Senin, 15 Desember 2025

Penebangan Hutan Secara Liar di Indoensia, Kegagalan Hukum dan Harga Sosial yang Kita Bayar Hari Ini

Nazwa Aulia, Mahasiswa Semester Universita Sultan Ageng Tirtayasa (@TangerangNews / Fahrul Dwi Putra)

Oleh : Nazwa Aulia, Mahasiswa Semester Universita Sultan Ageng Tirtayasa 

 

TANGERANGNEWS.com- Ada satu ironi besar di negeri ini, Indonesia dikenal sebagaisalah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, tetapi justrumenjadi negara yang paling cepat kehilangan hutan setiaptahunnya. Kita memiliki Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Lingkungan Hidup, hingga UU P3H yang konon menjadi “senjata ampuh” melawan illegal logging. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa semuaperangkat hukum itu terlalu sering hanya berhenti sebagaiteks, bukan tindakan. Seolah-olah kita sedang memainkan drama lama, hukum tampil megah di panggung aturan, tetapitumbang di panggung pelaksanaanan UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan; UU No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan Hutan (UU P3H ); UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup 

Hukum yang Tegas, Tapi Tidak Pernah Betul-Betul TegasMari kita akui, problem terbesar kita bukan kurangnya aturan, tetapi kurangnya keberanian untuk menegakkan aturan tersebut. Bukan rahasia lagi bahwa:

Inilah wajah hukum kita, terlihat kuat, tetapi rapuh di titik paling krusial integritas. Hukum yang seharusnya menjadi pelindung hutan, malah sering tumpul ketika berhadapan dengan kepentingan modal. Kita memang punya pasal-pasal yang mengancam pelaku dengan hukuman berat. Dampak yang Kita Rasakan ”Bukan Lagi Warning, Tetapi Kenyataan Pahit”.

Salah satu kesalahan terbesar kita sebagai bangsa adalah menganggap kerusakan hutan sebagai isu “lingkungan”, bukan isu kehidupan sehari-hari. Padahal hari ini, dampak illegal logging bukan teori tetapi realitas yang kita rasakan langsung.

1. Banjir yang Tidak Kenal Musim

Mengapa daerah yang dulu tidak pernah banjir kini tenggelam setiap tahun? Jawabannya sesederhana itu, hutan di hulu sudah hilang. Tanah tidak lagi punya daya serap, sungai kehilangan keseimbangan, dan kita sibuk menyalahkan hujan. Padahal biang utamanya adalah gergaji mesin yang membabi buta. 

2. Longsor yang Merenggut Nyawa

Bukit-bukit yang berdiri tanpa akar pohon adalah bom waktu. Dan setiap tahun, kita mendengar kabar rumah tertimbun tanah, jalan terputus, dan nyawa melayang. Apakah kita masih bisa menyebut ini sebagai “bencana alam”? Atau justru ini adalah “bencana buatan manusia” bencana akibat kelalaian kolektif?

3. Satwa Liar yang Turun ke Desa

Ketika orangutan atau beruang memasuki pemukiman, itu bukan karena mereka agresif. Itu karena kita merebut hutan mereka. Konflik manusia-satwa semakin sering terjadi bukan karena satwa berubah, tetapi karena kita memaksa mereka kehilangan tanah tempat bernaung.

4. Krisis Air yang Menghantui

Indonesia yang kaya air kini memiliki desa-desa yang harus membeli air bersih. Ironi seperti ini tidak akan terjadi jika hutan masih berdiri sebagai penyimpan air alami. Penebangan hutan telah memutus siklus air, dan kita mulai merasakan harga mahalnya.

5. Kebakaran Hutan dan Kabut Asap

Hutan yang rusak lebih mudah terbakar. Kita sudah sering merasakan langit kelabu di musim kemarau.Anak-anak sekolah memakai masker, penerbangan terganggu, paru-paru warga menderita. Inilah dampak yang tidak dapat lagi kita tutupi.

Lalu, Sampai Kapan Kita Menutup Mata? Kita sering mengatakan bahwa hutan adalah paru-paru dunia. Tetapi sejujurnya, kita memperlakukan paru-paru itu seolah-olah bisa diganti kapan saja.

Padahal hutan bukan hanya soal pohon. Hutan adalah pengatur air, penyangga tanah, pelindung satwa, sumber kehidupan masyarakat adar dan warisan eokologis anak cucu 

Yang paling menyedihkan adalah, kita membiarkan hukum yang sudah kuat menjadi tak berdaya.Seolah-olah kita bersepakat bahwa keuntungan jangka pendek lebih penting daripada keberlanjutan jangka panjang.

Penutup

Penebangan liar adalah cerminan lemahnya tata kelola negara atas sumber daya alam. Selama penegakan hukum tidak tegas, dan selama kepentingan ekonomi lebih dominan daripada keberlanjutan, kerusakan hutan akan terus berlanjut.

Indonesia membutuhkan:

Kita Tidak Kekurangan Aturan, Kita Kekurangan Kejujuran. Jika saya harus merumuskan akar persoalan illegal logging dalam satu kalimat, maka jawabannya adalah. 

”Kita tidak kekurangan aturan kita kekurangan integritas dan keberanian untuk menegakkan aturan itu. Selama hukum hanya menjadi simbol, selama pemodal besar tidak tersentuh, selama aparat tidak diperkuat, selama masyarakat tidak dilibatkan, dan selama kita memaklumi korupsi kecil demi kelancaran administrasi, maka illegal logging akan terus menjadi tragedi yang kita ciptakan sendiri. Hutan Indonesia tidak membutuhkan lebih banyak undang-undang baru. Hutan membutuhkan manusia yang lebih jujur”. Dan jika kita tidak memulainya sekarang, mungkin di masa depan anak cucu kita akan bertanya: “Mengapa kalian biarkan hutan kami hilang?” Dan kita tidak akan punya jawaban yang pantas.

Tags Aktivis Lingkungan Artikel Opini Kelestarian Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Opini