Kamis, 21 Agustus 2025

Sengkarut PBB, Pajak Bikin Bingung atau Pajak Bikin Bangkrut?

Fajrina Laeli S.M, Aktivis Muslimah.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

‎Oleh: Fajrina Laeli, S.M., Aktivis Muslimah

TANGERANGNEWS.com-Pati, kota yang biasanya tenang kini berubah jadi panggung protes besar-besaran. Ribuan warga turun ke jalan, bukan untuk merayakan pesta budaya atau menyambut panen raya, melainkan untuk menolak pajak yang melonjak ratusan persen.

‎Bagaimana tidak, Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen terang saja menjadi pemicu utama kemarahan. Puluhan orang berkumpul di trotoar depan Kantor Bupati Pati sejak 1 Agustus 2025. Mereka berunjuk rasa menolak keputusan Bupati Pati, Sudewo, yang menaikkan tarif PBB. Kebijakan tersebut menimbulkan keresahan luas di masyarakat karena dinilai terlalu tinggi (tempo.co, 11/8/2025).

‎Sorotan publik pun jatuh pada sosok bupati, dalam aksi tersebut massa menuntut Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat, meski kebijakan kenaikan pajak sudah dibatalkan. Teriakan “Sudewo harus lengser” berkali-kali menggema di tengah kerumunan (bbc.com, 13/8/2025).

‎Pati menjadi titik awal, selanjutnya aksi protes merembet ke beberapa daerah lain yang mengalami nasib serupa. Bone, Sulawesi Selatan, yang naik 200 persen hingga 300 persen. Cirebon, PBB-P2 yang dibayar naik paling kecil 150 persen hingga 1.000 persen. Masih banyak lagi daerah lain seperti Jombang dan Semarang (bbc.com, 15/8/2025).

‎Dilansir dari bbc.com, 15/8/2025, kenaikan PBB dinilai tidak lepas dari kebijakan pemerintah pusat yang memangkas dana transfer ke daerah (TKD) hingga Rp50,29 triliun pada tahun ini. Kondisi tersebut memaksa pemerintah daerah mencari sumber pendapatan baru. Pemangkasan anggaran dilakukan untuk mengalihkan dana ke program prioritas, seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), ketahanan pangan dan energi, serta peningkatan layanan kesehatan.

‎Wajar jika pemerintah daerah mencari sumber pendapatan baru dengan fenomena kenaikan PBB, karena sesungguhnya sistem hari ini menggantungkan pendapatannya pada pungutan dari rakyat. Pajak dijadikan tumpuan utama, seolah-olah rakyat adalah mesin uang yang bisa diperas tanpa henti. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya melindungi justru melukai, menimbulkan keresahan, bahkan sampai memakan korban di lapangan.

‎Kapitalisme terlihat rapuh karena orientasinya hanya pada angka-angka keuntungan, bukan pada kesejahteraan nyata. Sistem ini membuat pemangku kuasa lebih sibuk mengejar target pendapatan daripada mendengar jeritan warganya. Saat dana transfer dari pusat dipangkas, daerah buru-buru mencari celah menutupinya dengan pajak, tanpa mempertimbangkan daya tahan masyarakat. Inilah bukti bahwa kapitalisme tidak pernah menjadi solusi.

‎Pada akhirnya, kapitalisme gagal karena logika utamanya adalah keuntungan, bukan menjalankan amanah dalam mengemban kekuasaan. Selama pajak dianggap solusi instan, rakyat akan terus jadi korban, baik secara ekonomi maupun sosial. Sistem seperti ini ibarat tambal sulam yang setiap saat bisa robek.

‎Berbeda dengan kapitalisme, Islam menawarkan paradigma pengelolaan keuangan negara yang lebih kokoh dan adil. Dalam sistem Islam, pajak (dharibah) bukanlah sumber utama penerimaan negara. Ia hanya diberlakukan dalam kondisi darurat, itupun terbatas pada kalangan yang mampu secara finansial, yakni orang kaya.

‎Sebaliknya, pendapatan negara dalam Islam berasal dari pos-pos tetap seperti zakat, kharaj, jizyah, ghanimah, hingga pengelolaan kepemilikan umum (seperti hasil tambang, energi, dan sumber daya alam). Dengan sistem ini, beban anggaran tidak serta-merta dipindahkan ke rakyat kecil. Negara tetap memiliki sumber daya yang stabil untuk membiayai pelayanan publik, tanpa harus menjerat masyarakat dengan pajak berlebih. 

‎Dalam bingkai syariat, kesejahteraan rakyat ditempatkan sebagai orientasi utama, berbekal amanah yang dipikul oleh penguasa untuk melayani, bukan membebani. Negara wajib menjadi raa’in (pengurus), bukan pemalak karena pemangku kuasa bertanggung jawab langsung di hadapan Allah.

‎Islam menawarkan jalan keluar yang hakiki karena sistemnya dibangun di atas hukum syarak, aturan langsung dari Allah SWT yang sempurna dan tak terbantahkan. Tidak seperti kapitalisme yang lahir dari akal manusia dan selalu sarat kepentingan, Islam menutup celah manipulasi kebijakan demi keuntungan segelintir pihak. Aturan Allah tidak bisa ditawar-tawar atau dimanfaatkan untuk keserakahan, sebab ia bersandar pada iman dan takwa.

‎Andai sistem Islam ditegakkan dalam bingkai negara secara menyeluruh, dapat dipastikan sengkarut kenaikan PBB yang menindas rakyat tidak akan muncul ke permukaan. Aturan Allah adalah solusi hakiki, jawaban mendasar atas segala persoalan umat yang tak mampu diselesaikan sistem buatan manusia. Wallahualam bisshawab.

Tags Artikel Opini Opini