Oleh: Fajrina Laeli, S.M., Aktivis Muslimah
TANGERANGNEWS.com-Negeri kita masih berduka, bencana terjadi di mana-mana. Kini, perhatian publik tengah terpusat pada wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan beberapa lainnya karena diterjang longsor hingga banjir bandang.
Bukan hanya sekadar curah hujan tinggi, tetapi terdapat fakta besar yang menganga lebar menjadi penyebab bencana ini. Potongan video yang memperlihatkan air banjir dipenuhi gelondongan kayu pun menyebar di media sosial. Hal ini menjadi bukti bahwa ada sesuatu di balik lautan kayu yang terbawa arus banjir.
Banyak bukti mengarah pada kerusakan hutan, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni, saat rapat bersama Komisi IV DPR RI pada Kamis (4/12/2025) menyebutkan dalam lima tahun terakhir tingkat deforestasi di Indonesia meningkat tajam (cnbcindonesia.com, 6/12/2025).
Krisis ekologis ini terjadi karna pembiaran pemerintah juga. Sudah seharusnya ketika bencana terjadi berulang, yang perlu ditinjau bukanlah alamnya, melainkan kebijakan yang mengaturnya. Pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, dan kebijakan-kebijakan lain yang menjadi pemicu kejahatan lingkungan memiliki andil besar.
Pohon sawit yang selama ini digaungkan pemerintah tidak dapat menggantikan pohon hutan. “Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida,” kata Presiden Prabowo Subianto pada 30 Desember 2024 lalu. Padahal terdapat perbedaan besar, pohon hutan memiliki akar tunggang yang menghujam ke dalam tanah, menciptakan pori-pori dan jalur air, sekaligus mencengkeram tanah dengan kuat. Sebaliknya, sawit memiliki akar serabut yang dangkal dan menyebar di permukaan, membuatnya sangat lemah dalam menahan tanah dari erosi.
Hutan-hutan dijarah para pemilik modal, sedangkan rakyat dimiskinkan. Penguasa tamak, rakyat lagi yang terdampak. Hubungan sebab akibat tentu ada, sebab hutan yang gundul dan akibatnya rakyat yang menanggung. Bukan hanya hutan yang rusak, sistemnya pun sudah kronis. Maka mustahil dibenahi jika terus mempertahankan sistem ini, sistem yang mendewakan materi memungkinkan para pemilik modal menguasai segalanya bahkan hutan.
Inilah penyebabnya, sebab kayu gelondongan terbawa arus saat banjir, sebab tanah yang longsor, dan sebab banjir yang menyapu negeri. Banyak sekali cerita menyedihkan di balik bencana ini. Ada bapak yang mengais-ngais tanah untuk menemukan anaknya. Ada anak yang menangis pilu mencari ibunya. Ada istri yang kehilangan suaminya. Ada keluarga yang hilang belum ditemukan. Sementara, rumah-rumah hancur dan rusak. Nyawa yang tertimbun lumpur itu bukan hanya angka, melainkan seseorang yang berharga bagi sanak saudaranya.
Berdasarkan data sementara dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) per Senin (8/12/2025), sebanyak 961 orang dilaporkan meninggal dunia, Letjen TNI Suharyanto selaku Kepala BNBP juga menyampaikan sebanyak 293 orang dilaporkan masih hilang kontak dan 1.057.482 jiwa mengungsi (kompas.com, 7/12/2025).
Tangis sedih yang pecah, bau bangkai yang menyeruak, ancaman penyakit, kelaparan, kedinginan, dan ketakutan dirasakan menjadi satu oleh warga terdampak bencana. Tautan donasi di mana-mana, jargon dari rakyat untuk rakyat terasa sepah sia-sia, yang ada sekarang hanyalah warga bantu warga. Ramai-ramai sesama rakyat mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Uang, makanan, pakaian, kebutuhan pokok, kebutuhan balita disokong oleh sesama warga. Sementara di sisi lain, negara tampak tak mampu menangani ini sendirian.
Getirnya, banyaknya korban tercatat seolah tak terlihat sebagai bencana besar, pemerintah masih saja belum menetapkan ini sebagai bencana nasional. Tidak terlalu parah, katanya.
Allah telah mengingatkan manusia melalui surah Al Baqarah ayat 11-12 “Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.’’
Mengikis hutan menggantikan dengan sawit demi kebutuhan bahan bakar adalah salah satu ciri ketamakan penguasa tanpa memikirkan sebabnya. Tidak ada mitigasi bencana, tetapi berani mengambil resiko besar menumbalkan rakyatnya. Hijaunya alam berganti dengan lubang galian tambang. Sangat wajar terjadi di sistem sarat keuntungan ini, bumi tak dijaga, terjadilah bencana.
Padahal dalam Islam hutan termasuk milkiyyah 'ammah (kepemilikan umum) yang tentunya tidak dapat dimiliki individu atau kelompok. Jika status kepemilikan ini dijalankan sesuai syariah-Nya maka ketamakan pengelolaan hutan tidak akan seperti sekarang.
Kerusakan lingkungan yang terjadi hari ini menunjukkan lemahnya sistem yang menjadikan keuntungan sebagai orientasi utama. Islam justru menempatkan bumi sebagai amanah yang harus dijaga, bukan dieksploitasi. Prinsip syariah mengatur kepemilikan umum, larangan fasad, dan kewajiban menjaga keseimbangan alam.
Jika aturan ini diterapkan, akar masalah ekologis dapat dicegah sejak awal. Hutan, air, dan tambang tidak boleh dikuasai segelintir pihak sehingga celah eksploitasi yang merusak dapat ditutup. Islam memberikan kerangka hukum yang memastikan pemanfaatan alam berjalan adil dan proporsional.
Jelas, Islam bukan hanya mengkritik terhadap kerusakan, tetapi menawarkan solusi nyata. Dengan negara yang menjalankan hukum Allah Swt, kebijakan diarahkan pada kemaslahatan dan pencegahan dharar. Alhasil, bencana alam dapat diminimalisasi. Andai terjadi bencana alam atas kehendak Allah Swt, penanggulangannya pun akan cepat tanggap tidak seperti hari ini. Wallahu'Alam bissawab.