TANGERANGNEWS.com- Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru terkait dunia kerja di Indonesia. Dalam Laporan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia per Februari 2025, mayoritas tenaga kerja nasional masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah, yakni sebesar 35,89 persen.
Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor pertanian, perdagangan, dan konstruks, yakni bidang yang lebih mengandalkan tenaga fisik ketimbang ijazah.
Sementara itu, lulusan SMA menyumbang 20,63 persen dari total pekerja aktif, disusul lulusan SMP 17,81 persen, dan SMK 12,84 persen. Namun yang mengejutkan, lulusan sarjana dan diploma hanya menempati porsi 12,8 persen.
Artinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, belum tentu memperbesar peluang untuk terserap di dunia kerja.
Bahkan, angka pengangguran dari kalangan sarjana justru meningkat. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk lulusan perguruan tinggi mencapai 6,23 persen, naik dibanding tahun lalu. Kondisi ini mencerminkan adanya ketimpangan antara ekspektasi lulusan dengan realita pasar kerja.
Dalam laporan BPS, disebutkan banyak lulusan sarjana menolak masuk ke sektor informal atau pekerjaan teknis karena merasa tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Fenomena ini dikenal sebagai aspirational mismatch dan reservation wage gap, di mana pencari kerja menunggu posisi “ideal” yang sering kali tak segera tersedia.
Sebaliknya, lulusan pendidikan vokasi seperti diploma menunjukkan tren yang lebih stabil. Jumlah pengangguran diploma turun dari 305 ribu orang pada 2020 menjadi 170 ribu orang di tahun 2024.
Pendidikan yang lebih aplikatif dan sesuai kebutuhan industri dinilai sebagai kunci keberhasilan mereka dalam mengisi sektor formal.
Namun, masih ada pekerjaan rumah besar bagi sistem pendidikan tinggi Indonesia. Konektivitas kampus dengan dunia kerja masih lemah, kurikulum lamban beradaptasi, dan semangat kewirausahaan belum kuat.
McKinsey Global Institute mencatat, hanya 40 persen warga usia 25-34 tahun di Indonesia yang menamatkan pendidikan menengah atas. Selain itu, hanya terdapat 400 peneliti per satu juta penduduk, jauh tertinggal dari negara maju.