Jumat, 19 Desember 2025

Tangerang Selatan Darurat Sampah: Terpal Tak Menjadi Solusi

Wafa Hasna Azkiya, Mahasiswi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Matematika.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Wafa Hasna Azkiya, Mahasiswi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Matematika

 

TANGERANGNEWS.com-Beberapa hari terakhir, di sekitar pinggir jalan Tangerang Selatan terdapat banyak sampah yang menumpuk. Tumpukan sampah tersebut bukan hanya terdapat di beberapa titik, melainkan tersebar di ruas-ruas jalanan. Hal ini memicu keluhan khususnya dari warga sekitar, bau menyengat dari tumpukan sampah sangat mengganggu pengguna jalan bahkan di beberapa lokasi sudah bermunculan belatung-belatung.

Pemandangan tumpukan sampah bukan hanya soal estetika kota, tetapi juga soal kenyamanan dan kesehatan, yang dikhawatirkan dapat memicu timbulnya penyakit. Jalanan umum berubah fungsi menjadi tempat pembuangan “darurat”. Alasan penumpukan sampah ini kerap dikaitkan dengan terganggunya akses sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang. 

 

TPA Cipeucang dalam Kondisi Darurat

Yayat Supriatna, Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, menyebut kondisi TPA Cipeucang sudah sangat darurat sejak 2020. Laju pertumbuhan masyarakat Tangerang Selatan yang kian bertambah mengakibatkan volume sampah juga meningkat yang jumlahnya tidak sebanding dengan kapasitas TPA Cipeucang. Masyarakat terus bertambah. Jumlah sampah kian meningkat. Namun, masalahnya tempat pembuangan akhir hanya satu yang tersedia dan sudah melebihi kapasitasnya.

Tindakan warga membuang sampah sembarangan jelas bukan suatu hal yang dapat dibenarkan. Namun, jika situasi sistem pengelolaan sampah tidak berjalan normal, pilihan warga sangat terbatas. Tidak mungkin mereka menimbun sampah rumah tangga terlalu lama. Dan opsi membakar sampah juga menimbulkan permasalahan lain salah satunya polusi udara. Jadi apa yang bisa kita lakukan?

 

Terpal Bukan Jawaban

Pemerintah memang menindak cepat kondisi ini. Sampah ditutupi oleh terpal. Disiram dengan cairan ramah lingkungan. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangsel, Bani Khosyatullah, mengatakan hal ini dilakukan agar dampak bau dapat ditekan, khususnya untuk warga sekitar. Masalahnya, apakah solusi ini berjalan maksimal? Karena pada nyatanya bau tersebut masih tetap tercium oleh warga, bahkan hingga memunculkan belatung-belatung di jalanan. 

Bayangkan pulang aktivitas kerja, kuliah atau yang lainnya, dengan kondisi badan lelah dan emosi meluap karena macetnya jalanan Tangerang Selatan, ditambah harus mencium bau sampah—bercampur pesing dan sayuran busuk—di pinggir jalan. Memang, perihal sampah ini bukan sekedar soal baunya yang mengganggu dan estetika penampilan kota, tetapi soal bagaimana skema cadangan yang dilakukan pemerintah ketika sistem pengelolaan sampah bermasalah.

Masyarakat tidak membutuhkan sampah yang sekadar ditutup terpal—karena baunya tetap saja tercium—tetapi, yang mereka butuhkan sekarang adalah sistem pengolahan sampah yang kembali normal dan pembersihan di beberapa kawasan tumpukan sampah. Terpal memang bisa menutup sampah, tapi tidak bisa menutup masalah.

 

Solusi yang Tak Menyentuh Akar Permasalahan

Wakil Wali Kota Tangsel memberikan solusi sementara dengan memanfaatkan Tempat Pengolahan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R). Namun, pengalihan sampah ke TPS3R tidak menyelesaikan masalah, karena solusi itu hanya bersifat sementara dan TPS3R pun tidak bisa menampung semua tumpukan sampah. Sementara penataan TPA Cipeutang berjalan, warga diminta untuk sabar—tetapi dampaknya tetap dirasakan setiap hari—sampai proses penataan selesai.

Menurut Pengamat Kebijakan Publik Yanuar Wijanarko, selama solusi jangka panjang belum terwujud, pemerintah wajib menghadirkan langkah-langkah transisional yang terukur dan berpihak pada keselamatan warga. Yanuar menyebut, absennya solusi sementara hanya akan memperpanjang dampak yang dirasakan masyarakat di sekitar TPA, termasuk risiko pencemaran dan gangguan kesehatan. Salah satu langkah mendesak adalah menetapkan zona penyangga (buffer zone) minimal 500 meter antara TPA dan permukiman, untuk menekan dampak pencemaran udara, air, dan risiko kesehatan. 

Masyarakat sebenarnya tidak menuntut hal rumit. Mereka hanya ingin sampah diangkut dan diproses dengan benar dan normal bukan hanya ditutup terpal, serta pemerintah hendaknya memiliki skema cadangan agar kejadian penumpukan sampah ini tidak terjadi berulang. Memang di sisi lain, kita tidak bisa menyangkal tindakan warga juga tetap salah. Namun intinya masalah ini tidak akan selesai kalau pemerintah tidak bertindak, dan warga tetap acuh terhadap kebersihan lingkungan.

Tags Artikel Opini Opini Sampah Tangerang Sampah Tangsel