Connect With Us

Menyikapi Paradoks Indonesia di Hari Kemerdekaan

Rangga Agung Zuliansyah | Sabtu, 16 Agustus 2025 | 18:58

Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia.

 

TANGERANGNEWS.com-Setiap 17 Agustus, Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan dengan penuh sukacita. Momen ini selalu dipenuhi dengan upacara, pawai, dan perenungan atas perjalanan panjang bangsa yang telah merdeka dari penjajahan. Namun, di balik perayaan tersebut, satu pertanyaan besar terus mengemuka: Apakah kita benar-benar merdeka? Apakah kemerdekaan yang kita rayakan selama ini benar-benar mencerminkan cita-cita yang digagas oleh para pendiri bangsa?

Jika kita menggali lebih dalam Paradoks Indonesia, buku yang ditulis oleh Prabowo Subianto, jawabannya tidaklah sederhana. Dalam buku ini, Prabowo mengungkapkan sebuah ironi besar: meskipun Indonesia telah merdeka lebih dari tujuh dekade, kemerdekaan yang sesungguhnya belum pernah tercapai. Ketimpangan sosial, ketidaksetaraan ekonomi, dan kesenjangan antara pusat dan daerah masih menjadi masalah yang menghambat perjalanan bangsa. Paradoks Indonesia menekankan bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya tidak hanya sebatas kebebasan politik, tetapi juga kebebasan sosial dan ekonomi yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Namun, meskipun buku ini mengusulkan solusi untuk mengatasi masalah tersebut, kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah saat ini tampaknya belum sepenuhnya mengarah pada pemecahan masalah yang diidentifikasi Prabowo. Di sinilah muncul pertanyaan penting: mengapa visi yang tertulis dalam buku tersebut tidak tercermin dalam kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah?

 

Pemimpin Dunia dan Visi dalam Buku Mereka

Banyak pemimpin dunia yang menuliskan visi dan misi mereka dalam buku, yang kemudian menjadi pedoman utama dalam merumuskan kebijakan pemerintahannya. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap selaras dengan prinsip dan nilai yang mereka perjuangkan. Sebagai contoh, Bill Clinton menulis My Life, yang tidak hanya menceritakan perjalanan hidupnya, tetapi juga menyampaikan visi politiknya untuk masa depan Amerika. Begitu pula dengan Barack Obama yang menulis The Audacity of Hope, yang mengusung gagasan tentang Amerika yang lebih inklusif dan adil, serta mengarah pada kebijakan-kebijakan sosial yang berpihak pada rakyat banyak.

Para pemimpin ini memastikan bahwa kabinet mereka memahami visi yang tertuang dalam buku tersebut. Kebijakan yang dijalankan kabinet mereka adalah refleksi langsung dari pemikiran yang dituangkan dalam buku-buku tersebut. Buku-buku ini bukan sekadar karya sastra politik, tetapi menjadi landasan yang digunakan untuk membentuk kebijakan yang berdampak pada rakyat, menciptakan perubahan signifikan.

Lalu, bagaimana dengan Prabowo? Dalam konteks Indonesia, kita melihat adanya ketidaksesuaian antara visi dalam Paradoks Indonesia dan kebijakan yang dijalankan oleh kabinetnya. Sebagai penulis buku tersebut, seharusnya Prabowo dapat mengarahkan kabinetnya untuk mengimplementasikan visi yang ia tulis. Namun, kebijakan yang diambil selama ini terkesan lebih berpihak pada pembangunan infrastruktur besar yang menguntungkan kelompok elit, sementara ketimpangan sosial dan ekonomi yang diidentifikasi dalam bukunya tetap tidak tersentuh. Jika kabinet Prabowo tidak memahami atau mengabaikan visi yang tertulis dalam Paradoks Indonesia, kebijakan yang dihasilkan akan terpecah dan tidak terarah.

Dalam Paradoks Indonesia, Prabowo menyoroti pentingnya pemerataan dan keadilan sosial sebagai kunci untuk mencapai kemerdekaan yang sejati. Menurutnya, "Indonesia belum sepenuhnya merdeka, karena kemerdekaan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan sosial-ekonomi yang dapat dirasakan oleh setiap warga negara" (Prabowo, 2015). Sayangnya, kebijakan yang lebih mengutamakan proyek-proyek besar justru memperburuk ketimpangan yang ada. Proyek-proyek infrastruktur yang tidak merata ini cenderung menguntungkan kalangan elit dan perusahaan besar, sementara rakyat kecil, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil, tetap terpinggirkan. Hal ini jelas bertolak belakang dengan semangat yang tertuang dalam Paradoks Indonesia yang ingin menciptakan pemerataan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam hal ini, teori keadilan distributif yang diajukan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice memberikan perspektif penting. Rawls berpendapat bahwa ketimpangan dalam masyarakat hanya dapat diterima jika ketimpangan tersebut menguntungkan mereka yang paling tidak beruntung. Dalam konteks Indonesia, kebijakan pembangunan yang terus menerus menguntungkan elit dan memperburuk ketimpangan hanya akan semakin memperburuk ketidakadilan sosial. Kebijakan yang berpihak pada pemerataan, sebagaimana yang digagas dalam Paradoks Indonesia, adalah wujud dari keadilan yang harus dijalankan oleh pemerintah.

 

Kemerdekaan Sejati dan Penerapan Visi dalam Kebijakan

Hari Kemerdekaan, yang biasanya penuh dengan perayaan dan simbolisme, seharusnya menjadi waktu refleksi untuk menilai sejauh mana Indonesia telah mencapai tujuan kemerdekaannya yang sesungguhnya. Momen ini harus dijadikan saat untuk menguji apakah kebijakan yang dijalankan pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat banyak, ataukah hanya segelintir orang yang mendapatkan keuntungan dari ketimpangan yang ada.

Prabowo dalam Paradoks Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia belum benar-benar merdeka. Kemerdekaan sejati bukan hanya soal kebebasan politik, tetapi juga tentang kebebasan sosial-ekonomi yang dapat dirasakan oleh setiap warga negara. Buku ini harusnya menjadi pedoman bagi pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang inklusif, berpihak pada mereka yang paling terpinggirkan, dan memperjuangkan pemerataan yang selama ini menjadi cita-cita kemerdekaan.

Namun, jika kita melihat kebijakan yang ada, seperti kebijakan yang lebih mengutamakan sektor infrastruktur dan penguatan sektor-sektor yang lebih menguntungkan kalangan elit, maka kita dapat bertanya: apakah kita sudah mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya? Apakah kita sudah mencapai cita-cita para pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia negara yang adil dan makmur bagi seluruh rakyatnya?

Sebagaimana dikatakan oleh Joseph Stiglitz dalam The Price of Inequality, ketimpangan yang terus berkembang hanya akan merusak tatanan sosial dan menghambat kemajuan negara. Stiglitz menyatakan, “Ketimpangan yang ekstrem tidak hanya merusak struktur sosial, tetapi juga memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan memecah belah masyarakat” (Stiglitz, 2012). Jika Indonesia terus-menerus mengabaikan masalah ketimpangan ini, maka kita tidak akan pernah bisa merayakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Momen Hari Kemerdekaan bukan hanya sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dan tantangan yang masih harus dihadapi.

TEKNO
Menkomdigi Desak Roblox Perbaiki Sistem Perlindungan Anak

Menkomdigi Desak Roblox Perbaiki Sistem Perlindungan Anak

Kamis, 14 Agustus 2025 | 22:06

Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid meminta pengembang gim Roblox untuk memperbaiki sistem dalam platform-nya, agar sesuai dengan aturan perlindungan anak yang berlaku di Indonesia.

KOTA TANGERANG
Khusus 17 Agustus, Bus Tayo Kota Tangerang Gratis

Khusus 17 Agustus, Bus Tayo Kota Tangerang Gratis

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 19:04

Akhir pekan ini, Bus Rapid Transit (BRT) Trans Tangerang Ayo (Tayo) akan memberikan layanan spesial untuk seluruh masyarakat di Kota Tangerang.

BANTEN
Sekolah Rakyat di Tangerang Resmi Beroperasi, Tampung 150 Siswa se-Banten

Sekolah Rakyat di Tangerang Resmi Beroperasi, Tampung 150 Siswa se-Banten

Jumat, 15 Agustus 2025 | 17:25

Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 33 akhirnya resmi beroperasi di gedung sementara yang berlokasi di Asrama BLKI Tangerang Selatan (Tangsel), Jumat 15 Agustus 2025.

""Kekuatan dan perkembangan datang hanya dari usaha dan perjuangan yang terus menerus""

Napoleon Hill