Jumat, 31 Oktober 2025

Miskin Bukan Pilihan: Ketimpangan Sosial sebagai Bentuk Kekerasan Terselubung

Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang

 

TANGERANGNEWS.com-Kemiskinan sering kali dipandang sebagai konsekuensi dari kurangnya usaha, rendahnya pendidikan, atau nasib buruk semata. Pandangan ini menempatkan kemiskinan sebagai tanggung jawab individu, seolah-olah menjadi miskin adalah hasil dari pilihan pribadi. Padahal, di balik wajah-wajah lelah para buruh, petani, dan pekerja informal, tersimpan sebuah sistem yang tidak adil dan memelihara ketimpangan. Kemiskinan bukanlah pilihan, melainkan hasil dari kekerasan yang bekerja diam-diam dalam struktur sosial. Kekerasan ini tidak menggunakan senjata, tidak menumpahkan darah, tetapi perlahan-lahan menciptakan penderitaan dan ketidakberdayaan bagi jutaan orang.

Ketimpangan sosial adalah wujud nyata dari kekerasan struktural yang diciptakan oleh sistem ekonomi dan politik yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Di Indonesia, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar; satu persen penduduk menguasai sebagian besar kekayaan nasional, sementara jutaan orang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Keadaan ini tidak muncul secara alami, melainkan akibat dari kebijakan yang lebih banyak menguntungkan kelompok berkuasa. Subsidi untuk rakyat kecil berkurang, tetapi insentif bagi perusahaan besar justru diperluas. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak menjadi hak istimewa bagi segelintir orang. Dengan cara yang halus namun efektif, sistem sosial yang timpang ini mengurung masyarakat miskin dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.

Kekerasan sosial tidak selalu hadir dalam bentuk fisik yang mudah dikenali. Ia bisa bersembunyi di balik kebijakan publik yang bias kelas, di dalam pola pikir masyarakat, bahkan dalam narasi media. Ketika masyarakat miskin dicap sebagai malas atau tidak produktif, padahal mereka bekerja keras setiap hari tanpa perlindungan sosial, di situlah kekerasan simbolik bekerja. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai kekerasan yang tidak kasat mata — bentuk kekerasan yang membuat ketidakadilan tampak wajar. Kita hidup dalam budaya yang memuja meritokrasi: gagasan bahwa siapa pun bisa berhasil asal berusaha keras. Padahal, kenyataannya tidak semua orang memulai dari titik yang sama. Sistem yang menormalisasi ketimpangan ini membenarkan ketidakadilan atas nama kerja keras dan keberhasilan individu.

Namun, di tengah ketimpangan yang semakin lebar, selalu ada bentuk perlawanan yang tumbuh di akar rumput. Perlawanan ini tidak selalu berbentuk demonstrasi besar atau revolusi sosial, tetapi hadir dalam solidaritas sehari-hari. Komunitas rakyat membangun koperasi, kelompok tani memperjuangkan hak atas tanah, dan jaringan sosial berbagi pangan muncul untuk saling menopang. Dalam dunia digital, muncul pula aktivisme baru yang menyuarakan keadilan sosial dan menantang narasi dominan. Semua ini adalah bentuk perlawanan sunyi — perlawanan yang tidak selalu bising, tetapi memiliki kekuatan moral untuk menumbuhkan kesadaran kolektif. Mereka menolak untuk tunduk pada sistem yang menindas, dan memilih untuk berjuang, meski dengan langkah kecil.

Kesadaran bahwa kemiskinan bukanlah kesalahan individu melainkan akibat dari struktur yang timpang adalah titik awal perubahan sosial. Perubahan sejati tidak akan lahir hanya dari kebijakan teknokratis, tetapi dari kesadaran moral masyarakat untuk melihat kemiskinan sebagai bentuk kekerasan yang harus diakhiri. Masyarakat yang adil bukan berarti semua orang memiliki kekayaan yang sama, melainkan masyarakat yang menjamin setiap orang dapat hidup dengan martabat. Dengan demikian, seruan “miskin bukan pilihan” menjadi panggilan nurani untuk membangun sistem yang lebih manusiawi — sistem yang tidak hanya mengukur keberhasilan dari pertumbuhan ekonomi, tetapi dari sejauh mana kesejahteraan itu dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Ketika negara dan warganya bersama-sama menyadari hal ini, maka kekerasan terselubung dalam bentuk ketimpangan sosial dapat mulai dihapuskan, digantikan dengan tatanan yang lebih berkeadilan dan berkeadaban.

 

Tags Artikel Opini Opini