Oleh: Gesti Ghassani/gegeyys, Aktivis Muslimah
TANGERANGNEWS.com-Namanya Azifa, anak perempuan berusia 12 tahun yang lahir di Gaza. Ia baru saja kehilangan ayah, ibunya syahid saat rumah mereka luluh lantak dibombardir. Tak ada tempat aman untuknya kembali. Namun setiap pagi, Azifa tetap berjalan ke sekolah darurat yang berdiri seadanya di tenda pengungsian. Dengan mata berbinar, ia berkata kepada gurunya, “Aku ingin tetap belajar, agar kelak bisa membebaskan tanah ini dengan ilmunya orang beriman.”
Air matanya mungkin sudah kering karena kehilangan, tapi hatinya justru penuh cahaya. Di tengah dentuman bom dan kelaparan, Azifa menemukan kebahagiaan kecil: membaca Qur’an bersama teman-temannya, menuliskan cita-cita di kertas lusuh, atau sekadar membantu adik-adik yang lebih kecil. Dunia boleh merampas rumahnya, orang tuanya, bahkan masa kecilnya. Tapi damai di hatinya tetap terjaga. Gaza mungkin dihancurkan fisiknya, tapi hatinya tidak pernah tunduk.
(Kisah Azifa adalah fiktif, ditulis sebagai ilustrasi untuk menggambarkan kondisi nyata anak-anak Gaza yang tetap belajar, berprestasi, dan teguh meski hidup dalam perang.)
Bandingkan dengan potret seorang mahasiswi di salah satu kampus ternama di Indonesia. Anggun, rapi, aktif di organisasi, nilai akademiknya hampir sempurna. Di luar ia tampak tenang, menawan seperti bebek yang mengapung di permukaan air.
Namun di balik senyum dan pencitraannya, hatinya sesak. Ia dikejar ekspektasi keluarga, standar kampus, tuntutan sosial media. Ia tak boleh terlihat gagal, tak boleh tampak lemah, tak boleh ada kekurangan.
Setiap malam ia menangis diam-diam, merasa kosong dan terjebak. Kapitalisme memang tidak menghujani hidupnya dengan bom, tetapi menindasnya dengan standar hidup yang semu.
Inilah dua wajah generasi muda yang sama-sama menghadapi tekanan. Anak Gaza hidup di bawah penjajahan brutal yang meruntuhkan fisik, tapi hatinya tetap merdeka dalam iman. Sementara banyak mahasiswa kita hidup di lingkungan serba nyaman, tapi hatinya dijajah kapitalisme hingga rapuh dan tertekan.
Fenomena Duck Syndrome adalah istilah yang pertama kali digunakan di Universitas Stanford menjadi gambaran tepat untuk mahasiswa kita. Tenang di luar, panik di dalam. Sukses di mata dunia, tapi kosong di dalam jiwa. Ini adalah penjajahan kapitalisme terhadap mental generasi muda: menjadikan mereka budak ekspektasi, mengejar kesempurnaan semu, hingga kehilangan arah hidup. (Kompas.com/22-08-2025)
Sementara itu, anak-anak Gaza tetap dibina dengan pendidikan Qur’ani. Meski sekolah hancur, mereka belajar di tenda. Meski orangtua syahid, mereka tetap menunaikan kewajiban. Perang bukan menjadi alasan mereka berhenti menuntut ilmu, karena mereka tahu: generasi penjaga Al-Aqsa harus tetap lahir dan Allah tak pernah dzhalim, tak pernah meninggalkan.
Ironinya, kita di sini justru terjebak dalam perang ilusi. Kapitalisme menjajah pikiran dan hati, menjadikan banyak mahasiswa stress, depresi, bahkan kehilangan makna hidup. Lemah iman, rendah kesadaran politik, serta kaburnya tujuan hidup membuat mereka semakin terpuruk.
Padahal, ketangguhan anak-anak Gaza bisa menjadi inspirasi. Mereka membuktikan, iman adalah sumber kekuatan sejati. Hanya Islam yang bisa melahirkan generasi yang teguh meski tubuh mereka dikepung penderitaan.
Maka, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, umat Islam harus bersatu mengakhiri penjajahan Gaza. Karena hanya dengan kekuatan politik dan militer umat, kekejaman Zionis bisa dihentikan.
Kedua, perjuangan menegakkan syariat dan khilafah adalah kebutuhan nyata, agar anak-anak Gaza merasakan hidup mulia kembali di bawah naungan Islam.
Ketiga, mahasiswa di Indonesia harus berani keluar dari jeratan Duck Syndrome, harus menyadari bahwa standar kapitalis hanya menjerumuskan. Kebahagiaan sejati bukanlah saat kita sibuk memenuhi ekspektasi manusia, melainkan ketika kita teguh berjalan di jalan lurus dan menjadikan Allah satu-satunya standar hidup.
Azifa di Gaza adalah bukti nyata: fisiknya dijajah, tapi hatinya merdeka. Sedangkan banyak mahasiswa kita sebaliknya: fisiknya merdeka, tapi hatinya dijajah.
Pertanyaannya, sampai kapan kita rela dikuasai penjajahan yang tak terlihat ini? Sudah saatnya pemuda Muslim bangkit. Belajarlah dari keteguhan Gaza, tegakkan Islam, dan buktikan bahwa kita bukan generasi rapuh layaknya bebek, melainkan generasi perkasa bak singa yang siap membebaskan umat.
Wallāhu a‘lam bish-shawāb