Oleh: Udi, Mahasiswa Semester 8 di Universitas Yuppentek Indonesia
TANGERANGNEWS.com-Menjadi ASN dan mahasiswa dalam waktu yang bersamaan bukanlah kombinasi yang ideal. Tapi bagi banyak Aparatur Sipil Negara yang masih menyimpan semangat belajar, itulah kenyataan yang harus dijalani. Di balik seragam dinas yang rapi, ada sebagian dari kami yang juga sedang berjuang menyelesaikan skripsi tugas akhir yang kadang terasa seperti ujian hidup yang tak kunjung usai.
Menulis skripsi di tengah tumpukan berkas negara bukan hal yang romantis seperti kisah mahasiswa reguler yang bisa duduk berjam-jam di perpustakaan. Waktu kami terbagi tidak hanya oleh tugas-tugas akademik, tetapi juga oleh surat dinas, rapat koordinasi, laporan kegiatan, dan permintaan data yang datangnya bisa kapan saja. Seringkali, waktu untuk mengerjakan skripsi hanyalah di malam hari, setelah anak-anak tidur, setelah semua tanggung jawab pekerjaan selesai. Dan saat itu pun, badan sudah terlalu lelah, dan pikiran tidak lagi jernih.
Setiap hari kami hidup dalam dua dunia: dunia kerja yang penuh dengan birokrasi dan tanggung jawab pelayanan, serta dunia akademik yang menuntut logika, teori, dan ketelitian. Pagi-pagi kami berhadapan dengan sistem kepegawaian, aplikasi kinerja, dan permintaan data dari pimpinan. Malamnya kami harus berhadapan dengan daftar pustaka, teori kebijakan publik, dan kalimat-kalimat metodologi yang memusingkan. Bahkan sering kali, laptop kerja dan laptop kuliah tidak bisa dibedakan lagi isinya.
Lucunya, dalam dunia kerja, status kami tetap dianggap "pegawai penuh waktu" yang harus selalu siap. Sementara dalam dunia akademik, kami hanya dianggap “mahasiswa biasa” yang harus bisa mengejar bimbingan tepat waktu, mencari data, dan membaca referensi tanpa alasan. Tidak ada diskon waktu atau pengertian ekstra hanya karena kami bekerja untuk negara. Tidak jarang juga muncul sindiran: "ASN kok skripsinya lama banget sih?" Padahal yang menyita waktu bukan malasnya kami menulis, tapi banyaknya rapat dan kerja lembur yang datang tiba-tiba.
Pengalaman pribadi saya pun mungkin tidak jauh berbeda dari rekan-rekan ASN lain. Ada momen ketika saya sudah siap menulis Bab IV, lengkap dengan data dari lapangan, namun tiba-tiba harus berangkat dinas ke luar kota. Rencana bimbingan pun batal, dan momentum semangat langsung anjlok. Ketika saya kembali dan mencoba menyambung lagi benang merah skripsi, rasanya seperti membaca tulisan orang lain. Bahkan, ada saat-saat di mana saya lebih ingat password aplikasi e-kinerja dibanding password email kampus.
Belum lagi urusan teknis. Di tengah kesibukan kantor, mencari waktu bimbingan dengan dosen juga perjuangan tersendiri. Ada dosen yang susah dihubungi, atau hanya bisa bimbingan di jam kerja. Ironisnya, saat kita bisa bimbingan di luar jam kerja, dosennya malah sedang ada jadwal kuliah. Alhasil, proses skripsi ASN sering tersendat bukan karena kurang niat, tapi karena terlalu banyak penghalang struktural baik dari kampus maupun kantor.
Namun di balik semua kelelahan itu, ada semangat yang tidak pernah padam. Skripsi bagi kami bukan sekadar tugas akademik, tapi simbol perlawanan terhadap rutinitas yang menumpulkan semangat belajar. Ia adalah bentuk pernyataan: bahwa kami masih ingin berkembang, bahwa kami tidak ingin berhenti berpikir hanya karena sudah mendapat SK pengangkatan. Di tengah sistem yang kadang membuat kami jadi mesin birokrasi, skripsi adalah ruang kecil di mana kami bisa tetap menjadi manusia pembelajar.
Bagi instansi pemerintah, seyogianya ini menjadi refleksi. ASN yang sedang menempuh pendidikan tinggi, terutama yang menulis skripsi, semestinya diberi ruang dan dukungan. Tidak perlu perlakuan istimewa, cukup waktu yang fleksibel dan pemahaman dari atasan. Ketika ASN didorong untuk berkembang secara intelektual, hasilnya tidak hanya pada diri ASN itu sendiri, tapi juga pada kualitas pelayanan publik yang lebih baik, lebih berbasis data, dan lebih manusiawi.
Karena pada akhirnya, ASN yang baik bukan hanya yang cepat menyusun laporan atau rajin ikut apel. ASN yang baik adalah mereka yang tidak berhenti belajar, bahkan ketika semua sistem seakan tak memberi ruang untuk itu. Dan skripsi, sesulit dan seberat apapun, tetap layak diperjuangkan walau harus ditulis di antara tumpukan disposisi, surat dinas, dan notulen rapat.
Maka kalau suatu hari kamu melihat rekan ASN yang tampak linglung di meja kerjanya sambil membuka file berjudul “Skripsi_final_versi_fix_benar_bener_fix.docx,” berikan sedikit pengertian. Bisa jadi, dia sedang berada di ujung batas antara pengabdian dan ambisi pribadi. Karena di negeri ini, menjadi ASN yang ingin pintar saja kadang perlu berjuang sendirian.