TANGERANG-Kalangan buruh di wilayah Tangerang, secara tegas menolak penerapan outsourcing dan PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu), sebagaimana implementasi dari UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Penolakan tersebut mereka lontarkan saat acara seminar bertema Kajian UU No 13/2003 di Hotel Nelayan, Jatiuwung, Kota Tangerang, Kamis (24/3).
"Kami minta UU No 13/2003 ditinjau lagi, karena UU ini multitafsir, dan membuat hubungan buruh dengan pengusaha tidak harmonis," tegas Yanto, seorang buruh.
Menurut Yanto, UU No 13/2003 masih banyak terdapat kekurangan, dan terkesan menguntungkan kelompok pengusaha. Seperti halnya masalah upah minimum, outsourcing, dan PKWT. "Ketiga hal itu biang kehancuran dari hubungan buruh dengan pengusaha, karena tak pernah ada titik temu," ujarnya.
Sementara itu, menurut Dwi Jatmiko, Ketua Umum KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) DPD Provinsi Banten, pemerintah dan DPR RI saat menyusun UU tersebut tidak melihat langsung apa yang terjadi di kalangan buruh. "Mereka tak pernah menyentuh akar masalah," ujarnya.
Oleh karena itu kata Dwi Jatmiko, jangan heran bila penerapan UU No 13/2003 justru menimbulkan dilema bagi kaum buruh dan pengusaha. UU tersebut dinilai tidak tegas mengatur persoalan outsourcing dan PKWT. "Sebenarnya kaum buruh bisa menerima adanya outsourcing. Tapi untuk pekerjaan tertentu misalnya jasa keamanan dan cleaning service. Jangan pekerjaan inti juga di-outsourcing. Ini menjadi malapetaka," tegas Jatmiko.
Terkait pengawasan yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja di daerah, terkait penerapan UU No 13/2003, kata Jatmiko, sangat rendah. "Pihak dinas mengatakan mereka tidak ada tenaga pengawas yang bisa menyentuh sampai ke bawah. Sebab jumlah petugas dinas tidak sebanyak jumlah pabrik yang ada," ucap Jatmiko.
Jika persoalannya seperti itu, kata Jatmiko, KSPSI Provinsi Banten, siap membantu untuk turut mengawasi. "Dengan adanya kerjasama itu mudah-mudahan bisa mengoptimalkan pengawasan dari penerapan UU No 13/2003. Karena jumlah buruh seluruh Provinsi Banten sekitar 1,5 juta orang, tapi untuk wilayah Tangerang raya sekitar 600.000 orang," katanya.
Sementara itu, Myra M Hanartani, Dirjen Hubungan Industrial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tidak bisa menjawab secara tegas permintaan buruh. Menurut Myra, outsourcing sebenarnya sistem yang bagus untuk dunia usaha. Perusahaan menjadi fokus mengurusi industrinya. Namun menjadi persoalan ketika pengusaha itu mengabaikan hak-hak buruh outsourcing.
"Yang dijumpai di lapangan memang buruh outsourcing itu tidak diberi perlindungan seperti jamsostek, dan asuransi lainnya," ujar Myra.
Menurut Myra, outsourcing dan PKWT memang disukai pengusaha, karena beban mereka berkurang yakni tidak perlu memikirkan jamsostek, dan hak-hak lainnya. "Mereka jadi diperlakukan berbeda dengan buruh tetap," ucapnya.(DIRA DERBY)
Tags