Oleh: Annisa Nurmala Sari, Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
TANGERANGNEWS.com-Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera beberapa pekan lalu menjadi salah satu bencana terbesar di penghujung tahun. Hingga Jumat, 19 Desember 2025, tercatat sebanyak 1.071 korban jiwa menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dilansir dari Metrotvnews, rincian korban meliputi 455 korban meninggal di Aceh, 369 di Sumatera Utara, dan 247 di Sumatera Barat. Sementara itu, ratusan warga masih hilang dan lebih dari setengah juta orang harus mengungsi meninggalkan rumahnya.
Pertanyaannya, apakah bencana sebesar ini murni faktor alam atau ada hal lain yang menjadi faktor pendukung?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Sumatera Selatan menyampaikan bahwa meskipun banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir, hujan menjadi faktor utama. Intensitas hujan meningkat tajam pada 25-27 November akibat fenomena siklon tropis Senyar di sekitar Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. Curah hujan yang deras selama beberapa hari membuat debit air melampaui batas normal dan memicu banjir bandang serta tanah longsor di berbagai titik.
Namun cuaca bukan satu satunya penyebab banjir ini terjadi dan menelan begitu banyak korban. Faktor kerusakan lingkungan menjadi faktor pendukung yang memperburuk dampak bencana. Pembukaan lahan di daerah hulu dan peralihan kawasan hutan menjadi perkebunan sawit menyebabkan tanah kehilangan daya serap, sehingga aliran air langsung menuju ke wilayah padat penduduk tanpa ada hambatan alami. Dua provinsi yang memiliki kawasan sawit terluas, yaitu Riau dan Sumatera Utara, menghadapi risiko yang sangat besar karena hilangnya tutupan hutan yang seharusnya menjadi pelindung.
Selain itu, deforestasi yang terjadi selama bertahun tahun juga meninggalkan jejak yang muncul kembali saat banjir tiba. Penebangan liar, tambang ilegal, dan alih fungsi hutan terus mempersempit kapasitas tanah dalam menahan air hujan. Dalam beberapa video yang beredar di media sosial, terlihat gelondongan kayu terbawa arus banjir dengan ukuran besar dan potongan yang rapi. Potongan kayu tersebut tampak seperti hasil gergaji mesin, bukan akibat patahan alami dari banjir. Hal itu memunculkan dugaan kuat bahwa pemicu kerusakan lingkungan karena penggundulan hutan yang telah berlangsung lama.
Hujan deras menjadi pemicu awal, tetapi kerusakan yang terjadi tidak akan sedahsyat ini apabila hutan di Sumatera tetap terjaga. Ketika hutan gundul dan akar pohon di perbukitan sudah tidak lagi menahan tanah, air hujan langsung jatuh ke bawah dan menghantam kawasan permukiman. Tanpa vegetasi penahan, tanah longsor menjadi mudah terjadi dan aliran air sungai meluap.
Banjir Sumatera menjadi peringat bahwa bencana bukan hanya soal alam yang sedang bergejolak. Tetapi ada tanggung jawab manusia yang tidak bisa diabaikan. Deforestasi yang masif seperti penggundulan hutan dan pembukaan lahan sawit yang tidak terkendali serta lemahnya pengawasan menjadi faktor penting di balik tingginya jumlah korban jiwa. Perubahan iklim dan cuaca ekstrem mungkin tak bisa dihentikan, tetapi kerusakan lingkungan adalah hal yang masih bisa dicegah.
Kini saatnya pemerintah dan publik membuka mata lebih lebar agar alam tidak bekerja sendirian tetapi ada peran manusia di dalamnya. Selama hutan ditebang tanpa kendali, banjir serupa hanya menunggu waktu untuk kembali terjadi.