Selasa, 1 Juli 2025

Kemiskinan Ekstrem: Pelanggaran HAM yang Terabaikan

Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang.(@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang

 

Kemiskinan Bukan Sekadar Angka

TANGERANGNEWS.com-Dalam banyak laporan pembangunan, kemiskinan sering digambarkan melalui statistik: angka pengangguran, persentase penduduk miskin, dan garis kemiskinan. Namun, di balik statistik tersebut, tersembunyi kenyataan yang lebih menyakitkan—jutaan manusia yang hidup tanpa kepastian makan hari ini, tidur di lantai tanah, dan tidak tahu bagaimana menyembuhkan anaknya yang sakit.

Mereka tidak hanya miskin secara ekonomi, tetapi juga miskin dalam akses terhadap hak-hak dasar yang semestinya dijamin oleh negara. Dalam konteks inilah, kemiskinan ekstrem bukan semata masalah ekonomi atau ketimpangan sosial, melainkan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sering kali terabaikan oleh para pengambil kebijakan maupun masyarakat luas. Dengan selalu memandang kemiskinan sebagai takdir, akibat nasib buruk, atau kesalahan individu. 

 

Pelanggaran atas Hak untuk Hidup Layak

Pasal 25 dari Deklarasi Universal HAM menyatakan bahwa setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Tetapi kenyataannya, jutaan orang hidup tanpa tempat tinggal layak, bekerja tanpa upah minimum, dan mengonsumsi makanan sisa. Kemiskinan ekstrem menandai kegagalan negara dan pasar dalam menyediakan struktur sosial yang memastikan semua warga bisa hidup dengan martabat.

Jika seseorang tidak bisa tidur di tempat aman, tidak punya akses air bersih, dan hidup dengan makanan seadanya, maka negara gagal dalam tugas utamanya: menjamin kehidupan warganya. Ini bukan masalah ekonomi semata, ini masalah HAM.

 

Pendidikan dan Kemiskinan: Rantai yang Tak Putus

Pasal 26 Deklarasi HAM menyebutkan hak atas pendidikan. Namun, anak-anak dari keluarga miskin kerap putus sekolah karena tak mampu membeli seragam, buku, atau membayar transportasi. Kemiskinan membuat mereka sulit mengakses pendidikan, sementara tanpa pendidikan, mereka sulit keluar dari kemiskinan. Ketika negara tidak menjamin pendidikan gratis, aman, dan berkualitas untuk semua, maka anak-anak miskin kehilangan masa depannya. Sebuah lingkaran setan yang terus berlangsung.

Negara yang membiarkan kemiskinan menghalangi anak-anak mengakses sekolah pada dasarnya sedang memutus masa depan mereka secara sistematis.

 

Kesehatan: Kemewahan yang Tak Tersentuh oleh Si Miskin

Layanan kesehatan semestinya menjadi hak, bukan privilese. Namun bagi warga miskin, berobat adalah kemewahan. Banyak orang meninggal karena tak mampu membayar pengobatan. Program BPJS sekalipun masih memiliki banyak kendala struktural yang menghambat warga miskin mengakses layanan yang layak dan cepat. Kemiskinan memaksa orang memilih untuk menderita dalam diam.

Kematian karena miskin bukan hanya tragis, tapi merupakan bukti nyata bahwa sistem perlindungan sosial kita belum berfungsi sebagai pelindung hak hidup.

 

Diskriminasi dan Stigmatisasi Orang Miskin

Kemiskinan tidak hanya menyakitkan secara materi, tapi juga secara psikologis dan sosial. Masyarakat sering memandang orang miskin sebagai “malas”, “bodoh”, atau “tidak berdaya”, dan lebih parahnya terkadang barang-barang yang hilang banyak disebabkan oleh orang miskin karena susahnya mendapat pekerjaan atau mendapatkan fitnah dari masyarakat tanpa memahami realitas struktural di baliknya. Mereka yang miskin sering kali disalahkan atas kondisi mereka, alih-alih didukung untuk bangkit tetapi malah disalahkan.

Stigma terhadap kemiskinan membuat kita buta akan kenyataan: bahwa sebagian besar kemiskinan dihasilkan oleh sistem yang timpang, bukan karakter individu.

 

Minimnya Representasi Politik Kaum Miskin

Warga miskin hampir tidak pernah memiliki ruang atau daya tawar dalam pembuatan kebijakan. Mereka jarang duduk di parlemen, tak punya akses pada media, dan suara mereka tenggelam di balik agenda elite. Akibatnya, kebijakan yang lahir sering tidak berpihak pada kebutuhan riil mereka atau singkatnya mereka hanya disebut atau terlibat saat musim kampanye, lalu di lupakan setelahnya.

Demokrasi tanpa partisipasi kaum miskin adalah demokrasi yang pincang—karena hanya segelintir orang yang menentukan nasib jutaan lainnya, dan itu di pimpin oleh seseorang yang feudal.

 

Pendekatan Bantuan yang Tidak Transformatif

Banyak program pengentasan kemiskinan disalurkan sebagai bentuk "bantuan", seolah-olah orang miskin adalah penerima belas kasihan. Padahal, mereka adalah warga negara dengan hak-hak yang harus dipenuhi. Program pengentasan kemiskinan seharusnya disusun berdasarkan prinsip keadilan dan partisipasi, bukan sekadar angka statistik penerima manfaat.  Dan program itu hanya sebatas bantuan jangka pendek: sembako, BLT, KIP dan program padat karya musiman.

Meskipun penting, program ini tidak menyelesaikan akar masalah seperti kepemilikan tanah, upah layak, dan jaminan pekerjaan. Bantuan seringkali bersifat karitatif, bukan transformatif. Banyak bantuan-bantuan yang salah sasaran yang menyebabkan masyarakat miskin tidak bisa mengaksesnya. Sedangkan yang mendapat bantuan dengan kelas menengah hidupnya penuh dengan poyah-poyah di atas penderitan masyarakat miskin. 

Selama negara memperlakukan orang miskin sebagai objek belas kasihan, bukan subjek hak, maka kemiskinan hanya akan dipertahankan, bukan dihapuskan.

 

Ketimpangan Ekonomi sebagai Wujud Kekerasan Struktural

Kekayaan nasional terpusat di tangan segelintir orang, sementara mayoritas hidup dalam kesulitan. Ketimpangan ini tidak terjadi secara alami, melainkan melalui regulasi, perizinan, dan sistem pajak yang menguntungkan kelas atas. Ketimpangan bukan hanya ketidakadilan ekonomi, tetapi bentuk kekerasan struktural. Pajak seharusnya menjadi alat redistribusi kekayaan, namun yang terjadi sering sebaliknya.

Kita tidak hanya menghadapi kemiskinan, tetapi sistem yang menciptakan dan melanggengkan kemiskinan. Ini bukan kebetulan, tapi pilihan politik.

 

Kemiskinan dan Perempuan: Penindasan Ganda

Perempuan miskin mengalami penindasan berlapis: secara ekonomi, sosial, dan gender. Mereka sering menjadi pekerja informal tanpa jaminan, ibu tunggal tanpa dukungan, dan korban kekerasan tanpa akses ke keadilan. Kemiskinan bagi perempuan bukan hanya kurang uang, tapi kehilangan agensi.

Tidak ada keadilan sosial tanpa keadilan gender. Dan tidak ada keadilan gender tanpa penghapusan kemiskinan ekstrem yang dialami perempuan.

 

Hak atas Pekerjaan Layak yang Tidak Diberikan

Pasal 23 Deklarasi HAM menjamin hak atas pekerjaan dan upah yang adil. Namun kenyataan di lapangan berbeda. Banyak buruh diupah di bawah standar, tanpa perlindungan hukum. Sektor informal tumbuh pesat, tetapi tanpa jaminan sosial. Ini menjadikan pekerjaan bukan jalan keluar dari kemiskinan, tapi perangkap baru.

Pekerjaan tanpa jaminan sosial bukanlah solusi, tetapi bentuk eksploitasi yang disamarkan sebagai kesempatan.

 

Solusi: Reformasi Kebijakan Berbasis HAM, Jalan Menuju Penghapusan Kemiskinan

Menghapus kemiskinan ekstrem bukanlah mimpi utopis, melainkan keharusan moral dan konstitusional. Sudah saatnya kita menata ulang cara berpikir tentang kemiskinan. Negara wajib menempatkan pendekatan berbasis hak (human rights-based approach) harus menjadi kerangka utama dalam seluruh kebijakan sosial, mulai dari pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, hingga ketenagakerjaan.

Ini berarti negara wajib, bukan sekadar “berbaik hati”, untuk memastikan semua warganya hidup layak. Keadilan sosial, redistribusi kekayaan, keterlibatan masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan, sistem jaminan sosial universal, dan perlindungan hukum yang kuat adalah elemen penting.

Keadilan sosial bukanlah hadiah dari penguasa kepada rakyat, melainkan hak yang melekat pada setiap manusia. Dan selama kemiskinan masih kita anggap sebagai kesalahan individu, kita belum benar-benar menjadi masyarakat yang adil dan beradab.

Tags Artikel Opini Janda Miskin Kemiskinan Banten Kemiskinan Tangerang Labelisasi Keluarga Miskin Opini Warga Miskin Banten Warga Miskin Tangerang