Minggu, 21 September 2025

Krisis BBM Shell Menguak Rapuhnya Sistem Pengelolaan Energi Kita

Sausan Dwiyani, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Sausan Dwiyani, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang. 

 

TANGERANGNEWS.com-Isu SPBU Shell disebut – sebut melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah karyawan Shell akibat kelangkaan BBM memunculkan pertanyaan serius: “Siapa sebenarnya yang punya tanggung jawab atas hal ini?”, "Apakah ini sepenuhnya murni akibat kelalaian manajemen Shell, atau justru karena pemerintah yang kurang cepat tanggap dalam memastikan distribusi energi untuk rakyat?"  

Shell Indonesia mengakui bahwa mereka harus menyesuaikan operasional karena pasokan bensin yang terbatas. Akibatnya, jam buka dipersingkat, sebagian karyawan harus dirumahkan sementara, dan masyarakat kesulitan mendapatkan bahan bakar. Meski begitu, Shell masih berusaha menjalankan layanan lain seperti minimarket, bengkel, dan stasiun pengisian listrik. Namun, langkah ini jelas belum bisa menjadi solusi jangka panjang bagi masyarakat yang bergantung pada bensin.

Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menekankan bahwa SPBU swasta seperti Shell dan BP sebenarnya sudah mendapat tambahan kuota impor hingga 110% dibanding tahun sebelumnya. Kalau masih kurang, mereka dipersilakan membeli dari Pertamina. Sekilas pernyataan ini terdengar masuk akal, tetapi ada hal yang terlewat: distribusi energi yang tidak merata tetap bisa menimbulkan keresahan di masyarakat.

Pertanyaan yang lebih penting adalah, kenapa urusan sepenting ketersediaan BBM malah jadi ajang tarik-uluran antara pemerintah dan swasta? Energi kan kebutuhan pokok masyarakat. Kalau pasokan terganggu, dampaknya bukan cuma antre panjang di SPBU, tapi juga bisa bikin para pekerja terancam kehilangan mata pencaharian.

Dari pihak pemerintah, solusi “ya sudah beli saja ke Pertamina” terdengar terlalu sederhana. Kalau ujung-ujungnya semua swasta tetap bergantung pada Pertamina, buat apa dari awal mereka diberi kuota impor? Sementara dari sisi perusahaan, Shell seharusnya lebih terbuka menjelaskan kondisi stok dan risiko terhadap karyawan, supaya publik tidak hanya mendengar kabar PHK tanpa penjelasan yang jelas.

Dalam kondisi seperti ini, yang paling kena imbas justru konsumen dan pekerja. Masyarakat harus berhadapan dengan kelangkaan BBM, sementara para pekerja jadi korban kebijakan efisiensi. Seharusnya yang jadi perhatian utama bukan cuma soal angka kuota impor, tapi bagaimana memastikan ketersediaan energi untuk rakyat sekaligus melindungi tenaga kerja yang terdampak.

Yang bikin lebih was-was, kalau masalah ini terus dibiarkan, citra SPBU swasta bisa makin merosot dan akhirnya masyarakat kembali bergantung penuh pada Pertamina. Padahal, kehadiran swasta mestinya memberi alternatif sekaligus memacu persaingan yang sehat dalam layanan energi. Kalau swasta tidak bisa membuktikan diri sebagai penyedia yang andal, wajar saja kalau publik bertanya-tanya: apakah pembukaan sektor energi ke swasta benar-benar membawa keuntungan bagi masyarakat, atau justru malah menimbulkan persoalan baru?.

Karena itu, baik pemerintah maupun Shell seharusnya berani membuka data dan menawarkan solusi nyata, bukan sekadar saling melempar tanggung jawab. Yang dibutuhkan adalah transparansi soal pasokan, kepastian bagi para pekerja, dan jaminan ketersediaan BBM untuk masyarakat. Energi adalah kebutuhan dasar semua orang, dan kalau sampai terganggu, yang gagal bukan hanya satu pihak, tapi keseluruhan sistem pengelolaan energi kita.

Tags Artikel Opini Opini