Connect With Us

Politik Dinasti: Warisan Kuasa, Bukan Prestasi

Rangga Agung Zuliansyah | Minggu, 14 September 2025 | 20:35

Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Alpun Hasanah, Mahasiswi Porgram Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang

 

TANGERANGNEWS.com-Demokrasi pada dasarnya lahir dari cita-cita untuk menciptakan ruang politik yang setara, terbuka, dan dapat diakses oleh seluruh warga negara tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, ataupun garis keturunan. Sistem ini dibangun atas keyakinan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk bersuara, berpartisipasi, dan memimpin.

Namun, di balik idealisme tersebut, praktik demokrasi di Indonesia sering kali dibayangi oleh kenyataan pahit berupa menguatnya fenomena politik dinasti. Politik dinasti adalah kondisi ketika jabatan-jabatan publik diwariskan secara turun-temurun dalam satu keluarga, seolah kekuasaan adalah harta pribadi yang bisa dibagi seperti warisan.

Fenomena ini menimbulkan paradoks: di satu sisi kita mengaku sebagai negara demokrasi, tetapi di sisi lain kita membiarkan kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir keluarga politik yang sama. Akibatnya, kesempatan untuk berkompetisi dalam arena politik tidak lagi ditentukan oleh kualitas gagasan dan rekam jejak kinerja, melainkan oleh siapa orang tuanya, siapa kerabatnya, dan seberapa besar jaringan kekuasaan yang menopang langkahnya.

Ketimpangan dalam akses terhadap kekuasaan menjadi dampak paling mencolok dari politik dinasti. Mereka yang lahir dari keluarga elite politik memiliki berbagai kemudahan struktural yang tidak dimiliki oleh masyarakat biasa: dukungan finansial yang besar, jaringan partai politik yang luas, akses media yang masif, serta popularitas keluarga yang sudah terbentuk sebelumnya. Dengan bekal tersebut, proses menuju kursi kekuasaan menjadi jauh lebih mudah bagi mereka, bahkan sering kali hanya formalitas belaka.

Sebaliknya, kandidat yang berasal dari masyarakat biasa harus menempuh jalan yang terjal dan panjang, berjuang keras mencari dana kampanye, meyakinkan partai untuk memberi tiket pencalonan, dan menghadapi bias sosial yang menganggap mereka “tidak punya nama besar”. Ketimpangan struktural semacam ini menimbulkan demokrasi yang semu, di mana secara prosedural tampak terbuka, tetapi secara substansial hanya memberikan peluang nyata kepada segelintir orang. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan lingkaran kekuasaan yang eksklusif dan menutup ruang mobilitas politik bagi generasi baru yang sebenarnya memiliki kapasitas dan integritas.

Dampak lain yang tidak kalah berbahaya dari politik dinasti adalah memburuknya kualitas tata kelola pemerintahan dan orientasi kebijakan publik. Ketika jabatan diperoleh bukan karena kompetensi, melainkan karena hubungan keluarga, orientasi kekuasaan kerap bergeser dari melayani kepentingan publik menjadi mempertahankan dominasi keluarga politik. Banyak keputusan pembangunan akhirnya lebih diarahkan untuk memperkuat citra keluarga tertentu, bukan untuk menjawab kebutuhan riil masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, dan praktik korupsi menjadi sangat rentan terjadi karena jabatan dianggap sebagai “hak turun-temurun” yang harus dijaga, bukan sebagai amanah yang bisa dicabut ketika gagal. Ketika kekuasaan hanya digunakan untuk memperpanjang kekuasaan itu sendiri, maka fungsi utama pemerintahan sebagai instrumen untuk menyejahterakan rakyat hilang sama sekali. Politik kehilangan makna substantifnya dan hanya menjadi alat reproduksi kekuasaan keluarga.

Yang lebih mengkhawatirkan, fenomena politik dinasti juga membentuk pola pikir publik yang permisif terhadap ketidakadilan politik. Banyak masyarakat yang akhirnya menganggap bahwa keberlanjutan kekuasaan dalam satu keluarga adalah hal yang wajar, bahkan dianggap menjanjikan stabilitas. Mereka menilai bahwa tokoh politik dari keluarga yang sama pasti memiliki kemampuan dan pengalaman yang diwariskan dari pendahulunya. Pola pikir ini menumbuhkan budaya patronase yang kuat, di mana loyalitas personal terhadap keluarga politik lebih diutamakan dibandingkan dengan evaluasi objektif atas kinerja.

Budaya patronase ini, secara perlahan namun pasti, mengikis prinsip meritokrasi dalam demokrasi. Namun, di sisi lain, semakin banyak pula suara-suara kritis yang muncul, terutama dari kalangan anak muda yang melek politik. Mereka menilai bahwa politik dinasti adalah bentuk ketidakadilan struktural yang nyata dan harus dihentikan. Kesadaran baru ini penting karena menunjukkan bahwa publik mulai memahami bahwa kualitas kepemimpinan tidak ditentukan oleh garis keturunan, melainkan oleh gagasan, integritas, dan dedikasi pada kepentingan rakyat.

Untuk memutus rantai politik dinasti, reformasi mendasar dalam sistem politik Indonesia menjadi keharusan yang tidak bisa ditunda. Partai politik sebagai gerbang utama rekrutmen pemimpin harus kembali pada fungsi utamanya sebagai lembaga kaderisasi, bukan sekadar kendaraan elektoral yang dikuasai oleh segelintir elite. Partai harus memberi ruang terbuka bagi kader-kader muda dan profesional dari berbagai latar belakang sosial untuk berkembang dan berkompetisi secara adil, bukan hanya menominasikan anggota keluarga elite yang dianggap “aman secara elektabilitas”.

Di sisi lain, negara juga perlu membuat regulasi yang secara tegas membatasi praktik politik dinasti, misalnya dengan menetapkan masa jeda pencalonan bagi anggota keluarga petahana dalam wilayah yang sama atau memperketat aturan konflik kepentingan. Transparansi dana kampanye dan pengawasan publik yang ketat juga penting untuk memastikan bahwa kompetisi politik tidak hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya besar.

Pada akhirnya, politik dinasti merupakan salah satu bentuk ketimpangan paling nyata dalam demokrasi modern karena ia mengubah jabatan publik menjadi hak istimewa pribadi yang diwariskan, bukan mandat rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Selama praktik ini terus dibiarkan, demokrasi Indonesia hanya akan menjadi panggung semu yang skenarionya telah diatur oleh segelintir keluarga, sementara rakyat banyak hanya menjadi penonton tanpa suara.

Karena itu, melawan politik dinasti bukan sekadar pilihan moral, tetapi keharusan politik demi menjaga agar demokrasi tetap hidup dan berpihak pada rakyat. Demokrasi sejati hanya bisa tumbuh apabila setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memimpin berdasarkan prestasi, bukan berdasarkan garis keturunan. Kita harus berani membangun sistem politik yang benar-benar inklusif, terbuka, dan meritokratis, agar masa depan demokrasi tidak terus-menerus dikuasai oleh mereka yang lahir dari nama besar, melainkan oleh mereka yang benar-benar bekerja untuk rakyat.

 

TEKNO
Cara Membuat Miniatur AI Diri Sendiri yang Bisa Bergerak, Ini Prompt-nya

Cara Membuat Miniatur AI Diri Sendiri yang Bisa Bergerak, Ini Prompt-nya

Rabu, 10 September 2025 | 10:28

Fenomena miniatur AI tengah ramai di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Banyak pengguna menampilkan sosok mereka dalam bentuk action figure miniatur, seolah-olah benar-benar memiliki mainan tersebut.

TOKOH
Kabar Duka, Ketua KONI Banten Edi Ariadi Meninggal Dunia di RS Siloam Karawaci

Kabar Duka, Ketua KONI Banten Edi Ariadi Meninggal Dunia di RS Siloam Karawaci

Senin, 8 September 2025 | 08:52

Kabar duka datang dari keluarga besar Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Banten. Ketua Umum KONI Banten, Edi Ariadi, yang juga mantan Wali Kota Cilegon periode 2016-2021, meninggal dunia pada Senin, 8 September 2025, pagi.

BISNIS
5 Cara Nabung Kripto Untuk Pemula

5 Cara Nabung Kripto Untuk Pemula

Jumat, 5 September 2025 | 14:47

Teknologi menjadi tulang punggung cryptocurrency, sehingga banyak masyarakat yang menyukainya. Bahkan saat ini banyak koin kripto baru yang muncul dengan platform kripto yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam trading dan investasi.

KAB. TANGERANG
2.800 Jemaah Khidmat, PLN Sukseskan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di PIK 2 Tangerang 

2.800 Jemaah Khidmat, PLN Sukseskan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di PIK 2 Tangerang 

Minggu, 14 September 2025 | 20:41

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H yang digelar Agung Sedayu Group (ASG) di Masjid Al Khairiyah, Menara Syariah, Pantai Indah Kapuk (PIK 2), Kabupaten Tangerang, dihadiri lebih dari 2.800 jemaah.

""Kekuatan dan perkembangan datang hanya dari usaha dan perjuangan yang terus menerus""

Napoleon Hill