Oleh: Heru Hermawan, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang.
TANGERANGNEWS.com-Di Indonesia, kata anarkis seringkali dipakai untuk menyebut kerusuhan. Padahal, anarkisme sebagai filsafat politik justru lahir dari sebuah gagasan kebebasan dan solidaritas. Anarkisme berasal dari bahasa Yunani, anarkhia, yang berarti “tanpa penguasa” atau “tanpa hierarki”. Esensi utamanya adalah penolakan terhadap segala bentuk kekuasaan yang memaksa dan mengekang kebebasan individu.
Sering kita mendengar mengenai anarkis di dalam keteraturan sosial. Kata anarkis diidentikkan dengan kerusuhan, kekerasan, dan tindakan tanpa aturan. Dalam banyak pemberitaan mengenai suatu kelompok anarkis, kerap digambarkan dan diilustrasikan sebagai perusuh jalanan, pembakar fasilitas, bahkan penentang kenegaraan. Namun kita semua harus paham bahwa pemahaman ini sering kali tidak mencerminkan arti dari akar intelektualnya. Kita harus mengerti bahwa anarkisme merupakan sebuah aliran pemikiran. Sejatinya, anarkis lahir dari sebuah filsafat politik yang berusaha mencari alternatif dari dominasi negara dan otoritas yang mengekang kebebasan manusia.
Sejarah Singkat Anarkisme
Semuanya bermula dari gagasan-gagasan kuat yang muncul di Eropa pada abad ke-19. Banyak pemikir dikenal dengan ungkapan “properti adalah pencurian.” Pada saat yang sama, Mikhail Bakunin dan Peter Kropotkin mengembangkan teori bahwa masyarakat dapat hidup harmonis tanpa negara. Sebagai gantinya, mereka percaya pada solidaritas dan kerja sama sukarela. Dari sini kita melihat bahwa otoritas yang berkesadaran seharusnya membimbing kita untuk menciptakan dinamika sosial yang sehat.
Namun, akar anarkisme sudah dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang. Pada abad ke-18, William Godwin di Inggris menulis Enquiry Concerning Political Justice (1793), yang menolak peran negara dan menekankan rasionalitas individu. Kemudian, Pierre-Joseph Proudhon dari Prancis dikenal sebagai bapak anarkisme modern ketika ia menyatakan “La propriété, c’est le vol” (properti adalah pencurian) pada tahun 1840.
Tokoh-tokoh inilah yang membangun gagasan bahwa masyarakat dapat diatur secara horizontal, tanpa negara maupun kapitalisme yang menindas. Hingga hari ini, mereka terus menjadi inspirasi bagi gerakan anarkis di seluruh dunia.
Anarkisme Lahir sebagai Kritik Atas:
1. Negara, yang sering dianggap menindas warganya melalui aparat kekuasaan demi kepentingan tertentu.
2. Kapitalisme, yang sering kali dinilai mengeksploitasi banyak manusia demi keuntungan segelintir orang.
3. Agama yang terlembaga, yang kerap dijadikan alat legitimasi politik dan pelanggengan kekuasaan.
Dengan demikian, kita harus paham: anarkisme pada dasarnya adalah seruan mengenai kebebasan, kesetaraan manusia, dan penghapusan hierarki yang dipaksakan.
Esensi Pemikiran Anarkis
Ada banyak prinsip dalam anarkisme, namun beberapa yang utama yaitu:
1. Anti-otoritarianisme: menolak segala bentuk otoritas yang terkonsentrasi pada segelintir orang.
2. Kebebasan individu: manusia harus bebas menentukan hidupnya tanpa tekanan struktural.
3. Solidaritas sosial: meski menolak negara, anarkisme percaya manusia dapat hidup bermasyarakat melalui asosiasi sadar dan sukarela.
4. Anti-kapitalisme: menolak kepemilikan pribadi yang menindas demi kepentingan individu.
Anarkisme tidaklah identik dengan chaos. Sebaliknya, ia hadir menawarkan model organisasi sosial alternatif yang lebih horizontal tanpa kelas sosial.
Persepsi Anarkis dalam Publik
Banyak disayangkan, kata anarkis di Indonesia maupun mancanegara sering kali dipahami secara negatif. Demonstrasi yang berujung bentrok dicap sebagai tindakan anarkis, padahal istilah tersebut tidak selalu tepat.
Hal ini membuat pemikiran filosofis anarkisme tentang kebebasan, kesetaraan, dan perlawanan terhadap tirani tertutupi oleh stigma publik. Akibatnya, masyarakat lebih mengenal anarkis sebagai kerusuhan daripada gerakan sosial itu sendiri.
Dalam konteks hari ini, hal ini dapat terlihat pada berbagai demonstrasi yang berlangsung di kota-kota besar. Mulai dari protes terhadap UU Omnibus Law, demonstrasi menentang kenaikan harga BBM, hingga gerakan mahasiswa yang menantang kebijakan pemerintah. Ketika terjadi bentrokan dengan aparat, banyak yang langsung melabeli aksi-aksi tersebut sebagai “anarkis,” padahal pada dasarnya itu adalah ekspresi perlawanan terhadap ketidakadilan.
Belakangan ini, demonstrasi di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) semakin menguat. Rakyat menyuarakan keprihatinan terhadap berbagai rancangan undang-undang yang dinilai gagal memenuhi kepentingan publik. Isu-isu ini mencakup bidang lingkungan, pendidikan, hingga kebijakan politik yang tampak hanya menguntungkan kalangan elite. Bentrokan antara massa dengan aparat sering terjadi di sekitar Senayan, dan media dengan cepat menyebutnya sebagai tindakan “anarkis.” Namun, jika ditelaah lebih dalam, peristiwa-peristiwa tersebut bukan sekadar kerusuhan, melainkan protes terhadap wajah kekuasaan yang semakin jauh dari aspirasi rakyat.
Kritik terhadap Anarkisme
Meskipun anarkisme menghadirkan visi radikal tentang kebebasan dan kesetaraan, aliran ini tetap menghadapi kritik. Beberapa poin umum yang sering disoroti adalah:
• Utopis dan sulit diwujudkan
Banyak kritikus menilai anarkisme terlalu idealistis. Konsep masyarakat tanpa negara dianggap utopis, karena dalam praktiknya konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan sering muncul.
• Risiko kekerasan dalam praktik
Meskipun secara teori anarkisme menekankan solidaritas dan kebebasan, beberapa gerakan anarkis dalam sejarah justru terlibat dalam aksi kekerasan atau sabotase. Hal ini turut memperkuat citra negatif di mata publik.
• Tidak ada jaminan keadilan yang merata
Para kritikus berpendapat bahwa tanpa otoritas pusat, masyarakat bisa jatuh ke dalam kendali kelompok yang lebih kuat. Alih-alih mencapai kesetaraan, kondisi ini bisa melahirkan “tirani baru” dari kelompok informal atau komunitas dominan.
Kesimpulan
Anarkis merupakan konsep yang kompleks. Di satu sisi, ia sering disebut identik dengan kekerasan dan kerusuhan. Namun di sisi lain, anarkisme adalah filsafat politik yang berkesadaran dan menekankan kebebasan sejati. Stigma publik yang memberi label “perusuh” justru menutupi gagasan kritis berharga di baliknya.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam memahami sesuatu. Jangan hanya terpengaruh oleh persepsi publik. Memahami anarkisme berarti berani melepaskan diri dari citra negatif yang diciptakan oleh media dan pihak berkuasa. Ia mungkin tampak idealistis, kontroversial, dan sulit benar-benar diwujudkan. Namun, gagasan tentang kebebasan, kesetaraan, serta perlawanan terhadap penindasan tetaplah penting, terutama dalam konteks politik Indonesia saat ini. Polanya sering kali sama: rakyat melakukan perlawanan, sementara negara mengklaim dirinya sebagai pengendali. Pertanyaannya, apakah kita akan terus menggunakan istilah anarkis untuk memberi label negatif pada gerakan perlawanan, atau justru mulai melihatnya sebagai sebuah tantangan terhadap ketidakadilan?