Connect With Us

Koperasi Merah Putih, Antara Janji Pemberdayaan dan Realitas Politik

Rangga Agung Zuliansyah | Minggu, 15 Juni 2025 | 16:13

Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia

 

TANGERANGNEWS.com-Program Koperasi Merah Putih yang digulirkan pemerintah Indonesia adalah sebuah inisiatif yang sarat makna. Di satu sisi, ia membawa janji besar untuk memberdayakan ekonomi akar rumput, menghidupkan kembali semangat gotong royong di desa-desa, dan mewujudkan cita-cita demokrasi ekonomi yang telah lama diamanatkan konstitusi kita. Namun, di sisi lain, setiap program pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat luas tak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang kompleks, yang bisa jadi membentuk, bahkan mengubah, esensi dari tujuan mulia itu sendiri.

Sejarah koperasi di Indonesia, dan di banyak belahan dunia, adalah kisah tentang inisiatif murni dari bawah. Ia lahir dari kesadaran kolektif masyarakat yang merasakan senasib sepenanggungan, yang bersatu untuk mengatasi kesulitan ekonomi, menepis cengkeraman rentenir, atau sekadar mendapatkan akses yang lebih adil terhadap kebutuhan pokok. Semangat gotong royong menjadi fondasi utamanya, sebuah kekuatan yang tak terukur dalam membangun kemandirian. Namun, ketika koperasi kini diangkat menjadi sebuah "program pemerintah" dengan suntikan dana dan target yang masif, muncul pertanyaan krusial: bisakah roh kemandirian dan gotong royong itu tetap hidup, ataukah ia akan tergerus oleh intervensi dari atas?

Pemerintah, dalam perannya sebagai agen pembangunan, seringkali melihat intervensi sebagai keniscayaan untuk menggerakkan roda ekonomi, terutama di sektor-sektor yang belum optimal. Dalam literatur ilmu politik, pendekatan ini dikenal sebagai konsep "negara pembangunan" (developmental state), di mana negara secara aktif memimpin dan mengarahkan pembangunan ekonomi. Para ahli seperti Atul Kohli, dalam karyanya State-Directed Development, telah mengulas bagaimana beberapa negara berhasil mendorong industrialisasi pesat melalui intervensi yang kohesif. Meredith Woo-Cumings, dalam bukunya The Developmental State, juga menyoroti bagaimana kombinasi pengaruh politik, birokrasi, dan modal membentuk kehidupan ekonomi di negara-negara yang menganut model ini. Pertanyaannya, apakah Koperasi Merah Putih akan menjadi contoh intervensi yang kohesif dan efektif, ataukah ia akan tersandung pada tantangan birokrasi dan kepentingan yang terfragmentasi?   

Namun, ada pula pandangan kritis yang perlu kita renungkan. Beberapa ekonom politik, seperti yang diulas dalam buku The Political Economy of State Intervention oleh Poynter, berpendapat bahwa intervensi negara, terutama di ekonomi yang sudah mapan, kadang kala lebih bertujuan untuk "melestarikan modal" atau menopang tatanan ekonomi yang ada, ketimbang mendorong dinamisme produktif yang sejati. Jika ini yang terjadi pada Koperasi Merah Putih, maka dukungan pemerintah, alih-alih memicu kemandirian, justru bisa menciptakan ketergantungan yang kronis. Koperasi bisa berubah menjadi "proyek" yang hidup dari subsidi, bukan dari kekuatan internal anggotanya.   

Lebih jauh lagi, hubungan antara pemerintah dan Koperasi Merah Putih tak luput dari bayang-bayang klientelisme dan patronase. Klientelisme, sebagaimana dijelaskan oleh Herbert Kitschelt dalam Patrons, Clients and Policies atau Diego Abente Brun dan Larry Diamond dalam Clientelism, Social Policy, and the Quality of Democracy, adalah pertukaran antara barang atau jasa dengan dukungan politik. Dalam konteks Koperasi Merah Putih, ini bisa berarti bahwa manfaat—seperti subsidi, pinjaman, atau akses pasar—mungkin diberikan berdasarkan loyalitas politik, bukan semata-mata pada kebutuhan atau merit. Jika ini terjadi, prinsip-prinsip demokrasi koperasi yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan akan terkikis, mengubah koperasi dari wadah perjuangan rakyat menjadi alat politik. Kualitas demokrasi, baik di dalam koperasi maupun dalam interaksinya dengan negara, akan menurun drastis.   

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah implementasi kebijakan di lapangan. Sebuah kebijakan, betapapun mulianya di atas kertas, seringkali menghadapi jurang pemisah yang lebar antara niat dan kenyataan. Handbook of Public Policy Implementation yang disunting oleh Fritz Sager, Céline Mavrot, dan Lael R. Keiser, menyoroti kompleksitas ini, terutama dalam sistem pemerintahan multi-level seperti Indonesia. Kapasitas birokrasi di tingkat lokal, koordinasi antarlembaga, dan kemauan politik para "birokrat tingkat jalanan" akan sangat menentukan apakah Koperasi Merah Putih benar-benar bisa tumbuh atau hanya menjadi formalitas belaka. Jika ada kesenjangan implementasi, itu bisa menjadi indikasi bahwa komitmen negara mungkin lebih bersifat retoris daripada substansial.   

Pada dasarnya, koperasi adalah sebuah entitas yang secara inheren menantang hierarki dan eksploitasi yang lazim dalam sistem kapitalisme konvensional. Pemikir seperti Peter Ranis, dalam Cooperatives Confront Capitalism: Challenging the Neoliberal Economy, melihat koperasi sebagai "keberangkatan besar dari hierarki kerja" dan sebuah cara untuk meningkatkan kehidupan pekerja. Bahkan Jossa, dalam The Political Economy of Cooperatives and Socialism, berpendapat bahwa sistem koperasi produsen diperlukan untuk memunculkan mode produksi yang benar-benar sosialis dan demokratis. Koperasi Merah Putih, dengan penekanannya pada kerja kolektif untuk tujuan kolektif, seharusnya menjadi manifestasi dari demokrasi ekonomi.   

Namun, keterlibatan negara yang terlalu dalam membawa risiko kooptasi. Koperasi bisa kehilangan otonominya dan menjadi bergantung pada negara, sehingga mengencerkan potensi transformatifnya. Seperti yang diulas dalam Explaining Civil Society Development oleh Lester M. Salamon dan rekan-rekannya, organisasi masyarakat sipil—termasuk koperasi—harus menavigasi otonominya sambil berinteraksi dengan negara. Ada paradoks antara potensi demokrasi internal koperasi yang kuat dengan pengaruh politik eksternalnya yang seringkali terbatas, seperti yang dianalisis oleh Gerd Schönwälder dalam Linking Civil Society and the State. Negara mungkin mentoleransi atau bahkan mempromosikan koperasi selama mereka beroperasi dalam batasan yang ditentukan dan tidak menimbulkan tantangan signifikan terhadap tatanan politik yang ada.   

Maka, untuk memastikan Koperasi Merah Putih benar-benar menjadi kekuatan ekonomi dan sosial yang transformatif, pemerintah perlu bergeser dari pendekatan "pemberian" menjadi "pemberdayaan sejati." Ini berarti fokus tidak hanya pada penyaluran dana, tetapi pada edukasi intensif tentang prinsip-prinsip koperasi, mendorong partisipasi anggota yang otentik sejak awal, memastikan tata kelola yang transparan, dan memberikan pendampingan berkelanjutan hingga koperasi mampu berdiri di kaki sendiri. Jika ini terwujud, Koperasi Merah Putih bukan hanya akan menjadi sebuah program pemerintah, melainkan sebuah gerakan rakyat yang mandiri, menghidupkan kembali semangat gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa, dan meninggalkan warisan politik yang jauh lebih berharga daripada sekadar angka-angka di atas kertas.

OPINI
Koperasi Merah Putih, Antara Janji Pemberdayaan dan Realitas Politik

Koperasi Merah Putih, Antara Janji Pemberdayaan dan Realitas Politik

Minggu, 15 Juni 2025 | 16:13

Program Koperasi Merah Putih yang digulirkan pemerintah Indonesia adalah sebuah inisiatif yang sarat makna.

MANCANEGARA
Mayoritas Pekerja Indonesia Lulusan SD, Sarjana Paling Banyak Menganggur

Mayoritas Pekerja Indonesia Lulusan SD, Sarjana Paling Banyak Menganggur

Minggu, 1 Juni 2025 | 10:35

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru terkait dunia kerja di Indonesia. Dalam Laporan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia per Februari 2025, mayoritas tenaga kerja nasional masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah

SPORT
Eks Pelatih Persija Berlabuh ke Persita Tangerang

Eks Pelatih Persija Berlabuh ke Persita Tangerang

Jumat, 13 Juni 2025 | 10:54

Persita Tangerang resmi menunjuk Carlos Pena sebagai pelatih kepala baru untuk menghadapi kompetisi Liga 1 musim 2025/2026.

BISNIS
Perusahaan Rantai Dingin Korea Jaga Distribusi Produk Kesehatan Tetap Aman Sampai ke Pelosok Indonesia

Perusahaan Rantai Dingin Korea Jaga Distribusi Produk Kesehatan Tetap Aman Sampai ke Pelosok Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 | 22:08

AIMT.Co. LTD. (Advanced Insulation Materials & Technology), sebuah perusahan asal Korea Selatan yang memproduksi rantai dingin distribusi (cold chain distribution), berupaya menjaga produk-produk kesehatan yang dikirim ke berbagai daerah

""Kekuatan dan perkembangan datang hanya dari usaha dan perjuangan yang terus menerus""

Napoleon Hill