Oleh: Khikmawanto, Dirketur Eksekutif Renaissance Institute dan Pengajar di Universitas Yuppentek Indonesia
TANGERANGNEWS.com-Pernyataan "semua tanah adalah milik negara" yang dilontarkan oleh Nusron Wahid bukan sekadar ucapan biasa dalam debat publik. Pernyataan ini adalah sebuah manuver retoris yang sangat provokatif, menyentuh inti dari hak kepemilikan dan menempatkan negara pada posisi Leviathan—sebuah entitas berkuasa mutlak seperti yang digambarkan oleh Thomas Hobbes. Pernyataan ini menjadi ujian sesungguhnya bagi kapasitas seorang menteri, bukan hanya dalam memahami landasan konstitusional, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan yang rapuh antara kekuasaan negara dan hak-hak dasar rakyat. Ini adalah pertaruhan besar yang mengancam untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap properti dan peran pemerintah.
Jika kita menengok teori John Locke, hak atas tanah adalah hak kodrati yang telah ada bahkan sebelum negara terbentuk. Locke berpendapat bahwa manusia memperoleh hak atas properti, termasuk tanah, melalui kerja keras mereka—dengan mencampurkan tenaga dan keringat mereka ke dalam alam. Proses ini menciptakan ikatan yang tak terpisahkan antara individu dan propertinya. Dalam pandangan Locke, negara dibentuk justru untuk melindungi hak-hak kodrati ini, bukan untuk merampasnya. Oleh karena itu, tugas utama pemerintah adalah menjadi pelindung, bukan pemilik tunggal. Ketika seorang pejabat publik mengklaim semua tanah sebagai milik negara, ia secara fundamental membalikkan logika Locke, mengubah negara dari penjaga menjadi penguasa absolut yang berpotensi melanggar hak-hak dasar warganya. Implikasi dari pandangan ini sangatlah berbahaya: ia dapat meniadakan pengorbanan dan usaha turun-temurun yang telah dicurahkan keluarga untuk menggarap dan merawat sebidang tanah, mengubah mereka dari pemilik menjadi sekadar penyewa yang sewaktu-waktu dapat diusir.
Namun, pernyataan ini juga dapat dianalisis dari perspektif yang lebih dekat dengan pemikiran Thomas Hobbes. Hobbes menggambarkan keadaan alamiah manusia sebagai "perang semua melawan semua," di mana setiap individu memiliki hak atas segalanya, yang pada akhirnya menciptakan kekacauan total. Untuk mengakhiri kondisi anarki ini, manusia secara sukarela membentuk kontrak sosial dan menyerahkan sebagian hak mereka kepada penguasa yang berdaulat, Leviathan, demi terciptanya ketertiban dan keamanan. Dari sudut pandang ini, klaim kepemilikan negara atas tanah bisa diartikan sebagai bagian dari kekuasaan mutlak Leviathan untuk mengatur dan mengendalikan sumber daya demi kepentingan bersama. Negara memiliki wewenang penuh untuk memastikan penggunaan tanah yang teratur, mencegah sengketa, dan mengalokasikan sumber daya untuk proyek-proyek publik. Logika ini seringkali digunakan untuk membenarkan tindakan negara dalam pembangunan infrastruktur, redistribusi lahan, atau penertiban kawasan kumuh, di mana kepentingan kolektif dianggap lebih penting daripada hak individu.
Pernyataan yang berada di antara dua kutub pemikiran ini, menjadi cerminan nyata dari kapasitas seorang menteri. Sebagai pejabat publik, kapasitas tidak hanya diukur dari pemahaman teoritis, tetapi juga dari kepekaan terhadap dampak sosial dan hukum dari setiap pernyataan. Mengucapkan kalimat yang secara harfiah mengklaim semua tanah milik negara dapat menimbulkan gelombang kecemasan, ketidakpastian hukum, dan bahkan perlawanan sosial di tengah masyarakat. Pernyataan tersebut menunjukkan kurangnya kehati-hatian dalam berkomunikasi dan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah. Seorang menteri yang cakap seharusnya mampu menjelaskan kebijakan dengan nuansa yang tepat, membedakan antara hak penguasaan negara sebagai regulator dengan klaim kepemilikan mutlak. Negara memang memiliki hak untuk mengatur dan mengalokasikan tanah demi kepentingan umum, tetapi hak ini tidak sama dengan klaim absolut yang meniadakan hak-hak individu yang telah ada sejak lama dan dilindungi oleh konstitusi. Kapasitas menteri diuji pada kemampuannya untuk mengartikulasikan kompleksitas ini, bukan dengan menyederhanakannya menjadi diktum yang mengancam.
Pada akhirnya, pernyataan tersebut menjadi ujian krusial bagi kapasitas seorang menteri dalam menavigasi keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak-hak warganya. Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah pemerintah akan bertindak sebagai pelindung hak rakyat, atau justru menjelma menjadi Leviathan yang mengklaim segala-galanya atas nama ketertiban? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah pembangunan bangsa, apakah ia akan berlandaskan pada perlindungan hak individu atau pada kekuasaan mutlak yang rentan terhadap penyalahgunaan. Esensi dari kepemimpinan yang baik adalah kemampuan untuk memimpin dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap kata yang diucapkan tidak hanya terdengar kuat, tetapi juga adil dan bijaksana.