Oleh : Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia.
TANGERANGNEWS.com-Kekisruhan yang terjadi di Kelurahan Cipadu, Kota Tangerang, di mana sejumlah Ketua RT dan RW diberhentikan secara sepihak oleh Lurah, adalah cerminan dari pola umum yang terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia.
Peristiwa di Cipadu ini menghadirkan sebuah narasi nyata yang memperlihatkan titik benturan paling tajam antara birokrasi formal dan kedaulatan komunal di lapisan pemerintahan terendah Indonesia. Isu ini memaksa kita untuk melihat bagaimana kekuasaan yang diamanatkan untuk melayani, justru dapat menjadi alat untuk membungkam aspirasi masyarakat dan melegitimasi hegemoni kekuasaan lokal.
Kontrol Birokrasi Merampas Kedaulatan Komunal
Inti dari masalah di Cipadu adalah perebutan legitimasi yang sangat mendasar. Para Ketua RT memperoleh legitimasi komunal—kekuasaan yang diberikan langsung oleh warga melalui kepercayaan dan konsensus. Kekuatan mereka bersandar pada apa yang oleh Max Weber disebut sebagai otoritas tradisional dan karismatik. Di sisi lain, Lurah menjalankan Otoritas Legal-Rasional yang kaku, menggunakan Peraturan Walikota (Perwal) sebagai senjata formal untuk membenarkan pemecatan.
Konflik ini adalah praktik nyata hegemoni vertikal. Ketika Lurah menerbitkan SK tanpa musyawarah, ia mengirimkan pesan hegemoni: bahwa stempel birokrasi lebih berkuasa daripada konsensus rakyat. Tindakan ini menciptakan kekosongan partisipasi, menghilangkan check and balance internal, dan secara langsung melemahkan posisi warga. Hegemoni birokrasi ini ditegaskan dengan memandang RT/RW sebagai unit yang harus patuh. Kegagalan Lurah memahami bahwa di tingkat paling bawah, kekuasaan harus bersandar pada izin rakyat, berarti birokrasi telah membunuh demokrasi partisipatif dan memutus jalur komunikasi yang seharusnya ada.
Sengketa Aset dan Celah Intervensi Non-Pemerintah
Latar belakang pemecatan, yang diduga terkait sengketa pengelolaan iuran dan aset lingkungan di komunitas, memperkuat potensi hegemoni horizontal oleh aktor eksternal. Praktik ini berawal dari kegagalan Good Governance. Prinsip transparansi dan akuntabilitas jelas dilanggar karena Lurah memilih pemecatan sepihak sebagai solusi. Tindakan ini, alih-alih menyelesaikan masalah, justru mengubah isu teknis menjadi isu politik yang meradang.
Praktik hegemoni vertikal oleh Lurah secara tidak terhindarkan menciptakan kerentanan yang dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan di luar pemerintahan. Kelemahan dan konflik internal yang dipicu oleh birokrasi menjadi ladang subur bagi Ormas atau LSM untuk mencari pengaruh. Ketika Lurah melemahkan RT/RW, ia secara tidak langsung membuka pintu bagi hegemoni fungsional kelompok non-pemerintah. Mereka dapat menawarkan dukungan politik atau mobilisasi kepada pihak yang bertikai, dengan harapan mendapatkan akses atau konsesi atas aset yang dipersengketakan. Dengan demikian, kekosongan politik yang ditinggalkan oleh RT/RW yang dinonaktifkan diisi oleh Ormas/LSM, menunjukkan bahwa otoritas legal-rasional yang otoriter justru melahirkan hegemoni lain di tingkat komunitas.
Kekisruhan Cipadu pada akhirnya memaksa aktor politik yang lebih tinggi, yaitu DPRD Kota Tangerang, untuk turun tangan. Intervensi ini membuktikan bahwa mobilisasi warga adalah mekanisme politik yang sah dan efektif ketika saluran birokrasi macet, sekaligus menunjukkan adanya keseimbangan kekuasaan (checks and balances) yang dipaksakan oleh tekanan publik. Namun, intervensi saja tidak cukup. Pelajaran bagi Pemerintah Kota Tangerang sangatlah tegas: Perwal harus direvisi. Aturan tentang pemberhentian tidak boleh lagi menjadi diskresi tunggal Lurah, melainkan wajib diikat oleh prasyarat musyawarah mufakat dan dukungan substantif dari warga, memastikan setiap keputusan memiliki validitas hukum sekaligus legitimasi komunal.
Tanpa reformasi struktural ini, peristiwa di Cipadu hanya akan menjadi babak pembuka bagi konflik-konflik serupa. Pemerintah harus memilih: apakah mereka akan terus membiarkan otoritas legal-rasional mencekik demokrasi lokal dan membuka ruang bagi hegemoni Ormas/LSM, ataukah mereka akan mengembalikan kedaulatan kepada masyarakat yang sebenarnya berhak memimpin di rumahnya sendiri.