Kamis, 25 September 2025

Membongkar Kompromi Hegemoni Antara Ormas dan Kekuasaan Formal di Indonesia

Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Khikmawanto, Ditrektur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia

 

TANGERANGNEWS.com-Indonesia, dalam wajah formalnya, adalah negara hukum dan demokrasi. Namun di lapisan sosial yang lebih dalam, kita sering menjumpai ironi: masyarakat yang hidup dalam ketakutan bukan karena negara yang otoriter, melainkan karena kehadiran aktor-aktor non-negara yang beroperasi seolah memiliki kewenangan moral dan politik. Mereka menyebut diri sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), tetapi dalam praktiknya, banyak yang berperan sebagai pemilik kuasa informal yang menekan warga.

Premanisme, yang dahulu dikenal melalui kekerasan terbuka dan pungutan liar, kini menjelma dalam bentuk yang lebih rapi, terstruktur, bahkan dilegitimasi. Mereka memakai seragam, membawa bendera, menggelar konferensi pers, dan berbicara atas nama rakyat. Namun substansinya tetap sama: menciptakan ketakutan, mendominasi ruang publik, dan mereproduksi kekuasaan yang tidak berbasis mandat rakyat.

Fenomena ini, menurut penulis, bukan hanya soal penyimpangan sosial. Ia mencerminkan sebuah proses dominasi yang sangat dalam—dan dalam banyak hal, sangat berhasil. Untuk memahami ini, kita perlu meminjam lensa pemikiran Antonio Gramsci, seorang intelektual Italia yang berbicara tentang konsep hegemoni.

Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan tidak selalu dibangun lewat paksaan atau kekuatan militer. Kekuasaan yang paling efektif justru dibangun melalui persetujuan, atau lebih tepatnya, persetujuan yang dikondisikan. Hegemoni bekerja melalui normalisasi nilai-nilai dominan yang kemudian diterima sebagai “kebenaran umum” oleh masyarakat. Inilah yang membuat masyarakat mendukung atau diam terhadap struktur yang sesungguhnya menindas mereka.

Di Indonesia, ormas dan LSM sering kali menjadi agen-agen hegemonik ini. Mereka hadir dalam ruang konflik, mengklaim sebagai penjaga moral, pembela agama, pelindung adat, atau pengawas pembangunan. Dalam beberapa kasus, mereka memang berkontribusi positif. Namun tidak sedikit pula yang menggunakan klaim tersebut untuk memperoleh kekuasaan informal, menekan kelompok lemah, bahkan menguasai proyek-proyek pemerintah.

Lebih ironis lagi, negara sering kali tidak mengambil jarak. Dalam banyak kasus, aparat keamanan terlihat enggan menindak atau bahkan menjalin kerja sama dengan kelompok-kelompok ini. Akibatnya, kekuasaan informal ini menjadi semakin kuat, bahkan mendapatkan legitimasi dari struktur formal negara.

Inilah bentuk hegemoni dalam makna paling konkret. Ketika masyarakat tidak lagi bisa membedakan antara kekuasaan yang sah dan kekuasaan yang manipulatif, maka dominasi menjadi lengkap. Masyarakat diam bukan karena setuju, tetapi karena merasa tidak punya pilihan. Negara diam bukan karena tidak tahu, tetapi karena sudah terjebak dalam kompromi politik dan kepentingan jangka pendek.

Untuk melawan situasi ini, kita tidak bisa hanya berharap pada penegakan hukum. Yang lebih fundamental adalah membangun kesadaran kritis di tengah masyarakat. Seperti yang dikatakan Gramsci, perlawanan terhadap hegemoni harus dilakukan melalui “perang posisi,” yaitu pertarungan panjang dalam ranah ide, wacana, dan kesadaran kolektif.

Masyarakat harus diberi ruang dan dorongan untuk bertanya: siapa yang sebenarnya membela kepentingan umum, dan siapa yang hanya memperalat rakyat untuk kepentingan kekuasaan? Siapa yang sungguh bekerja untuk keadilan, dan siapa yang menjadikan keadilan sebagai slogan kosong?

Pendidikan politik menjadi sangat penting dalam konteks ini. Kita harus melatih warga untuk tidak larut dalam retorika, tetapi menilai berdasarkan konsistensi tindakan dan transparansi. Kita perlu memulihkan ruang publik dari dominasi simbolik, agar ormas dan LSM kembali pada esensinya sebagai mitra sosial, bukan sebagai penguasa bayangan.

Demokrasi tidak hanya membutuhkan lembaga yang sah, tetapi juga masyarakat yang sadar. Ketika ruang sipil dikendalikan oleh suara-suara yang tidak akuntabel, maka demokrasi kehilangan maknanya. Kita harus berani menyuarakan ketidakberesan ini, meski kadang dibungkam oleh stigma atau tekanan.

Penulis percaya, kekuasaan yang dibangun di atas ilusi tidak akan bertahan lama jika masyarakat mulai bertanya. Hegemoni, betapapun halus dan kuatnya, tetap bisa dilawan—selama kita punya keberanian untuk berpikir, berbicara, dan bertindak.

Tags Artikel Opini Opini