Senin, 18 Agustus 2025

Pura-pura Merdeka di Usia 80 Tahun Indonesia

Eka Agus Setiawan, Anggota Remaja Masjid El-Yasmeen Kebon Jeruk.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

 

Oleh: Eka Agus Setiawan, Anggota Remaja Masjid El-Yasmeen Kebon Jeruk

 

TANGERANGNEWS.com-Tahun ini genap 80 tahun Indonesia merdeka. Soekarno-Hatta mewakili bangsa Indonesia membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dengan sepenuh jiwa-raga. Bagi kita yang merayakan kemerdekaan saat ini, momentum Indonesia merdeka itu seolah biasa. Sekadar memutar kilas perjalanan waktu delapan dasawarsa. Sebagian mungkin ada yang semata bergembira tanpa adanya makna.

Delapan dekade telah berlalu sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, namun gema revolusi yang digelorakan oleh Soekarno dalam bukunya yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” kini terdengar seperti nyanyian lama yang diputar di ruang kosong. Semangat pembebasan, keberanian melawan imprealisme, dan cita cita membangun manusia Indonesia yang merdeka secara politik, ekonomi, dan kebudayaan telah tereduksi menjadi slogan-slogan kosong yang menghiasi pidato kenegaraan.

Perayaan kemerdekaan kali ini mengusung tema “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera Indonesia Maju”. tema ini seakan lelucon yang hadir di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Di balik kemegahan seremonial dan semangat nasionalisme yang digaungkan, bangsa ini menghadapi realitas pahit berupa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, tingginya angka pengangguran, dan kebijakan efisiensi anggaran yang ketat.

Ketika bangsa ini memasuki usia 80 tahun, pertanyaan mendasar muncul: apakah tema kemerdekaan tahun ini adalah simbolis bagi rakyat Indonesia? Faktanya data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa 42.385 pekerja telah mengalami PHK hingga Juni 2025, naik 32 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini menciptakan ironi mendalam, di saat negara merayakan kemerdekaan, jutaan warganya justru terjebak dalam ketidakberdayaan ekonomi.

Sementara itu, para koruptor masih menguasai negara, masyarakat kian terpinggirkan, kebijakan semakin tak berpihak pada rakyat, dan penegakan hukum dipertaruhkan demi kepentingan elite politik yang akhirnya menggerus nilai keadilan. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato kenegaraan pertamanya pada Sidang Tahunan MPR RI yang digelar 15 Agustus lalu, menyampaikan bahwa harus berani melihat penyakit-penyakit yang ada di tubuh kita. Sejatinya penyakit utama yang mendera bangsa ini adalah korupsi.

Presiden Prabowo Subianto pun menyampaikan bahwa akan menyelamatkan rakyat, membela kepentingan rakyat dan memastikan rakyat tidak menjadi korban serakah-nomic. Nyatanya pembajakan kepentingan publik dipertontonkan dengan telanjang. Kenaikan pajak secara serampangan sebesar 250% oleh Bupati Pati merupakan salah satu bukti nyata bahwa pemerintah tidak memihak rakyat.

Tidak hanya itu, dalam satu tahun terakhir sederet kebijakan meninggalkan banyak persoalan. Makan Gizi Gratis (MBG) misalnya, menghabiskan Rp355 triliun atau 44% dari total anggaran pendidikan 2026 sebesar Rp757,8 triliun. Anggaran pendidikan 2026 ini tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah, seharusnya menjadi momentum memperkuat kualitas guru, memperbaiki fasilitas sekolah, serta memperluas akses pendidikan. Namun, porsi terbesar justru digelontorkan untuk program MBG yang menyisakan tanda tanya besar soal transparansi, efektivitas, dan potensi penyalahgunaan di tengah krisis keuangan serta kebutuhan rakyat yang jauh lebih mendesak.

Jalan panjang sejarah telah menghantarkan Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan yang hari ini pura-pura kita rasakan. Tidak ada satu hal di dunia ini yang sangat menyakitkan, selain kepura-puraan. Pura-pura ingin mengsejahterakan rakyat padahal lebih mementingkan para kolega, pura-pura peduli terhadap rakyat padahal hanya membutuhkan ketika pemungutan suara, pura-pura menerima aspirasi padahal nyatanya ingin merepresif.

Jika selamanya akan seperti ini, akan banyak penderitaan rakyat Indonesia yang akan semakin menjadi-jadi. Petani tidak memiliki tanah, nelayan dibatasi dalam menangkap ikan, hutan dibakar demi kepentingan koorporasi, menyuarakan aspirasi dianggap menyalahi aturan, mengorgansir pergerakan diintimidasi dan dituduh makar.

Kita ketahui bahwa kemerdekaan suatu bangsa adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan komitmen semua pihak. Pemerintah perlu lebih bijaksana dalam mengambil kebijakan ekonomi yang tidak hanya efisien secara fiskal, tetapi juga berkeadilan sosial. Sementara masyarakat perlu tetap kritis namun konstruktif dalam menyikapi setiap kebijakan. Di usia 80 tahun, Indonesia memiliki pengalaman dan kearifan yang cukup untuk menavigasi krisis ekonomi. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengambil langkah-langkah transformatif yang benar-benar memerdekakan rakyat dari belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan ekonomi.

Tags Artikel Opini Opini