Sabtu, 1 November 2025

Birokrasi Lumpuh di Era VUCA Akibat Ajal Meritokrasi dan Kronisme Lokal

Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen di Universitas Yuppentek Indonesia

 

TANGERANGNEWS.com-Sistem birokrasi Indonesia pasca-reformasi dibangun di atas optimisme tinggi terhadap meritokrasi. Konsep ini, yang secara ilmiah berarti sistem yang menempatkan seseorang berdasarkan kemampuan, keahlian, dan kinerja (merit), tertuang jelas dalam UU ASN. Tujuannya adalah melahirkan birokrasi yang netral dan profesional (Dwiyanto, 2006). Kebutuhan profesionalisme ini semakin mendesak di era modern yang dicirikan oleh kondisi VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambigous).

Konsep VUCA sendiri lahir dari Sekolah Perang Angkatan Darat AS di akhir Perang Dingin, digunakan untuk mendeskripsikan kondisi dunia yang berubah cepat, kompleks, dan penuh ketidakpastian. Namun, di tengah urgensi ini, kita menyaksikan bagaimana prinsip meritokrasi justru sedang menghadapi ajalnya. Fenomena yang tumbuh subur adalah kronisme yang menunggangi prosedur—sebuah praktik di mana mekanisme formal dipatuhi, tetapi substansi keadilan dan kompetensi diabaikan demi kepentingan elit politik, yang ironisnya marak terjadi di banyak pemerintahan daerah.

 

Patronase Politik, Infeksi di Seluruh Tingkat Karir Birokrasi

Secara teoretis, implementasi sistem merit di daerah selalu menghadapi tantangan berat berupa intervensi politik (Putra & Wijaya, 2022). Intervensi ini memanfaatkan hak prerogatif Kepala Daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Hak prerogatif, yang seharusnya menjadi hak diskresi etis, telah disalahgunakan menjadi celah hukum untuk menjalankan politik patronase. Patronase, dalam konteks birokrasi, adalah praktik pengangkatan individu berdasarkan loyalitas personal, mengabaikan kualifikasi formal (Agustino, 2014).

Politik patronase kini tidak hanya menyasar kursi-kursi pimpinan tertinggi, tetapi telah meresap ke dalam proses kenaikan jabatan secara umum di seluruh lini birokrasi, dari pejabat manajerial hingga posisi staf yang baru mendapatkan tanggung jawab. Di banyak daerah, terlihat pola bahwa mutasi dan promosi jabatan umum cenderung didominasi oleh faktor kedekatan, bukan pertimbangan murni kompetensi.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pegawai birokrasi yang loyal secara personal atau memiliki akses tertentu, seringkali mendapatkan promosi berantai yang tidak proporsional dengan rekam jejak kinerja mereka. Promosi ini adalah imbalan (reward) atas loyalitas, mereduksi meritokrasi hanya sebatas kelengkapan administrasi. Sebaliknya, pegawai birokrasi yang berprestasi dan dikenal kritis justru dimutasi ke posisi fungsional umum yang tidak strategis—sebuah praktik yang dikenal sebagai 'memarkir' atau sanksi politik halus. Fenomena ini menguatkan dugaan bahwa birokrasi telah bertransformasi menjadi alat mobilisasi politik di seluruh lininya, di mana yang menentukan karir adalah seberapa patuh dan diam seorang pegawai terhadap kehendak pimpinan.

 

Patologi Birokrasi, VUCA, dan Ancaman Kualitas Pelayanan Publik

Dampak dari penempatan non-meritokrasi yang merata ini sangat sistemik. Praktik ini menimbulkan patologi birokrasi (Rasyid, 2003) dan sinisme kelembagaan yang parah di internal birokrasi. Pegawai profesional kehilangan motivasi karena melihat kinerja baik dan dedikasi harian tidak dijamin berujung pada promosi. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang pada akhirnya merusak kualitas birokrasi secara keseluruhan.

Lebih jauh lagi, praktik patronase membuka ruang subur bagi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Pejabat yang diangkat karena utang loyalitas, cenderung berorientasi pada kepentingan kelompok patron, bukan kepentingan publik (Syaukani dkk., 2004). Hal ini mengganggu efisiensi pelayanan karena posisi yang bertanggung jawab di lini depan tidak diduduki oleh orang yang paling kompeten.

Pada akhirnya, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat, di mana kualitas Good Governance menurun dan efisiensi pelayanan publik anjlok akibat posisi manajerial diisi oleh loyalis yang tidak kompeten. Isu ajal meritokrasi ini melampaui masalah internal kepegawaian, melainkan ancaman nyata terhadap daya tahan negara dan pemerintahan lokal. Di tengah gelombang VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) yang mendefinisikan era saat ini, birokrasi dituntut untuk berpikir adaptif, mengambil keputusan cepat, dan mengurai kompleksitas masalah publik. Tuntutan untuk beradaptasi dengan Volatilitas dan Ketidakpastian hanya dapat dijawab oleh birokrasi yang agile, inovatif, dan berani mengambil risiko terukur—kriteria yang hanya bisa ditemukan melalui sistem merit. Jika sistem ini dicederai oleh patronase, di mana posisi manajerial diisi oleh loyalis yang minim kompetensi, maka birokrasi akan lumpuh.

Ajal meritokrasi dengan demikian sama dengan kegagalan sistemik dalam menghadapi tantangan Kompleksitas dan Ambiguitas global. Untuk menyelamatkan prinsip meritokrasi, perlu adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas total hingga ke tingkat mutasi maupun kenaikan jabatan pegawai level manajerial. Selama kenaikan jabatan masih diperlakukan sebagai hadiah loyalitas, selama itu pula reformasi birokrasi hanya akan menjadi basa-basi yang mengkhianati cita-cita profesionalisme dan mengabaikan urgensi tantangan VUCA.

Tags