TANGERANGNEWS.com-Mal terlihat makin ramai pengunjung, namun sebaliknya bagian kasir justru tetap sepi. Fenomena ini kini akrab disebut ‘rojali’ atau rombongan jarang beli.
Banyak orang datang ke pusat perbelanjaan, namun pulang hanya membawa kantong kosong, sehingga banyak sekadar berjalan-jalan.
Menanggapi fenomena ini, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja tak menampik situasi ini erat kaitannya dengan kondisi ekonomi.
"Sekarang memang terjadi ini (fenomena rojali) lebih karena faktor daya beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan," ujar Alphonsus dikutip dari CNN Indonesia, Jumat, 25 Juli 2025.
Ia mencatat, jumlah pengunjung mal memang ada kenaikan sekitar 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tapi jika dilihat dari nilai transaksi, tren justru berjalan lambat. Orang datang, melihat-lihat, tapi tidak banyak yang membeli.
Dalam banyak kasus, aktivitas belanja berpindah ke dunia maya, tempat diskon lebih mudah ditemukan dan ongkos kirim bisa ditekan.
Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan Septo Soepriyatno juga mengakui perubahan ini. Menurutnya, sejak pandemi, fungsi mal perlahan berubah.
"Yang tadinya tempat belanja, sekarang udah mulai menyiapkan spot terkait rekreasi, hiburan, sampai interaksi sosial," kata Septo.
Meski demikian, ia tak setuju jika fenomena rojali dianggap sebagai bukti masyarakat malas belanja.
"Bukan berarti rojali tidak belanja. Yang terjadi di mal, masyarakat datang pengen berinteraksi sosial, kumpul keluarga, jalan-jalan, (lihat) barang bagus, checkout online," ujarnya.
Di sisi lain, Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut sinyal-sinyal ekonomi yang kurang sehat tersebut tak bisa diabaikan. Kata dia, gejala ini sebagai penanda nyata menurunnya daya beli.
"Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kelas menengah-penopang utama konsumsi Indonesia-tidak lagi percaya diri untuk membelanjakan uangnya," ujar Syafruddin.
Menurutnya, inflasi kebutuhan pokok dan energi yang terus naik tanpa dibarengi peningkatan pendapatan membuat masyarakat memilih menabung atau membeli emas digital daripada berbelanja konsumtif. "Maka wajar jika mal penuh, tetapi kasir sepi," ucapnya.
Syafruddin juga mengingatkan kondisi seperti ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan refleksi dari ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, sehingga pemerintah perlu jujur membaca sinyal ini dan berpindah dari narasi pemulihan menuju strategi penguatan daya beli.
Sementara itu, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menampik fenomena‘rojali’ bukan murni karena daya beli menurun, melainkan karena gaya belanja masyarakat sudah bergeser.
"Kita bisa lihat peningkatan ritel itu terjadi di e-commerce juga. Jadi ke mal bukan lagi untuk berbelanja," katanya.
Ronny melihat generasi muda yang kini mendominasi populasi terutama Gen Z dan milenial lebih suka menjadikan mal sebagai tempat nongkrong dan berinteraksi sosial, bukan tempat belanja.
Ia mengatakan, saat ini sudah banyak mal-mal yang memang disediakan untuk 'rojali', yakni mal yang memfasilitasi aktivitas nongkrong, untuk sosialita, tanpa berbelanja.
Menurut Ronny, pusat perbelanjaan yang bisa bertahan justru yang mampu menawarkan pengalaman lebih. Mal dengan tenant F&B populer, spot foto Instagramable, hingga event hiburan menjadi favorit.
Adapun mal kelas atas dengan produk branded juga tetap eksis karena konsumennya masih mencari rasa aman dalam berbelanja langsung, menghindari risiko penipuan online.
"Jadi kalau kita kaitkan masalah 'rojali' ini dalam hemat saya, bukan masalah penurunan daya beli, tapi lebih kepada perubahan customer behavior," tukasa Ronny.