Oleh: Fajrina Laeli, S.M., Aktivis Muslimah
TANGERANGNEWS.com-“Kepala BPS lapor ke saya angka pengangguran menurun, angka kemiskinan absolut menurun. Ini BPS yang bicara,” dengan lantang Tuan Penguasa ucapkan dalam acara Penutupan Kongres PSI 2025 di Solo, Minggu (20/7) (cnnindonesia.com, 21/7).
Mendukung pernyataan tersebut, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (25/7), menyampaikan bahwa penduduk miskin turun 0,2 juta pada Maret 2025 dibandingkan dengan September 2024, dengan garis kemiskinan terbaru sebesar Rp609.160 per orang per bulan.
Selaras dengan ucapan bangga Tuan Penguasa, BPS juga melaporkan bahwa tingkat pengangguran menurun menjadi 4,76 persen. Angka ini merupakan yang terendah sejak 1998, dengan penciptaan lapangan kerja baru bagi 3,59 juta orang (cnnindonesia.com, 26/7).
Membaca angka demi angka yang seolah dibanggakan rasanya seperti mengganjal mata, karena fakta yang dirasakan tidaklah demikian. Mengacu pada cnbcindonesia.com (25/7), lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) tercatat meningkat lebih dari 30 persen. Didukung data dari Satudata, sepanjang periode Januari hingga Juni 2025, sebanyak 42.385 pekerja terdampak PHK, dengan kenaikan jumlah sebesar 10.321 kasus.
PHK masih marak terjadi, pekerjaan sulit sekali dicari. Gema lantang penurunan kemiskinan dan pengangguran tak sejalan dengan kenyataan yang kita rasakan. Pengangguran pascalulus sarjana masih banyak ditemukan bahkan di sekitar kita. Angka yang tertulis di atas kertas hanyalah coretan tinta kepalsuan yang tidak menggambarkan keadaan rakyat hari ini.
Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF, mengungkapkan keraguannya terhadap klaim penurunan angka kemiskinan yang disampaikan oleh BPS. Menurutnya, batas garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar Rp609.160 per bulan, atau setara dengan Rp20.305 per hari, terlalu rendah apabila dibandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP). Ia juga mengklaim bahwa PHK besar-besaran banyak terjadi, sehingga lowongan yang dibuka sedikit, sedangkan pelamar sangat banyak (tirto.id, 26/7).
Dengan nominal Rp20.305 per hari, tentunya kita sangat sadar bahwa nilai tersebut tidak layak untuk mencukupi kebutuhan individu, bahkan untuk pemenuhan pangan. Tempat tinggal, listrik, air, dan kebutuhan lain belum terpenuhi.
Garis kemiskinan dibuat serendah mungkin agar negara bisa mengklaim keberhasilan semu dalam memberantas kemiskinan dan pengangguran. Wajar, inilah gambaran dari sistem kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi. Segala cara dihalalkan, sebab sistem culas ini lebih sibuk merias wajah ekonomi ketimbang memperbaiki luka di tubuh rakyat.
Di negeri sendiri, derita rakyat hanyalah bisik lirih yang tak pernah sampai ke telinga penguasa. Getirnya kenyataan ditelan sendirian oleh rakyat. Mencari kerja, kestabilan ekonomi, mencari makan, semua itu ditanggung penuh oleh pundak rakyat tanpa bisa mengharapkan peran dari negara.
Kemiskinan dan pengangguran seharusnya tidak hanya sekadar soal angka, tetapi juga menyangkut sistem kapitalisme yang timpang. Segelintir elite menimbun kekayaan, sedangkan mayoritas rakyat kian sulit menjangkau pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Selama sistem kapitalisme terus dijadikan standar dalam ekonomi, maka hal seperti ini akan terus berulang. Angka lebih dipentingkan daripada fakta di lapangan karena sejatinya, kesejahteraan rakyat hanyalah nomor sekian. Yang penting tetaplah pencapaian, walaupun semu dan sarat kepalsuan.
Tentunya berbeda dengan sistem Islam. Rasulullah Saw bersabda, "Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadis tersebut, penguasa diberi amanah besar menjadi pengurus bagi rakyat.
Dapat dipastikan, sistem ekonomi dalam kepemimpinan Islam tidak bergantung pada manipulasi angka demi citra semata, tetapi benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Tidak ada jurang mencolok antara si kaya dan si miskin, karena Islam tidak tunduk pada kekayaan duniawi yang menjerumuskan manusia dalam keserakahan.
Alhasil, dalam sistem ini secara optimal rakyat dijamin haknya, karena negara bertanggung jawab atas kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan tanpa syarat tertentu.
Sungguh, hanya Islam yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan yang mencekik dan pengangguran yang menyengsarakan. Islam bukan sekadar agama, melainkan sebuah sistem yang menjadi solusi yang menyentuh setiap sisi, termasuk urusan ekonomi. Dalam naungannya, negara memikul tanggung jawab penuh atas umatnya. Tak ada sandiwara angka, tak ada kepentingan tersembunyi, karena Islam dalam naungan Khilafah berdiri di atas asas rida Allah SWT semata. Wallahu a‘lam bish-shawab.