Oleh : Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Penulis buku The Governance Gam: Strategi dan Taktik dalam Politik Pemerintahan
TANGERANGNWS.com-Tragedi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dua guru di Luwu Utara, dipicu oleh pungutan komite sekolah senilai dua puluh ribu rupiah, adalah sebuah anomali yudisial yang menyayat keadilan. Alarm ini berdering di jantung birokrasi dan sistem pendidikan di seluruh negeri, termasuk di kota metropolitan yang progresif seperti Kota Tangerang. Akar masalahnya jauh lebih dalam, terkubur dalam desain sistem pendidikan kita sendiri. Sistem ini, yang mengutamakan kepatuhan di atas pemahaman, hanya mengajarkan lulusannya cara berpikir benar—sesuai teks aturan, sesuai prosedur—tetapi gagal menanamkan cara berpikir berani, kritis, dan analitis. Inilah hulu dari segala persoalan sistemik yang melilit bangsa, yang merusak kualitas birokrat, guru, LSM, hingga penegak hukum.
Kegagalan mendasar ini menghasilkan aparatur negara yang terjebak dalam Formalisme Hukum yang kaku, sebuah manifestasi dari patologi birokrasi. Konsep ini dikembangkan oleh sosiolog terkemuka, Robert K. Merton (1940), yang menganalisis bahwa kepatuhan berlebihan terhadap aturan—yang merupakan adaptasi dari model birokrasi ideal Max Weber—justru menghambat pencapaian tujuan organisasi. Birokrat dan penegak hukum yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang minim nalar kritis ini hanya mampu menghormati teks hukum (letter of the law) secara harfiah. Mereka gagal menjangkau jiwa hukum (spirit of the law) yang menanyakan konteks dan niat di balik tindakan.
Dalam kasus Luwu Utara, pungutan itu adalah solusi swadaya darurat yang muncul dari Principal-Agent Problem yang kronis. Pemerintah (Principal) gagal memastikan sumber daya yang memadai sampai ke sekolah (Agent), memaksa guru dan komite mencari jalan keluar sendiri. Namun, aparat yang dididik untuk menghindari risiko memilih memidanakan solusi ini, alih-alih menggunakan pendekatan ultimum remedium. Tindakan ini secara efektif membunuh inisiatif dan membuat pejabat di lapangan takut mengambil risiko diskresi yang benar secara moral. Birokrat dan penegak hukum menjadi kompeten secara teknis, tetapi sangat miskin dalam empati dan pemahaman kontekstual sosial.
Tanpa fondasi pengetahuan dasar kritis, menciptakan "Generasi Emas" hanyalah mimpi di siang bolong. Generasi yang dididik untuk takut bertanya akan melahirkan birokrat dan penegak hukum yang selalu memilih jalur yang aman secara prosedur. Inilah yang dianalisis dalam Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory) dalam ilmu politik, yang dikembangkan oleh ekonom Gary S. Becker. Teori ini mengasumsikan bahwa aktor publik akan memilih tindakan yang paling meminimalkan risiko pribadi dan memaksimalkan keuntungan prosedural. Dalam kerangka ini, memidanakan kasus pungutan kecil yang jelas-jelas melanggar aturan adalah pilihan yang "rasional" dan aman, meskipun secara etika cacat.
Dampak dari sistem pendidikan yang miskin kritik ini menyebar ke semua sektor, termasuk LSM. LSM yang seharusnya menjadi watchdog kritis, ikut terjangkit virus proseduralisme. Mereka menjadi pengawas yang buta konteks, hanya memilih target rendah yang mudah dijerat hukum karena kurangnya kapasitas analitis untuk membongkar korupsi struktural yang kompleks dan berisiko tinggi. Pilihan rasional mereka untuk menargetkan kasus "mudah" ini hanya memperkuat budaya formalisme dan menghalangi reformasi substantif. Oleh karena itu, Tragedi Luwu Utara adalah hasil kolaborasi ironis antara birokrat yang takut dan LSM yang tidak punya nalar kritis, keduanya lahir dari rahim pendidikan yang sama yang mengajarkan kepatuhan di atas keberanian berpikir.
Tragedi Luwu Utara adalah mandat bagi kita semua. Untuk mencegah kriminalisasi inisiatif baik ini terulang di daerah maju seperti Kota Tangerang, kita tidak hanya perlu merevisi SOP, tetapi harus memicu Reformasi Kognitif pada para pemangku kebijakan. Pelatihan bagi ASN dan APH harus secara radikal diubah, menjauhi orientasi administratif sempit, fokus pada Berpikir Sistem (System Thinking). Konsep ini, yang dipopulerkan oleh Peter Senge dalam karya klasiknya The Fifth Discipline, mengajarkan bahwa setiap masalah harus dilihat secara holistik, mengidentifikasi pola dan hubungan sebab-akibat yang kompleks, alih-alih hanya berfokus pada solusi permukaan. Pelatihan ini akan memaksa aparat untuk memahami bahwa tindakan guru tersebut adalah gejala dari kegagalan struktural, bukan penyakit korupsi, sehingga mereka dapat membedakan secara bijak antara penyelewengan pribadi dengan inisiatif kolektif yang bersifat darurat.
Pemerintah Kota Tangerang harus memimpin dalam menciptakan ekosistem Good Governance yang inklusif, di mana Akuntabilitas Publik tidak hanya dinilai dari pelaporan angka, tetapi dari transparansi kontekstual dan hasil riil di lapangan. Jika bangsa ini ingin lepas dari jerat birokrasi yang kaku dan melahirkan pemimpin yang solutif dan penegak hukum yang berhati nurani, pendidikan harus berhenti mengajarkan kepatuhan buta dan mulai mengajarkan keberanian berpikir.