Jumat, 7 November 2025

Potret Kapitalisasi Air yang Haus Keuntungan

Fajrina Laeli S.M, Aktivis Muslimah.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Fajrin Laeli, S.M, Akitvis Muslimah.

 

‎TANGERANGNEWS.com-Air adalah kebutuhan paling dasar bagi kehidupan. Secara ilmiah, tubuh manusia terdiri dari sekitar 60–70 persen air. Manusia hanya dapat bertahan hidup sekitar tiga hari tanpa air. Setiap organ tubuh manusia mulai dari otak hingga jantung memerlukan air agar dapat berfungsi dengan baik.

‎Sayangnya, di balik peran vitalnya, air justru semakin sulit diakses oleh banyak orang. Sumber air bersih menurun, sedangkan sebagian besar pasokannya kini dikelola oleh perusahaan raksasa. Padahal, air bukan barang mewah, air adalah hak hidup yang selayaknya dinikmati oleh setiap manusia.

‎Ironisnya, demi keuntungan, banyak perusahaan air minum mengekstraksi air dari sumber alami hingga ke lapisan tanah terdalam. Contohnya, sumber air Aqua yang kini menjadi sorotan publik sejak viral di kalangan warganet melalui rekaman video Inspeksi dadakan atau sidak Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke PT Tirta Investama (Aqua) Pabrik Subang di akun Instagram miliknya pada Rabu, 22 Oktober 2025  (tempo.co, 24/10/2025).

‎Dalam videonya, Gubernur Jabar yang lebih dikenal dengan Kang Dedi Mulyadi (KDM) tersebut menanyakan sumber air yang digunakan Aqua. Pihak perusahaan menjelaskan bahwa air yang dipakai berasal dari beberapa titik sumur di sekitar pabrik, bukan dari sungai atau mata air, melainkan dari bawah tanah.

‎Padahal pemanfaatan air tanah secara besar-besaran dapat menimbulkan dampak buruk (dharar) berupa pencemaran dan kerusakan ekologis. Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), memperingatkan bahwa pengambilan air tanah menjadi salah satu faktor penurunan muka tanah yang banyak terjadi di pesisir Pulau Jawa (niaga.asia, 31/10/25).

‎Menurut Pak Menteri, berdasarkan kajian terbaru, permukaan tanah di wilayah pesisir mengalami penurunan 10 hingga 15 cm, yang terjadi merata dari ujung barat hingga timur Pulau Jawa. Kondisi ini tidak hanya merusak keseimbangan ekosistem, tetapi juga meningkatkan risiko banjir dan kekeringan di masa depan.

‎Air yang sejatinya menjadi hak dasar manusia kini terancam berubah menjadi komoditas yang dikendalikan oleh bisnis besar. Tidak heran jika sumber air bersih terus menipis dan hak dasar rakyat untuk hidup layak makin terkikis. Praktik semacam ini mencerminkan bahwa logika kapitalisme, yang memprioritaskan keuntungan perusahaan, makin merasuk ke ranah yang seharusnya menjadi hak hidup setiap orang.

‎Kenyataannya, krisis air bersih bukan hanya isu masa depan. Misalnya, pada Maret 2025 tercatat sekitar 28 juta penduduk Indonesia masih kesulitan mendapatkan akses air bersih layak minum (kumparan.com, 16/6/25). Terjadi juga di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sejumlah desa hingga mengajukan permohonan bantuan air bersih karena musim kemarau yang menyebabkan sumber air menipis (metrotvnews.com, 22/7/25).

‎Ketika pipa-pipa baja perusahaan mengalirkan ribuan liter air ke mesin produksi, sedangkan di luar temboknya masih banyak warga yang menadah sisa tetesan hujan di ember lusuh seadanya. Air dikemas, diberi label, dan dikomersialisasi jelas kondisi ini sangat kontras dengan keadaan rakyat kecil yang berebut air keruh sekadar untuk mandi atau memasak.

‎Inilah fakta wajah kapitalisme, ketika hak hidup dijadikan ladang bisnis, dan air yang seharusnya menjadi milik bersama berubah menjadi simbol ketimpangan yang paling nyata. Slogan yang kaya makin kaya, yang miskin makin tersiksa nyata adanya.

‎Lemahnya regulasi terkait batas pemanfaatan sumber daya air juga menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengelolaan SDA kita saat ini. Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah Kementerian PUPR seolah belum mampu menahan laju kapitalisasi air yang dilakukan oleh korporasi besar. Aturan yang ada hanya menjadi dokumen tanpa taring, sedangkan sumber daya yang mestinya dijaga untuk kepentingan rakyat justru terus dieksploitasi demi keuntungan segelintir pihak.

‎Sejatinya ini tampak wajar karena dalam sistem kapitalisme, sumber daya alam seperti air dipandang sebagai komoditas ekonomi yang bisa dieksploitasi demi profit. Negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pengelola utama. Akibatnya, izin pengelolaan air lebih sering jatuh ke tangan korporasi besar dalam bentuk swasta. Dampaknya nyata, rakyat harus membeli air yang berasal dari sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama. Ketika air berubah menjadi barang dagangan, keadilan sosial pun memudar. Sila kelima dalam Pancasila hanya kiasan tanpa ada penerapan nyata.‎

‎Berbeda total dengan paradigma Islam. Dalam sistem Islam, air termasuk kategori milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum), hak setiap individu yang dijamin syariat. Negara tidak boleh menjual atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, karena negara bertugas menjaga agar setiap rakyat bisa menikmatinya secara adil. Rasulullah Saw bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Hadis ini bukan sekadar anjuran moral, tetapi menjadi dasar hukum bahwa air tidak boleh dikomersialisasi. 

‎Jika sistem Islam diterapkan, negara tidak hanya mengatur, tetapi juga mengurus langsung pengelolaan air. Pendapatan dari pengelolaan tersebut digunakan untuk kepentingan umum seperti pembangunan fasilitas publik atau subsidi air bagi rakyat. Dengan cara ini, air tetap menjadi sumber keberkahan, bukan sumber kesenjangan. Inilah perbedaan mendasar yang terjadi, kapitalisme menumbuhkan ketamakan, sedangkan Islam menumbuhkan kemaslahatan.

‎Hanya sistem Islam yang mampu menjadi jalan keluar sejati dari krisis ini. Dalam sistem Islam tidak ada ruang bagi keserakahan atau penguasaan sumber air oleh segelintir pihak, karena seluruh pengelolaan berlandaskan syarak yang berpijak hukum Allah Swt. Alhasil, air akan kembali menjadi hak bersama yang memberi kehidupan bagi semua, bukan alat mencari keuntungan semata. Wallahu'Alam bissawab.

Tags