Connect With Us

Asap Rokok di Lingkungan Sekolah: Potret Gagalnya Pendidikan Karakter

Rangga Agung Zuliansyah | Kamis, 16 Oktober 2025 | 20:24

Tajriyan Nur Romadhon. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Tajriyan Nur Romadhon

 

TANGERANGNEWS.com-Pagi hari di sekolah seharusnya dipenuhi aroma semangat belajar. Tapi di beberapa sekolah di Banten, udara pagi justru bercampur dengan asap rokok murahan yang melayang pelan di antara tawa para siswa. Kalau tidak melihat langsung, mungkin orang akan mengira itu kabut. Tapi bukan, itu asap dari batang rokok yang dihisap oleh anak-anak berseragam putih abu-abu mereka yang seharusnya sedang sibuk menghafal rumus, bukan meniru gaya orang dewasa yang tersesat.

Beberapa siswa berdiri santai di belakang sekolah. Tangan kanan memegang rokok, tangan kiri menggulir layar ponsel. Sekali hisap, sekali unggah story. Caption-nya? Santai dulu bro, hidup udah berat. Ironi di balik kepulan asap itu begitu kental. Sambil tertawa, mereka merasa sedang menjadi dewasa, padahal yang terbakar bukan cuma tembakau, tapi juga wibawa sekolah.

Ketika guru menegur, responnya tidak selalu ramah. Ada yang mengangguk tapi kembali mengulang, ada yang diam pura-pura patuh, dan ada pula yang berani melawan. Ah, cuma rokok, Pak, bukan narkoba. Kalimat itu mungkin terdengar biasa, tapi di baliknya tersimpan kesombongan kecil yang berbahaya kesombongan karena merasa tidak perlu dihormati atau diarahkan.

Dan ketika kepala sekolah mencoba menegur lebih tegas, situasinya justru berubah menjadi drama. Murid yang ditegur merasa direndahkan, orang tua ikut campur tangan, dan media sosial pun ramai memperdebatkan siapa yang salah. Dunia pendidikan yang seharusnya jadi tempat menanam nilai, malah berubah jadi panggung sandiwara yang dimainkan di depan kamera ponsel.

Kasus yang semestinya selesai di ruang guru kini melebar ke ranah publik. Akhirnya, yang turun tangan bukan lagi wali kelas, bukan kepala sekolah, tapi Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. Bayangkan dua pejabat tertinggi di provinsi harus ikut mengurus persoalan anak sekolah yang ditegur karena merokok. Dan di sinilah inti persoalannya.

Gubernur dan wakil gubernur turun tangan, artinya saat ini guru atau kepala sekolah bisa diartikan tidak dihargai dan bisa direndahkan oleh murid. Ini adalah tanda kemunduran pendidikan di Indonesia.

Kalimat itu tidak berlebihan. Karena jika seorang kepala sekolah saja tidak punya wibawa di hadapan murid, bagaimana kita bisa berharap generasi itu tumbuh menghargai orang lain?

Dulu, guru adalah sosok yang disegani. Satu tatapan saja cukup membuat murid menunduk. Sekarang, guru menatap murid malah merekam. Kepala sekolah menegur murid melawan. Teguran dianggap serangan, disiplin dianggap kekerasan, dan rasa hormat dianggap kuno.

Kita sedang hidup di zaman di mana rasa hormat berubah menjadi bahan konten.

Sebuah nasihat bisa dipotong, diunggah, lalu dijadikan bahan ejekan. Dunia maya tertawa, dunia nyata terluka. Guru-guru kini harus berhati-hati menegur, bukan karena takut salah, tapi karena takut viral.

Ironinya, setiap kali kasus seperti ini muncul, semua pihak berlomba mencari kambing hitam. Ada yang menyalahkan kurikulum, ada yang menuding sistem pendidikan, bahkan ada yang menyalahkan guru karena dianggap kurang sabar. Tapi jarang ada yang mau bertanya dengan jujur: apa yang salah dengan cara kita menghargai pendidikan?

Pendidikan karakter yang dulu diagungkan kini tinggal slogan kosong di dinding ruang kelas. Setiap pagi anak-anak membaca Berakhlak Mulia, Cerdas, dan Disiplin, tapi setelah itu mereka menyalakan rokok di belakang sekolah. Kita terlalu sibuk mencetak nilai rapor, tapi lupa mencetak nilai moral.

Masalahnya bukan sekadar tentang rokok. Rokok hanya simbol kecil dari masalah besar: lunturnya rasa hormat terhadap guru dan kepala sekolah.

Ketika anak bisa dengan mudah melawan teguran, ketika orang tua lebih percaya omongan anak daripada penjelasan guru, dan ketika pejabat harus ikut turun tangan hanya untuk mengingatkan murid supaya sopan, itu berarti sistem kita benar-benar sedang sakit.

Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana nilai-nilai moral ditanam dan dijaga. Tapi kini sekolah lebih sering menjadi tempat di mana moral diujisiapa yang lebih kuat, guru atau murid. Dan sayangnya, sering kali guru yang kalah. Karena guru tidak lagi memiliki kekuasaan moral, hanya kekuasaan administratif yang mudah diabaikan.

Lucunya, sebagian orang justru menganggap ini hal biasa. Namanya juga anak muda, masih mencari jati diri, kata mereka. Tapi mencari jati diri bukan berarti kehilangan rasa hormat. Kita tidak bisa membiarkan arogansi tumbuh dengan alasan masih remaja. Kalau dibiarkan, nanti mereka akan mengira ketidaksopanan adalah bentuk kebebasan.

Inilah wajah pendidikan kita hari ini: kurikulum modern, fasilitas digital, tapi nilai-nilai dasar terkikis. Kita sibuk dengan program Merdeka Belajar, tapi lupa bahwa kemerdekaan tanpa karakter hanya melahirkan generasi yang bebas tanpa arah.

Anak-anak memang merdeka berpikir, tapi juga merdeka melawan, merdeka menghina, merdeka merasa paling benar.

Dan di sisi lain, guru dan kepala sekolah menjadi sosok yang paling lelah.

Mereka dituntut untuk mendidik, tapi dibatasi dalam menegur. Mereka harus sabar, padahal yang mereka hadapi bukan sekadar anak-anak, tapi juga sistem yang memanjakan.

Guru yang menegur bisa diadukan, kepala sekolah yang mendisiplinkan bisa dicap arogan. Lalu siapa yang sebenarnya mendidik siapa?

Ketika otoritas moral guru hilang, maka pendidikan kehilangan ruhnya. Sekolah hanya jadi tempat menggugurkan kewajiban belajar, bukan tempat membentuk manusia.

Dan saat itu terjadi, kita tidak sedang berbicara tentang murid yang merokok, tapi tentang bangsa yang kehilangan arah. Asap rokok di lingkungan sekolah bukan hanya aroma tembakau yang menyesakkan.  Ia adalah simbol getir dari gagalnya pendidikan karakter.

Ia menandakan bahwa di antara tembok sekolah yang megah, nilai-nilai dasar seperti sopan santun, hormat, dan tanggung jawab sedang terbakar pelan-pelan.

Mungkin sebelum kita sibuk memperbarui kurikulum dan menambah jam pelajaran, kita perlu kembali mengajarkan hal-hal sederhana: bagaimana menghormati guru, bagaimana mendengar dengan rendah hati, bagaimana minta maaf dengan tulus. Karena tanpa itu, semua kecerdasan hanya akan menghasilkan manusia pintar yang tidak tahu diri.

Kita tidak sedang kekurangan sekolah, tidak kekurangan guru, tapi kita kekurangan rasa hormat. Dan tanpa rasa hormat, pendidikan apa pun akan gagal.

Asap rokok di sekolah itu akhirnya perlahan menghilang tertiup angin. Tapi ia meninggalkan bekas yang lebih pekat daripada bau tembakaunya  bekas tentang bagaimana moral, disiplin, dan karakter di negeri ini ikut terbakar.

Dan di antara sisa-sisa asap yang menggantung di udara pagi, kita bisa melihat dengan jelas: yang terbakar bukan hanya batang rokok di tangan murid, tapi juga rasa hormat yang perlahan hangus bersama kemunduran pendidikan kita.

BANTEN
Sopir Angkot Protes Bus Trans Banten, Minta Evaluasi Trayek dan Jam Operasional

Sopir Angkot Protes Bus Trans Banten, Minta Evaluasi Trayek dan Jam Operasional

Kamis, 16 Oktober 2025 | 13:32

Baru sepekan lebih beroperasi, Bus Trans Banten sudah mendapat protes dari para sopir angkutan kota (angkot).

AYO! TANGERANG CERDAS
Banten Jadi Provinsi dengan Mahasiswa Aktif Terbanyak, Tembus 1,6 Juta

Banten Jadi Provinsi dengan Mahasiswa Aktif Terbanyak, Tembus 1,6 Juta

Minggu, 20 Juli 2025 | 11:19

Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), Banten menjadi provinsi dengan jumlah mahasiswa aktif terbanyak di Indonesia, yakni sebanyak 1.687.634 mahasiswa per tahun 2024.

WISATA
10 Rekomendasi Kuliner Pesisir Timur Indonesia yang Wajib Dicoba di FKS 2025

10 Rekomendasi Kuliner Pesisir Timur Indonesia yang Wajib Dicoba di FKS 2025

Selasa, 16 September 2025 | 19:15

Festival Kuliner Serpong (FKS) 2025 kembali hadir memanjakan lidah para penggemar kuliner yang berlangsung di Area Parkir Selatan Summarecon Mall Serpong (SMS) Tangerang, selama 28 Agustus hingga 28 September 2025.

""Kekuatan dan perkembangan datang hanya dari usaha dan perjuangan yang terus menerus""

Napoleon Hill