Minggu, 13 Juli 2025

Skripsi: Warisan Lama yang Membebani Generasi Baru?

Tajriyan Nur Romadhon, Mahasiswa Akhir Universitas Yuppentek Indonesia(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Tajriyan Nur Romadhon, Mahasiswa Akhir Universitas Yuppentek Indonesia

 

TANGERANGNEWS.com-Skripsi masih dianggap sebagai puncak proses pendidikan tinggi di Indonesia. Ia menjadi simbol bahwa seorang mahasiswa layak menyandang gelar sarjana setelah melalui serangkaian tahapan akademik. Namun, di balik idealisme itu, realitas berkata lain. Di berbagai kampus, skripsi justru menjadi sumber tekanan luar biasa bagi mahasiswa. Ketika yang seharusnya menjadi proses belajar berubah menjadi beban mental, kita harus bertanya:  Apakah skripsi masih relevan di era sekarang?

 

Tidak sedikit mahasiswa yang menghadapi kesulitan besar dalam menyusun skripsi, bukan karena malas atau tidak mampu, melainkan karena sistem yang tidak mendukung. Mereka kesulitan mengakses tempat penelitian, susah mendapat jawaban dari instansi yang ingin diteliti, atau bahkan ditolak tanpa alasan jelas. Dosen pembimbing pun tak selalu tersedia entah karena terlalu sibuk atau karena relasi bimbingan yang tidak sehat. Mahasiswa pun terjebak dalam ketidakpastian, dituntut cepat lulus tapi tanpa dukungan yang memadai.

 

Yang lebih memprihatinkan, banyak mahasiswa yang pada akhirnya memilih untuk menghilang secara diam-diam. Di semester 8, ruang kelas mulai kosong. Grup angkatan menjadi sepi. Banyak yang tidak lagi mengangkat telepon, tidak membuka pesan dari teman, dan memilih menjauh dari lingkungan akademik. Bukan karena mereka tidak ingin lulus, tapi karena takut menghadapi skripsi. Ketakutan akan penolakan, revisi tak berujung, atau bahkan cibiran dari lingkungan sekitar, membuat mereka memilih untuk “menghilang” sejenak dan sayangnya, sering kali menjadi selamanya.

 

Kondisi ini menciptakan tekanan psikologis yang sangat besar. Mahasiswa harus menghadapi ekspektasi keluarga, tuntutan sosial, bahkan rasa malu jika terlalu lama tidak lulus. Di media sosial dan dunia nyata, banyak kisah mahasiswa yang stres berat, mengalami depresi, dan kehilangan arah hidup hanya karena tersendat di skripsi. Bahkan, ada kasus tragis di mana mahasiswa memilih mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup menyelesaikan tugas akhir. Ini bukan sekadar cerita sedih, tetapi alarm keras bahwa sistem kita sedang bermasalah.

 

Ironisnya, setelah semua perjuangan itu, banyak skripsi hanya berakhir sebagai tumpukan berdebu di rak perpustakaan. Tidak dibaca, tidak dipublikasikan, tidak digunakan. Dunia kerja pun jarang mempertanyakan isi skripsi. Yang mereka cari adalah keterampilan, pengalaman, dan kemampuan adaptasi. Dunia luar menilai mahasiswa bukan dari berapa banyak teori yang mereka kutip, tapi sejauh mana mereka bisa menyelesaikan masalah secara nyata.

 

Sementara itu, banyak universitas di negara maju sudah meninggalkan skripsi sebagai satu-satunya model tugas akhir. Mahasiswa diberi pilihan: membuat proyek sosial, membangun bisnis, mengembangkan aplikasi, atau menghasilkan karya nyata yang relevan dengan bidangnya. Penilaiannya pun tetap akademik berbasis logika, refleksi, dan kontribusi. Model ini terbukti lebih merangsang kreativitas, tanggung jawab, dan keterlibatan mahasiswa dengan masyarakat.

 

Lalu, mengapa Indonesia masih mempertahankan sistem satu jalur? Salah satunya karena budaya akademik kita masih sangat konservatif. Ada anggapan bahwa tanpa skripsi, gelar sarjana menjadi tidak sah. Padahal esensi pendidikan adalah menghasilkan manusia yang berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah, bukan sekadar penulis laporan panjang. Kita perlu membuka ruang inovasi dalam sistem tugas akhir, bukan terus mempertahankan bentuk tunggal yang tidak relevan untuk semua bidang.

 

Tentu skripsi tidak harus dihapus total. Bagi mereka yang memang berminat di bidang akademik, riset mendalam melalui skripsi tetap penting. Tapi untuk mahasiswa yang lebih tertarik ke praktik lapangan, tugas akhir berbentuk proyek bisa jauh lebih bermanfaat. Pendidikan seharusnya memberikan pilihan, bukan paksaan. Sistem satu format untuk semua tidak lagi cocok di era di mana keragaman potensi mahasiswa sangat besar.

 

Sudah saatnya kampus-kampus di Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan skripsi. Jika benar pendidikan bertujuan untuk mencetak lulusan yang siap pakai dan berdaya saing global, maka bentuk tugas akhir pun harus menyesuaikan dengan kebutuhan dunia nyata. Mahasiswa generasi sekarang butuh ruang berekspresi, bukan sekadar ruang bimbingan yang menegangkan.

 

Lebih dari sekadar akademik, skripsi juga menyangkut kesehatan mental mahasiswa. Jika kita terus memaksakan satu sistem yang membuat mahasiswa “menghilang”, mengurung diri, atau bahkan terjerumus ke depresi maka pendidikan telah gagal dalam memanusiakan manusia. Kampus bukanlah mesin penghasil ijazah, tapi seharusnya menjadi tempat yang aman untuk bertumbuh.

Skripsi tidak boleh menjadi momok yang menghantui mahasiswa. Ia seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok penghalang.

 

Jika kita terus mempertahankan warisan akademik tanpa mempertimbangkan relevansinya, maka kita hanya akan mencetak lulusan yang lelah sebelum melangkah. Sudah waktunya membuka jalan baru tugas akhir yang fleksibel, relevan, dan memerdekakan. Karena pendidikan bukan soal siapa yang paling tahan stres, tetapi siapa yang paling mampu berkontribusi nyata.

 

Tags Artikel Opini Opini