Connect With Us

Desentralisasi Tanpa Demokratisasi: Problem Tata Kelola Daerah

Rangga Agung Zuliansyah | Senin, 15 September 2025 | 14:03

Roman Hadi Saputro, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Roman Hadi Saputro, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Terbuka

 

TANGERANGNEWS.com-Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan kemajuan pembangunan fisik yang mencolok di berbagai daerah. Gedung-gedung pemerintahan baru menjulang, jalan-jalan kota yang mulus menghubungkan kawasan industri, hingga perumahan yang menjamur menjadi simbol keberhasilan otonomi daerah. Namun di balik wajah modern yang menawan itu, ada paradoks yang mencolok: partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan justru stagnan, bahkan cenderung melemah.

Banyak warga merasa keputusan politik diambil tanpa konsultasi publik, sementara ruang dialog antara pemerintah daerah dan masyarakat sipil tampak semakin menyempit. Desentralisasi administratif berjalan, tetapi demokratisasi politik di tingkat lokal justru tertinggal jauh, seperti bangunan megah yang berdiri di atas fondasi rapuh.

Padahal, ketika reformasi digulirkan pada akhir 1990-an, desentralisasi diharapkan menjadi jalan keluar dari sentralisasi kekuasaan yang menumpuk di Jakarta. Gagasannya sederhana namun ambisius: memberi keleluasaan bagi daerah untuk mengelola sumber dayanya sendiri, mendekatkan pelayanan publik kepada warga, sekaligus mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam teori tata kelola, desentralisasi seharusnya membawa pemerintahan lebih dekat kepada rakyat—government closer to the people. Namun setelah lebih dari dua dekade berjalan, cita-cita itu belum sepenuhnya terwujud. Banyak daerah justru hanya mengganti “aktor pusat” menjadi “aktor lokal”, tanpa mengubah kultur kekuasaan yang hierarkis dan eksklusif, sehingga yang berubah hanyalah wajah, bukan watak kekuasaannya.

Salah satu persoalan mendasar yang muncul dari situasi ini adalah kegagalan desentralisasi menciptakan distribusi kekuasaan yang lebih demokratis. Di banyak daerah, jabatan kepala daerah kerap dikuasai oleh dinasti politik atau elite lokal yang sama selama bertahun-tahun. Pergantian kepemimpinan tidak selalu berarti pergantian kebijakan, karena jejaring patronase dan loyalitas politik sering kali lebih dominan daripada agenda publik. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga pengawas tampil lemah, terkooptasi kepentingan eksekutif, atau bahkan menjadi bagian dari jejaring kekuasaan yang sama. Akibatnya, ruang partisipasi warga menyempit dan proses demokrasi lokal menjadi seremonial belaka: ada pemilu, ada kampanye, ada euforia, tetapi nyaris tak ada kontrol warga setelah suara diberikan.

Masalah lain yang tak kalah serius adalah lemahnya partisipasi warga dalam proses perumusan kebijakan. Musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) sering kali hanya menjadi formalitas tahunan, sementara aspirasi yang dikumpulkan jarang benar-benar memengaruhi prioritas anggaran daerah. Transparansi anggaran juga masih rendah; banyak warga bahkan tidak tahu ke mana uang pajak mereka dialokasikan. Misalnya, sejumlah proyek pembangunan skala besar—mulai dari perluasan kawasan industri hingga infrastruktur perkotaan—sering diputuskan secara top-down tanpa konsultasi publik yang memadai. Hal ini bukan hanya mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, tetapi juga menutup peluang lahirnya inovasi kebijakan dari akar rumput yang sesungguhnya lebih memahami kebutuhan lokal.

Konsekuensinya terasa nyata pada kualitas tata kelola daerah. Ketika partisipasi warga minim, DPRD lemah, dan pengawasan publik terbatas, peluang penyalahgunaan anggaran menjadi lebih besar. Tidak mengherankan bila kasus korupsi kepala daerah masih marak terjadi di berbagai wilayah. Di sisi lain, pelayanan publik menjadi lamban dan tidak responsif karena birokrasi lebih sibuk melayani kepentingan politik atasan daripada kebutuhan masyarakat. Dalam jangka panjang, situasi ini menciptakan siklus stagnasi: publik menjadi apatis karena merasa tak didengar, sementara pemerintah makin eksklusif karena merasa tak dikritik. Daerah memang tampak maju secara fisik, tetapi rapuh secara kelembagaan.

Untuk keluar dari jebakan ini, kita memerlukan komitmen bersama untuk menghidupkan kembali semangat demokrasi di tingkat lokal. Ada setidaknya lima langkah konkret yang bisa ditempuh. Pertama, memperluas partisipasi publik secara bermakna, bukan hanya seremonial, dengan membuka kanal konsultasi kebijakan yang benar-benar memberi ruang warga untuk memengaruhi keputusan—misalnya melalui forum deliberatif warga atau citizen panel. Kedua, memperkuat transparansi dan akuntabilitas anggaran melalui publikasi terbuka yang mudah diakses dan dipahami. Ketiga, memperkuat kapasitas DPRD sebagai lembaga pengawas, baik melalui pelatihan, peningkatan insentif, maupun pengawasan publik atas kinerjanya. Keempat, mendorong regulasi yang membatasi praktik politik dinasti agar regenerasi politik tidak terhambat. Dan kelima, membangun kolaborasi antara pemerintah daerah, media lokal, akademisi, serta masyarakat sipil untuk menumbuhkan budaya pemerintahan yang terbuka dan partisipatif.

Pada akhirnya, desentralisasi seharusnya bukan hanya memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah, tetapi juga dari elite ke warga. Tanpa demokratisasi, desentralisasi hanya menjadi kosmetik: memperindah struktur tanpa mengubah substansi. Pemerintahan lokal harus kembali menjadi arena warga, bukan milik elite semata. Dengan membangun partisipasi publik yang bermakna, memperkuat pengawasan, dan menumbuhkan transparansi, kita bisa memastikan bahwa pembangunan tidak hanya menciptakan kota yang maju, tetapi juga masyarakat yang berdaya dan berdaulat atas nasibnya sendiri.

TEKNO
Cara Membuat Miniatur AI Diri Sendiri yang Bisa Bergerak, Ini Prompt-nya

Cara Membuat Miniatur AI Diri Sendiri yang Bisa Bergerak, Ini Prompt-nya

Rabu, 10 September 2025 | 10:28

Fenomena miniatur AI tengah ramai di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Banyak pengguna menampilkan sosok mereka dalam bentuk action figure miniatur, seolah-olah benar-benar memiliki mainan tersebut.

NASIONAL
Tak Cukup dengan Iklan, Inilah Jurus Media Lokal Bertahan di Era Disrupsi Digital

Tak Cukup dengan Iklan, Inilah Jurus Media Lokal Bertahan di Era Disrupsi Digital

Sabtu, 13 September 2025 | 09:52

Industri media tengah berada pada persimpangan jalan. Ketergantungan pada iklan sebagai sumber utama pendapatan tidak lagi mencukupi untuk menopang biaya produksi jurnalistik.

BISNIS
5 Cara Nabung Kripto Untuk Pemula

5 Cara Nabung Kripto Untuk Pemula

Jumat, 5 September 2025 | 14:47

Teknologi menjadi tulang punggung cryptocurrency, sehingga banyak masyarakat yang menyukainya. Bahkan saat ini banyak koin kripto baru yang muncul dengan platform kripto yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam trading dan investasi.

""Kekuatan dan perkembangan datang hanya dari usaha dan perjuangan yang terus menerus""

Napoleon Hill