Oleh: Alyannisa Aura Sayidina, Mahasiswi Administrasi Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Terpal sebagai Simbol Penanganan Darurat
TANGERANGNEWS.com-Awal 2025, publik Tangerang Selatan kembali disuguhi pemandangan tumpukan sampah yang menggunung di kawasan Ciputat, tepatnya di sekitar flyover dan sejumlah titik padat aktivitas warga. Pemerintah Kota Tangerang Selatan melalui Dinas Lingkungan Hidup mengambil langkah cepat dengan menyemprot disinfektan dan menutup sampah menggunakan terpal untuk mengurangi bau dan gangguan kenyamanan warga. Langkah ini diberitakan secara luas oleh media lokal dan nasional sebagai bentuk penanganan darurat (Antara News, 2025).
Namun, penutupan sampah dengan terpal sejatinya bukan solusi, melainkan penundaan masalah. Terpal hanya menutup permukaan persoalan tanpa menyentuh akar krisis pengelolaan sampah yang telah lama menghantui Tangerang Selatan. Peristiwa di Ciputat ini menjadi cermin bahwa sistem persampahan kota masih sangat rentan terhadap gangguan kecil sekalipun.
Lonjakan Timbulan Sampah di Tangerang Selatan
Masalah sampah di Tangerang Selatan tidak bisa dilepaskan dari besarnya volume sampah harian yang dihasilkan kota ini. Berdasarkan data resmi Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan melalui Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, timbulan sampah Tangsel pada 2024 telah mencapai lebih dari 1.000 ton per hari, dan pada awal 2025 tren tersebut belum menunjukkan penurunan signifikan (DLH Kota Tangerang Selatan, 2025).
Peningkatan timbulan sampah ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kawasan permukiman, serta aktivitas ekonomi perkotaan. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten mencatat bahwa konsumsi rumah tangga di wilayah perkotaan terus meningkat, yang secara langsung berdampak pada volume sampah yang dihasilkan (BPS Provinsi Banten, 2024). Tanpa pengendalian dari hulu, beban pengelolaan sampah di hilir akan terus menumpuk.
Dominasi Sampah Rumah Tangga
Laporan Kompas.id menunjukkan bahwa lebih dari 75 persen sampah di Tangerang Selatan berasal dari rumah tangga, dengan komposisi terbesar berupa sampah organik seperti sisa makanan (Kompas.id, 2024). Fakta ini mempertegas bahwa persoalan sampah bukan semata persoalan teknis pemerintah, melainkan berkaitan erat dengan perilaku konsumsi masyarakat.
Sayangnya, hingga kini pengelolaan sampah dari sumbernya belum berjalan optimal. Pemilahan sampah masih terbatas, bank sampah belum berfungsi maksimal, dan pengolahan sampah organik di tingkat rumah tangga belum menjadi kebiasaan umum. Akibatnya, hampir seluruh sampah tetap diangkut menuju tempat pengolahan akhir, memperbesar tekanan pada sistem yang sudah kewalahan.
Ketergantungan pada TPST Cipeucang
Kasus sampah di Ciputat juga tidak bisa dilepaskan dari kondisi TPST Cipeucang sebagai tulang punggung pengelolaan sampah Tangerang Selatan. Sejumlah laporan media pada 2025 menyebutkan bahwa TPST Cipeucang berada dalam kondisi mendekati kelebihan kapasitas, sehingga pengangkutan sampah dari beberapa titik kota sempat tersendat (MetroTVNews, 2025).
Ketika TPST tidak mampu menerima sampah secara optimal, dampaknya langsung terasa di ruang publik. Sampah menumpuk di jalan, pasar, dan kawasan padat penduduk. Penutupan dengan terpal di Ciputat menjadi bukti nyata betapa rapuhnya sistem persampahan yang terlalu bergantung pada satu fasilitas pengolahan akhir.
Dampak Sosial dan Lingkungan bagi Warga
Bagi warga Ciputat, tumpukan sampah bukan sekadar persoalan visual. Bau menyengat, potensi penyakit, serta pencemaran lingkungan menjadi ancaman nyata bagi kesehatan dan kualitas hidup. Situasi ini memperlihatkan bahwa sampah telah berkembang menjadi masalah publik, bukan lagi sekadar urusan kebersihan kota.
Kritik terhadap penanganan sampah yang hanya ditutup terpal juga datang dari berbagai pihak. Sejumlah aktor politik lokal menilai bahwa langkah tersebut tidak menyelesaikan persoalan secara substansial dan justru menunjukkan kegagalan tata kelola persampahan. Kritik ini memperkuat pandangan bahwa persoalan sampah Tangsel membutuhkan perubahan kebijakan, bukan sekadar respons darurat.
Krisis Sistemik, Bukan Insidental
Jika ditarik lebih jauh, peristiwa sampah ditutup terpal di Ciputat menunjukkan adanya krisis sistemik dalam pengelolaan sampah Tangerang Selatan. Ketergantungan pada pendekatan “angkut dan buang” tanpa penguatan pengurangan sampah di hulu membuat kota ini terus berada dalam siklus krisis yang berulang.
Kajian akademik menegaskan bahwa kota dengan pertumbuhan penduduk tinggi akan terus menghadapi masalah persampahan jika tidak memperkuat pemilahan, pengolahan sampah organik, dan partisipasi masyarakat sejak dari sumbernya (Guererro, 2013). Kondisi Tangerang Selatan saat ini sangat relevan dengan temuan tersebut.
Kesimpulan
Menutup tumpukan sampah dengan terpal di Ciputat mungkin diperlukan sebagai langkah darurat, tetapi tidak boleh dijadikan kebiasaan. Peristiwa ini seharusnya menjadi alarm keras bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk segera membenahi tata kelola persampahan secara menyeluruh.
Tanpa perubahan paradigma menuju pengelolaan sampah yang preventif, berbasis hulu, dan melibatkan partisipasi warga, krisis serupa akan terus berulang. Bagi kota yang mengusung citra modern dan berdaya saing, pengelolaan sampah seharusnya menjadi indikator utama keberpihakan kebijakan terhadap kualitas hidup masyarakat.
Sumber Data :
Akbar, P. M. (2025). Pemkot Tangerang Selatan tutup tumpukan sampah dengan terpal. Antara Banten.
Guererro, L. M. (2013). Solid waste management challenges for cities in developing countries. Journal of Environmental Management, 220-232.
News, A. (2025). Pemkot Tangerang Selatan tutup tumpukan sampah dengan terpal. Tanggerang .
Selatan, D. L. (2025). Data timbulan sampah Kota Tangerang Selatan. Tanggerang : simalih.tanggerangselatankota.