitrah terhadap Islam.
Hal ini tentu tidak akan mampu dilakukan secara mandiri. Sebab perlu adanya sinergi antara keluarga sebagai pilar utama dalam kehidupan, kontrol dari masyarakat yang saling terkoneksi dan perintah negara sebagai institusi yang mampu melegalisasi segala upaya tersebut. Maka dengan ketiga sinergi tersebut, upaya untuk menyelamatkan generasi z dari pengaruh pusaran sekuler kapitalistik digital yang sistemik akan berhasil mengarahkan mereka pada pergerakan yang shahih di sisi Islam.
Wallahu alam bishowab.