Yuk Liburan, 5 Tempat Wisata Promo Diskon Spesial HUT ke-80 RI di Tangerang
Rabu, 13 Agustus 2025 | 14:35
Momen Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia semakin meriah dengan berbagai promo menarik dari sejumlah tempat wisata di Tangerang.
Oleh: Alpun Hasanah, Mahasiswi Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang
TANGERANGNEWS.com-Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mempertanyakan apakah gaji guru sepenuhnya harus ditanggung negara memantik reaksi luas di masyarakat. Kalimat itu seolah menempatkan guru—pilar utama pendidikan bangsa—sebagai “beban fiskal” alih-alih “investasi masa depan”. Padahal, sejak awal berdirinya republik, konstitusi telah menegaskan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan utama negara. Jika negara mulai ragu menanggung kesejahteraan guru, maka sesungguhnya negara sedang abai terhadap amanat konstitusi.
Menyebut guru sebagai beban negara juga sama artinya dengan mereduksi peran besar mereka dalam membentuk generasi penerus. Guru bukan sekadar pegawai yang digaji, tetapi pendidik yang menanamkan nilai, pengetahuan, dan karakter bangsa. Gaji yang layak bukan hadiah, melainkan hak mereka sebagai bagian dari investasi peradaban. Dengan gaji Rp 500 ribu, guru honorer sering dipaksa bertahan hidup di tengah biaya hidup yang terus melonjak. Apakah ini yang disebut beban? Atau justru bukti bahwa negara gagal menata prioritas anggaran?
Guru: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Terlupakan
Selama puluhan tahun, guru dikenal dengan sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Gelar ini seakan menegaskan bahwa guru adalah sosok mulia yang mendidik tanpa pamrih, membentuk generasi penerus bangsa dengan pengorbanan luar biasa. Namun, gelar itu seringkali hanya berhenti pada retorika. Dalam praktiknya, guru masih menjadi kelompok yang paling sering dikesampingkan dalam kebijakan negara. Ironinya, alih-alih diberi penghargaan dan kesejahteraan yang layak, justru mereka mendapat stigma baru: disebut sebagai “beban negara” oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Pernyataan itu tentu menohok nurani. Bagaimana mungkin sosok yang setiap hari berhadapan dengan keterbatasan, mengajar dengan dedikasi meski gaji tak seberapa, kini dituding sebagai penghambat pembangunan? Label ini menambah luka lama yang belum sembuh—ketidakadilan yang menahun dialami para guru, khususnya guru honorer, yang digaji Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan, jauh dari standar hidup layak.
Paradoks Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan di Indonesia memang menjadi salah satu yang terbesar dalam APBN, mencapai 20% dari total belanja negara. Namun, besarnya anggaran itu tidak otomatis menjadikan guru sejahtera. Sebagian besar dana terserap dalam birokrasi, proyek infrastruktur, dan program-program yang sering kali tidak menyentuh langsung kualitas hidup guru. Lalu, ketika hasil pendidikan dinilai kurang maksimal, guru dijadikan kambing hitam dan diberi label sebagai beban.
Paradoks ini menunjukkan adanya jurang antara angka di atas kertas dan realitas di lapangan. Di satu sisi, pemerintah mengklaim telah menggelontorkan anggaran besar. Di sisi lain, guru masih harus menunggu gaji yang telat, menanggung beban kerja berlebih, bahkan mengajar di sekolah tanpa fasilitas memadai. Maka, ironinya jelas: yang dianggap beban adalah pihak yang paling menderita dalam sistem pendidikan yang tidak adil.
Guru Honorer: Hidup dalam Ketidakpastian
Guru honorer adalah wajah nyata dari ironi pendidikan di Indonesia. Mereka mengajar dengan penuh dedikasi, namun statusnya tidak jelas. Ada yang sudah puluhan tahun mengabdi tanpa pernah diangkat menjadi PNS atau PPPK. Mereka tetap datang ke sekolah, mengajar dengan semangat, meski penghasilan tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan. Sebagian harus mencari pekerjaan sampingan, dari berjualan online hingga bekerja sebagai ojek, demi menutupi kebutuhan sehari-hari.
Menempatkan mereka sebagai “beban negara” jelas sebuah penghinaan. Jika ada pihak yang paling terbebani, sesungguhnya itu adalah guru honorer sendiri. Mereka terbebani oleh sistem yang tidak berpihak, kebijakan yang inkonsisten, serta janji-janji pemerintah yang tidak pernah ditepati. Pernyataan bahwa guru adalah beban negara justru menegaskan bahwa negara gagal memahami realitas kehidupan pendidik di lapangan.
Siapa Sebenarnya Beban Negara?
Sebelum melabeli guru sebagai beban, pertanyaan mendasar harus diajukan: siapa sebenarnya yang menjadi beban negara? Apakah guru dengan gaji pas-pasan yang tetap mengabdi demi pendidikan anak bangsa, atau para koruptor yang menggerogoti uang negara hingga triliunan rupiah? Jika korupsi bisa menyebabkan kerugian negara puluhan hingga ratusan triliun, maka jelas bahwa masalah utama bukanlah keberadaan guru, melainkan perilaku elite politik dan pejabat yang merampok uang rakyat.
Dengan logika sederhana, gaji guru, bahkan jika digabungkan seluruhnya, tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan oleh satu skandal korupsi besar. Maka, menyebut guru sebagai beban negara adalah bentuk pengalihan isu yang menyesatkan. Justru korupsi, birokrasi yang lamban, dan salah urus kebijakan pendidikanlah yang menjadi beban terbesar bagi negara.
Membangun Narasi Baru: Guru sebagai Investasi Bangsa
Indonesia tidak akan pernah maju jika terus menempatkan guru sebagai angka dalam laporan keuangan negara. Guru harus dilihat sebagai investasi jangka panjang, bukan beban jangka pendek. Negara-negara maju membuktikan hal itu. Finlandia, misalnya, menempatkan guru pada posisi terhormat dengan gaji tinggi dan pelatihan berkelanjutan. Korea Selatan bahkan menjadikan guru sebagai salah satu profesi paling bergengsi. Hasilnya, kualitas pendidikan mereka melesat jauh ke depan.
Indonesia seharusnya belajar dari sana. Dengan memuliakan guru, memberikan kesejahteraan yang layak, dan memperbaiki sistem pendidikan, barulah bangsa ini bisa bermimpi bersaing di tingkat global. Narasi “guru beban negara” harus dihapus dan diganti dengan narasi baru: “guru adalah pondasi bangsa”. Tanpa itu, kita hanya akan terus terjebak dalam ironi pendidikan, di mana pahlawan tanpa tanda jasa terus dikorbankan demi kepentingan politik dan hitung-hitungan anggaran semata.
Momen Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia semakin meriah dengan berbagai promo menarik dari sejumlah tempat wisata di Tangerang.
Kementerian Keuangan menepis beredarnya video di media sosial yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani disebut menyebut guru sebagai beban negara.
Hujan yang mengguyur wilayah Kota Tangerang dan sekitarnya menyebabkan banjir di sejumlah titik, sejak Minggu 6 Juni 2025, malam. Bahkan peristiwa ini menjadi pemberitaan di media Malaysia.
Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum (Kemenkum) Banten mencatat dari 1.552 desa/kelurahan di Provinsi Banten, baru terbentuk 47 Pos Bantuan Hukum (Posbakum).