Oleh: Fajrina Laeli, S.M., Aktivis Muslimah
TANGERANGNEWS.com-Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Profil Kemiskinan di Indonesia untuk periode September 2024 sebesar 8,57 persen atau setara dengan 24,06 juta orang. Angka ini mengalami penurunan sebanyak 0,46 persen dibandingkan Maret 2024 (bps.go.id, 15/1/2025).
Data ini sangat berbeda dengan yang dirilis Bank Dunia, yang mencatat bahwa sebanyak 60,3 persen atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin (finance.detik.com, 30/4/2025).
Perbedaan angka ini disebabkan oleh perbedaan standar pengukuran. Seseorang bisa saja tidak dikategorikan miskin menurut standar nasional, tetapi masuk kategori miskin ekstrem secara global. Perhitungan yang digunakan BPS didasarkan pada kebutuhan dasar dengan nilai Rp595.242 per bulan.
Sementara itu, Bank Dunia menggunakan indikator global: penduduk yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (kurs Rp16.606) termasuk dalam kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas (liputan6.com, 30/4/2025).
Jika dihitung, angka Rp595.242 per bulan hanya setara dengan sekitar Rp19.842 per hari. Jelas angka ini sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan untuk mencukupi kebutuhan pangan per orang pun sulit tercapai.
Inilah dampak dari sistem kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi. Indikator kemiskinan dibuat serendah mungkin agar negara bisa mengklaim berhasil menurunkan angka kemiskinan. Padahal faktanya, kemiskinan tidak benar-benar berkurang, melainkan hanya dimanipulasi angkanya demi menarik simpati rakyat dan investor asing.
Hal ini menjadi bukti nyata bahwa sistem kapitalisme tidak benar-benar peduli terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Rakyat tidak pernah merasakan kesejahteraan, karena roda ekonomi tidak berpihak kepada kaum miskin.
Selama sistem kapitalisme terus dijadikan standar dalam ekonomi, maka hal seperti ini akan terus berulang. Sifat dasar dari sistem ini adalah keserakahan para pengembannya yang hanya mengejar materi untuk kepentingan pribadi. Memperkaya diri dengan segala cara adalah ciri khas yang terlihat nyata.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang tidak memuja kekayaan dan kekuasaan. Dalam Islam, semua manusia memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada perbedaan berdasarkan kasta, jabatan, nasab, harta, atau status sosial. Yang membedakan hanyalah ketakwaan seseorang kepada Allah Swt.
Dalam sistem Islam, tidak ada keserakahan dalam mengelola harta. Tidak ada manipulasi angka kemiskinan, karena setiap individu hanya mengharapkan rida Allah Swt dalam menjalankan amanah. Kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah Swt melalui aturan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunah. Tidak ada manusia yang merasa lebih tinggi karena status sosialnya.
Islam bukan hanya agama, melainkan juga sistem kehidupan yang lengkap, termasuk dalam bidang ekonomi. Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu menjadi tanggung jawab penuh negara. Negara Islam tidak memiliki kepentingan tersembunyi untuk memanipulasi angka kemiskinan, karena tidak bergantung pada negara lain.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Inilah amanah yang dijalankan semata-mata untuk meraih rida Allah. Oleh karena itu, kesejahteraan masyarakat hanya dapat diwujudkan melalui sistem yang sahih dan berasal dari Allah Ta’ala.
Wallahu'Alam bissawab.