Selasa, 1 Juli 2025

Waspada Bahaya Grooming Mengintai Remaja di Live Streaming Media Sosial

Ilustrasi remaja mengakses media sosial.(@TangerangNews / Istimewa)

TANGERANGNEWS.com-Dalam era digital saat ini, media sosial telah menjadi platform populer bagi remaja untuk berekspresi, berinteraksi, dan bahkan berkarya, salah satunya melalui fitur siaran langsung (live streaming). Namun, di balik kemudahan dan popularitasnya, tersembunyi bahaya serius yang mengintai: grooming.

Fenomena ini semakin marak menyasar remaja yang aktif melakukan live streaming, memanfaatkan kerentanan dan keinginan mereka akan pengakuan atau popularitas.

Grooming adalah tindakan sistematis yang dilakukan oleh pelaku (groomer) untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan kendali atas korban dengan tujuan eksploitasi, seringkali seksual.

Proses ini tidak terjadi secara instan, melainkan melalui serangkaian tahapan manipulatif yang dirancang untuk mengisolasi korban dan membuatnya merasa bergantung pada pelaku.

Bagi remaja yang rutin melakukan live streaming, mereka menjadi target empuk karena beberapa alasan yang menjadikan mereka sangat rentan:

1. Visibilitas Tinggi dan Aksesibilitas: Konten live streaming membuat remaja sangat terlihat oleh siapa pun di dunia maya, termasuk para groomer yang secara aktif mencari korban potensial. Fitur interaktif seperti komentar dan pesan langsung memungkinkan pelaku untuk mendekati dan mengamati target mereka dengan mudah, mempelajari minat, kebiasaan, dan bahkan kerentanan emosional remaja.

 

2. Interaksi Langsung dan Ilusi Kedekatan: Fitur komentar dan pesan pribadi saat live memungkinkan groomer untuk berinteraksi langsung, membangun koneksi personal yang terasa otentik, dan melancarkan bujuk rayu. Mereka seringkali menjadi "penggemar" paling setia, memberikan perhatian yang mungkin tidak didapatkan remaja di dunia nyata.

 

3. Keinginan Mendapatkan Perhatian dan Validasi: Remaja pada umumnya sedang dalam tahap pencarian identitas dan seringkali haus akan perhatian, validasi, dan pujian dari lingkungan sosialnya. Groomer memanfaatkan ini dengan memberikan komentar positif yang berlebihan, hadiah virtual yang mahal, atau bahkan janji-janji palsu tentang ketenaran, karier, atau dukungan finansial. Ini menciptakan ketergantungan emosional yang kuat.

 

4. Informasi Pribadi Tanpa Sadar dan Eksploitasi Data: Terkadang, tanpa disadari, remaja bisa membocorkan informasi pribadi atau rutinitas mereka saat live streaming, seperti lokasi, sekolah, atau jadwal kegiatan. Informasi ini dapat digunakan groomer untuk mendekat, melacak, atau bahkan mengancam korban di kemudian hari, memperburuk situasi dan membuat korban merasa terjebak.

 

Modus Operandi Groomer & Data Kasus di Indonesia

Pelaku grooming dapat berasal dari berbagai latar belakang dan tidak terbatas pada jenis kelamin atau orientasi seksual tertentu. Mereka bisa berupa pria dengan perilaku LGBT yang menyasar remaja pria, atau pria mapan yang menargetkan remaja putri.

Modus operandi mereka seringkali dimulai dengan cara halus namun manipulatif, yang dirancang untuk membangun kepercayaan dan mengikis batasan korban:

● Pemberian Hadiah dan Pujian Berlebihan: Pelaku kerap memulai dengan memberikan "gift" mahal atau hadiah-hadiah lain di platform live streaming. Ini adalah cara untuk menarik perhatian dan membangun kesan positif, seolah-olah mereka adalah "malaikat" pelindung atau penggemar setia. Taktik ini memanfaatkan prinsip resiprositas dalam psikologi pengaruh, di mana korban merasa berhutang budi atau perlu membalas kebaikan yang diterima.

 

● Komunikasi Privat dan Pembangunan Hubungan Eksklusif: Setelah membangun koneksi awal di ranah publik, pelaku akan mencoba mengarahkan komunikasi ke ranah yang lebih pribadi, seperti aplikasi chat atau pesan langsung. Di sini, manipulasi psikologis dan bujuk rayu intensif sering terjadi. Mereka mungkin mengaku sebagai satu-satunya orang yang benar-benar memahami korban, menciptakan ilusi kedekatan dan eksklusivitas yang mengisolasi korban dari dukungan sosial lainnya. Ini selaras dengan prinsip kesukaan (liking), di mana pelaku berusaha membuat diri mereka disukai dan dipercaya.

 

● Manipulasi Emosional dan Pengujian Batasan: Pelaku secara bertahap akan menguji batasan korban, mulai dari permintaan kecil yang tidak berbahaya hingga permintaan yang semakin intim. Mereka mungkin menggunakan taktik gaslighting, menyalahkan korban, atau mengancam diri sendiri jika korban menolak. Ini adalah bagian dari proses mengendalikan korban secara emosional.

 

● Pertemuan Langsung dan Eskalasi Eksploitasi: Tahap paling berbahaya adalah ketika pelaku berhasil mendatangi langsung korban di lingkungan tempat tinggalnya, seringkali dengan dalih ingin memberikan hadiah lebih besar, "membantu" korban, atau bahkan menjanjikan peluang besar. Hal ini menunjukkan tingkat perencanaan dan keseriusan pelaku untuk melakukan eksploitasi fisik atau seksual.

 

Data dan Fakta Mengerikan di Indonesia

● UNICEF Indonesia (Mei 2022) mengungkapkan bahwa hingga 56% insiden eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah terhadap anak Indonesia di dunia maya tidak diungkap dan dilaporkan. Angka ini menunjukkan betapa besarnya gunung es kasus grooming yang tidak terdeteksi, seringkali karena korban merasa takut, malu, atau tidak tahu harus melapor ke mana. Survei ini juga mencatat bahwa sejumlah anak di Indonesia pernah mengalami eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya dalam setahun terakhir, dan ada anak yang pernah mengirim informasi pribadi ke seseorang yang belum pernah mereka temui secara langsung.

● Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 859 kasus child grooming di Indonesia pada tahun 2021, menandakan bahwa pelecehan seksual secara daring, termasuk grooming, adalah masalah genting yang memerlukan penanganan serius dari seluruh elemen masyarakat.

● Komnas Perempuan (Catatan Tahunan 2023) menunjukkan 1.272 kasus kekerasan siber berbasis gender (KSBG), di mana kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) mencapai 991 kasus, seringkali beririsan dengan modus grooming.

● Data KemenPPPA yang diolah Metro TV (Mei 2023) menunjukkan bahwa dari total 9.645 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat, 1.832 korban adalah laki-laki. Ini mengindikasikan bahwa anak laki-laki juga menjadi korban yang signifikan dalam kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

● IJRS (Indonesia Judicial Research Society) dalam "Data dan Fakta Kekerasan Seksual di Indonesia 2021" mencatat bahwa 1 dari 17 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. Lebih lanjut, 66,7% laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual dalam berbagai bentuk, baik verbal, fisik, pemaksaan melihat konten porno, maupun intimidasi/ancaman aktivitas seksual. Studi dari Inggris juga menunjukkan hampir 3% pria dewasa mengaku pernah mengalami pengalaman seksual non-konsensual, dan lebih dari 5% pria mengalami kejahatan seksual semasa kanak-kanak.

 

Ulasan Ahli:

Para psikolog anak dan remaja sering menekankan bahwa pelaku grooming sangat pandai dalam memanfaatkan kerentanan psikologis korban. Mereka membangun hubungan asimetris, di mana korban merasa terikat dan tidak mampu menolak, terutama bagi remaja yang mungkin mencari perhatian, penerimaan, atau memiliki kebutuhan. Pemberian hadiah, pujian, dan janji-janji palsu adalah strategi umum untuk menciptakan ketergantungan dan mengikis batasan.

 

Perspektif Psikologi Mengenai Grooming

Fenomena grooming dapat dijelaskan melalui beberapa lensa psikologi yang terkenal, yang membantu kita memahami mengapa pelaku melakukan tindakan ini dan mengapa korban begitu rentan.

 

1. Teori Pembelajaran Sosial (Albert Bandura):

Menurut Albert Bandura, perilaku, termasuk perilaku menyimpang seperti grooming, dapat dipelajari melalui observasi dan imitasi. Pelaku grooming mungkin telah mengamati atau mengalami pola-pola manipulasi dan eksploitasi dari lingkungan mereka, baik secara langsung maupun melalui media. Mereka belajar teknik-teknik persuasi dan manipulasi dari contoh yang ada, kemudian menerapkannya untuk mencapai tujuan eksploitatif. Teori ini juga menjelaskan bagaimana pelaku bisa menjadi sangat adaptif dalam modus operandi mereka, terus-menerus belajar dari keberhasilan dan kegagalan dalam upaya grooming.

 

2. Prinsip-prinsip Persuasi (Robert Cialdini):

Psikolog sosial Robert Cialdini mengidentifikasi enam prinsip persuasi yang sering digunakan dalam berbagai konteks, dan ini sangat relevan dalam menjelaskan taktik groomer:

● Resiprositas: Pelaku memberikan "hadiah" atau bantuan (misalnya, gift mahal, pujian, perhatian) sehingga korban merasa berhutang budi dan cenderung membalas kebaikan tersebut, bahkan jika itu berarti melanggar batasan pribadi.

● Komitmen dan Konsistensi: Setelah korban setuju pada permintaan kecil, mereka cenderung lebih mudah menyetujui permintaan yang lebih besar untuk menjaga konsistensi dengan komitmen awal mereka. Groomer memulai dengan permintaan yang tidak berbahaya dan meningkatkannya secara bertahap.

● Kesukaan (Liking): Pelaku berusaha membuat diri mereka disukai oleh korban. Mereka mungkin berpura-pura memiliki minat yang sama, memberikan pujian yang tulus (atau tampak tulus), atau menunjukkan empati palsu untuk membangun ikatan emosional.

● Otoritas: Pelaku mungkin mengklaim memiliki status, pengetahuan, atau kekuasaan tertentu (misalnya, sebagai manajer bakat, mentor, atau figur senior) untuk membuat korban merasa harus patuh atau percaya pada mereka.

● Kelangkaan: Pelaku mungkin menciptakan kesan bahwa kesempatan atau hubungan yang mereka tawarkan adalah unik atau terbatas, mendorong korban untuk bertindak cepat sebelum "kesempatan" itu hilang.

● Konsensus (Social Proof): Meskipun kurang umum dalam grooming individual, pelaku bisa saja mengklaim bahwa banyak orang lain juga melakukan hal yang sama atau bahwa perilaku mereka "normal" untuk menekan korban.

 

3. Kerentanan Perkembangan Remaja:

Dari sudut pandang psikologi perkembangan, remaja berada pada tahap transisi yang rentan. Mereka sedang mencari identitas, membutuhkan penerimaan sosial, dan mungkin memiliki pemahaman yang belum matang tentang risiko online. Kebutuhan akan perhatian, validasi dari teman sebaya atau figur dewasa, serta keinginan untuk merasa "spesial" atau unik, dapat dimanfaatkan oleh groomer. Selain itu, kemampuan mereka untuk menilai bahaya dan mengambil keputusan rasional mungkin belum sepenuhnya berkembang, membuat mereka lebih mudah dimanipulasi.

 

Jerat Hukum Bagi Pelaku Grooming

Pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), telah memberikan payung hukum yang lebih kuat untuk menjerat pelaku eksploitasi dan kekerasan seksual, termasuk yang terjadi melalui sarana elektronik.

 

1. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) - Eksploitasi Seksual

Pasal ini berfokus pada eksploitasi seksual yang dilakukan dengan berbagai cara. Tindakan pelaku yang membujuk dan membelikan barang mahal dapat diinterpretasikan sebagai modus untuk mengendalikan atau memanfaatkan korban demi keuntungan seksual, yang merupakan inti dari eksploitasi. UU TPKS ini mengakui bahwa eksploitasi dapat terjadi melalui berbagai bentuk manipulasi, termasuk penyalahgunaan relasi kuasa atau kondisi rentan korban, terlepas dari usia korban. Ini mencakup segala bentuk pemanfaatan seseorang untuk tujuan seksual yang tidak konsensual, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan seringkali didahului oleh proses grooming.

 

2. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) - Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE)

Meskipun grooming bisa berujung pada pertemuan fisik, seringkali prosesnya dimulai atau diperkuat melalui komunikasi daring. Jika pelaku menggunakan media elektronik, baik aplikasi chat, media sosial, dan sejenisnya, untuk melakukan bujukan, ancaman, atau manipulasi yang mengarah pada kekerasan seksual, maka Pasal 14 UU TPKS dapat dikenakan. KSBE mencakup berbagai tindakan yang dilakukan secara elektronik untuk tujuan seksual non-konsensual, termasuk grooming online yang berujung pada eksploitasi. Pasal ini menjadi penting karena secara spesifik menargetkan kejahatan yang terjadi di ranah digital, memberikan dasar hukum yang kuat untuk menindak pelaku yang bersembunyi di balik layar.

 

Pentingnya Peran Orang Tua dan Lingkungan dalam Pencegahan

Melindungi remaja dari bahaya grooming adalah tanggung jawab bersama. Kami mengimbau kepada seluruh orang tua, pendidik, platform media sosial, dan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan pemahaman tentang bahaya grooming di media sosial. Beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan:

● Edukasi Dini dan Komprehensif: Berikan pemahaman kepada remaja tentang risiko dan bahaya berinteraksi dengan orang asing di internet. Ajarkan mereka tentang konsep batasan pribadi, privasi online, dan tanda-tanda peringatan dari perilaku grooming. Edukasi ini harus dilakukan secara berkelanjutan dan disesuaikan dengan usia serta tingkat pemahaman remaja.

● Pengawasan Aktif dan Terbuka: Pantau aktivitas media sosial anak tanpa mengganggu privasi mereka secara berlebihan. Ajak mereka untuk berbagi pengalaman atau kekhawatiran yang mungkin mereka alami di dunia maya. Bangun kepercayaan sehingga mereka merasa nyaman untuk bercerita jika ada hal yang mencurigakan atau mengganggu.

● Laporkan Indikasi Grooming: Jika menemukan indikasi grooming, jangan ragu untuk segera melaporkan ke pihak berwenang melalui layanan SAPA 129 (hotline 129 atau Whatsapp 08-111-129-129). Selain itu, laporkan juga ke platform media sosial terkait agar akun pelaku dapat ditindak dan dicegah menyebarkan bahaya lebih lanjut.

● Bangun Komunikasi Terbuka dan Dukungan Emosional: Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman di rumah dan sekolah agar remaja berani bercerita jika ada hal yang mencurigakan atau mengganggu mereka di media sosial. Berikan dukungan emosional tanpa menghakimi, dan pastikan mereka tahu bahwa ada orang dewasa yang dapat dipercaya untuk membantu mereka.

● Literasi Digital dan Kritis: Dorong remaja untuk mengembangkan kemampuan literasi digital yang kuat, termasuk kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima online, mengenali akun palsu, dan memahami risiko berbagi informasi pribadi.

Mari bersama lindungi remaja kita dari predator online. Dengan kewaspadaan, edukasi yang tepat, dan kolaborasi dari seluruh pihak, kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih aman dan positif bagi generasi muda. Masa depan mereka bergantung pada tindakan kita hari ini.

Tags Berita Tekno Kejahatan Seksual Anak Kekerasan Seksual Tangerang Media Sosial Tangerang Pelecehan Seksual Pelecehan Seksual Tangsel Sosial Media Tekno