TangerangNews.com

Bahasa Anak Gen Z di Media Sosial: Antara Kreativitas Linguistik dan Evolusi Otak Digital

Rangga Agung Zuliansyah | Rabu, 17 Desember 2025 | 16:51 | Dibaca : 47


Nur Aliyyah Rahmawati, Mahsiswi UIN Syarif hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa Arab. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)


Oleh: Nur Aliyyah Rahmawati, Mahsiswi UIN Syarif hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa arab

 

TANGERANGNEWS.com-Di era ketika setiap ekspresi terekam dalam unggahan, bahasa kini menjadi cermin identitas digital. Ungkapan seperti “healing-an dulu biar nggak overthinking” atau “LOL” tidak lagi sekadar rangkaian kata, melainkan representasi cara generasi muda berpikir, merasakan, dan berkomunikasi di dunia yang serba daring.

Generasi Z, yang tumbuh dalam ekosistem digital, menggunakan bahasa dengan cara yang fleksibel, ekspresif, dan kreatif, sering kali membingungkan generasi sebelumnya. Mereka menciptakan bentuk-bentuk bahasa baru yang menggabungkan kata, simbol, dan emosi dalam satu kesatuan. Fenomena ini menarik untuk dikaji melalui perspektif psikolinguistik, cabang ilmu yang mempelajari bagaimana otak manusia memproses bahasa.

Menurut Ellen Bialystok (York University, 2021), kemampuan seseorang berpindah antara dua bahasa atau gaya tutur mencerminkan fleksibilitas kognitif, yaitu kemampuan otak menyesuaikan diri dengan konteks yang berubah cepat. Hal yang sama tampak pada generasi digital: mereka tidak sekadar “campur bahasa”, melainkan menyesuaikan struktur berbahasa dengan ritme sosial media yang bergerak dalam hitungan detik.

Sementara itu, David Crystal (2011) dalam bukunya Internet Linguistics menjelaskan bahwa media sosial telah melahirkan “bahasa hibrida” yaitu perpaduan antara teks, gambar, dan simbol yang menuntut kecepatan berpikir baru. Bentuk komunikasi seperti ini bukanlah tanda kemunduran berbahasa, melainkan evolusi linguistik yang menyesuaikan diri dengan lingkungan digital yang semakin visual dan cepat.

Dari sudut pandang psikologi bahasa, pola ini menunjukkan bagaimana otak manusia berupaya mengoptimalkan proses kognitif dalam berkomunikasi. Ketika seseorang menulis ekspresi seperti “LOL” atau “literally aku tidak bisa”, otak tidak hanya memproses makna verbal, tetapi juga mengaitkannya dengan isyarat visual dan emosional secara bersamaan. Fenomena yang dikenal sebagai pemrosesan multimodal (multimodal processing) (Kress, 2010). Proses ini menjadikan komunikasi digital terasa lebih efisien, intuitif, dan sarat dengan nuansa emosi.

Fenomena ini juga berdampak pada dunia pendidikan dan interaksi sosial. Guru, orang tua, maupun media sering kali salah menafsirkan bentuk bahasa digital anak muda. Padahal, memahami pola komunikasi mereka merupakan kunci untuk menjembatani perbedaan generasi di era digital. Bahasa digital bukan sekadar gaya hidup, melainkan cerminan cara berpikir dan cara belajar generasi baru yang sangat kontekstual dan visual.

Selain di dunia pendidikan, bentuk bahasa digital juga berpengaruh pada cara masyarakat memahami identitas dan kedekatan sosial. Dalam percakapan daring, tanda baca, huruf kapital, dan emoji sering kali berfungsi menggantikan ekspresi wajah atau nada suara. Misalnya, satu kata “ok.” dengan titik di akhir bisa diartikan dingin atau tidak ramah, sementara tambahan emoji bisa sepenuhnya mengubah maknanya menjadi hangat atau lucu.

Pola komunikasi semacam ini menunjukkan bahwa generasi muda menciptakan kode emosional baru untuk menyampaikan perasaan mereka di ruang digital. Kode ini berkembang cepat, bahkan lebih cepat daripada kamus yang bisa mengimbanginya. Dalam perspektif psikolinguistik, ini menandakan bahwa proses memahami emosi kini juga melibatkan pembacaan simbol visual dan konteks sosial daring, bukan sekadar kata-kata tertulis.

Bahasa anak muda hari ini bukanlah bentuk kemunduran tata bahasa, melainkan manifestasi kreativitas otak manusia yang terus berevolusi. Dunia digital menantang kita bukan hanya untuk memahami kata-kata baru, tetapi juga untuk menghargai cara berpikir baru di baliknya. Sebab di balik setiap emoji, singkatan, dan kalimat campuran yang tampak sederhana, tersimpan proses kognitif kompleks yang menggambarkan bagaimana manusia beradaptasi dengan zaman.

Di satu sisi, perubahan ini menunjukkan kemampuan luar biasa manusia dalam beradaptasi terhadap lingkungan komunikasi baru. Namun di sisi lain, ia juga mengingatkan kita pentingnya menjaga kejelasan dan empati dalam berbahasa. Bahasa digital memang efisien, tetapi jika digunakan tanpa kesadaran, ia bisa menimbulkan jarak makna atau salah tafsir.

Karena itu, tantangan bagi kita, baik pendidik, orang tua, maupun pengguna media sosial adalah bagaimana memahami dan memanfaatkan bahasa digital secara bijak. Dengan belajar membaca di balik kata, emoji, dan simbol, kita tidak hanya memahami generasi muda, tetapi juga memahami arah evolusi pikiran manusia di abad ini.