TANGERANGNEWS.com – Industri media tengah berada pada persimpangan jalan. Ketergantungan pada iklan sebagai sumber utama pendapatan tidak lagi mencukupi untuk menopang biaya produksi jurnalistik.
Sementara itu, arus disrupsi digital, perubahan perilaku audiens, hingga dominasi platform global terus menekan daya tahan media.
CEO Suara.com Suwarjono menilai, tantangan utama media saat ini adalah keberlangsungan hidup. “Isu kekinian yang paling berat soal keberlangsungan hidup media. Jurnalisme sekarang kesulitan membiayai biaya produksi. Banyak media yang tidak bisa menangani gelombang badai ini,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam acara Media Summit 2025 di Bandung, Jawa Barat.
Menurutnya, strategi paling realistis adalah diversifikasi bisnis. Media tidak bisa lagi hanya bergantung pada pemberitaan, melainkan harus memiliki lini usaha lain yang menopang keuangan.
“Model bisnis media ketika dibantu oleh unit usaha lain, itu rata-rata bisa bertahan. Jadi salah satu cara memperpanjang usia media adalah menemukan bisnis di luar pemberitaan,” jelasnya.
Pengalaman Suara.com selama satu dekade menunjukkan bahwa inovasi dan keberanian melakukan trial and error menjadi kunci. “Hal ini yang membuat kami bisa survive hingga kini tanpa layoff,” tambahnya.
Namun, diversifikasi saja belum cukup. CEO Tempo Wahyu Dhyatmika menggarisbawahi adanya paradoks antara nilai yang diciptakan media dan nilai yang berhasil dimonetisasi.
“Apa manfaat berita kita untuk publik dan demokrasi, apa manfaat untuk pasar? Masalahnya, ada kesenjangan besar antara nilai yang diciptakan dan nilai yang bisa dikonversi jadi pendapatan,” katanya.
Ia mengungkap, pendapatan dari langganan Tempo hanya menutup 15 persen biaya produksi. “Artinya, dengan mengandalkan adsense dan pageview jelas tidak cukup membiayai redaksi,” tegas Wahyu.
Karena itu, ia menilai intervensi negara diperlukan untuk menutup kegagalan pasar, misalnya lewat insentif pajak untuk karyawan media.
Peluang bagi Media Lokal
Meski banyak tantangan, peluang tetap terbuka terutama bagi media lokal. Eva Danayanti dari International Media Support (IMS) menilai, relevansi dengan audiens sekitar menjadi kunci keberlanjutan.
“Media lokal jangan terjebak ambisi jadi besar. Yang penting relevan dengan konteks lokal. Pembaca tidak hanya diperlakukan sebagai konsumen pasif, tapi harus dilibatkan,” jelasnya.
Kata dia, tahun 2025 menjadi momen krusial. Media yang berani berubah berpotensi bertahan, sementara yang tetap mengandalkan pola lama berisiko tenggelam dalam pusaran disrupsi digital.