Oleh: Hanum Hanindita, S.Si., Penulis Atikel Islami
TANGERANGNEWS.com-"Ketika kamu mengeluh karena merasa terbebani dengan tugas-tugasmu, ingatlah banyak pengangguran di luar sana yang sangat berharap punya pekerjaan seperti kamu".
Kata-kata mutiara demikian nampaknya sangat relate dengan kondisi dunia kerja sekarang. Tak dimungkiri mencari pekerjaan dalam kondisi ekonomi saat ini sangatlah sulit. Saking sulitnya mencari kerja tak sedikit pekerja yang tetap bertahan sekalipun berada dalam lingkungan toxic dan tersiksa beban pekerjaan yang begitu berat. Dari kondisi seperti ini, muncullah tren fenomena job hugging.
Tren bertahan di satu pekerjaan demi rasa aman, atau disebut job hugging, kini semakin menjamur di banyak perusahaan. Menurut Jennifer Schielke, CEO dan salah satu pendiri Summit Group Solutions fenomena job hugging muncul pasca pasar tenaga kerja melambat dan kekhawatiran terkait kondisi ekonomi meningkat. Gelombang PHK yang muncul setelah masa pemulihan dari periode Covid 2020, justru memperburuk keamanan di pasar kerja yang sudah terdampak. Ia juga menyampaikan job hugging menciptakan fantasi loyalitas, tapi sebenarnya stagnasi (lifestyle.kompas.com, 19-09-25)
Penyebab Fenomena Job Hugging
Guru Besar UGM menyebut munculnya fenomena job hugging (kecenderungan untuk tetap bertahan dalam satu pekerjaan yang tengah dijalani, meskipun sudah tidak memiliki minat dan motivasi dalam pekerjaan tersebut) karena faktor ketidakpastian pasar kerja. Lulusan PT misalnya, terjebak dalam job hugging demi keamanan finansial dan stabilitas. Lebih baik asal kerja daripada menjadi pengangguran intelektual.
Namun perlu kita sadari, sejumlah penyebab fenomena job hugging baru sekadar apa yang terlihat di permukaan. Sesungguhnya ada akar masalah yang menyebabkan faktor-faktor penyebab job hugging bermunculan. Dan problem mendasarnya adalah masalah yang bersifat sistemis.
Penyebab fenomena job hugging makin banyak diawali karena dampak dari kapitalisme global yang gagal menjamin pekerjaan bagi rakyat. Kapitalisme meniscayakan terciptanya posisi superior dan inferior di dunia kerja. Dalam hal ini, posisi superior ditempati oleh pihak swasta, sebab industri atau usaha dari pihak swasta lebih masif merekrut pekerja, dibandingkan dengan usaha milik negara. Dengan pola seperti ini, pihak swasta mengambil alih kewajiban negara untuk menyediakan lapangan kerja.
Berkuasanya pihak swasta dalam menciptakan lapangan kerja tak lepas dari negara yang melegalkan sumber daya pada segelintir kapitalis. Ini justru menjadi modal raksasa bagi mereka dalam menciptakan industri-industri. Belum lagi banyak industri yang menerapkan kebijakan zalim untuk pekerjanya seperti pembayaran upah yang minim, beban kerja terlalu berat dan PHK yang bisa terjadi tanpa mengenal waktu.
Di sisi lain, praktik ekonomi non riil dan ribawi juga terjadi pada sistem kapitalisme. Hal ini terjadi karena sistem ini berpusat pada keuntungan, dan sektor non-riil seperti pasar saham menawarkan peluang keuntungan yang tinggi dengan cepat, meski tidak berhubungan langsung dengan produksi barang dan jasa. Sektor ini dapat menciptakan "gelembung ekonomi" yang meningkatkan harga aset secara tidak rasional dan menjadi salah satu penyebab krisis keuangan. Dampak lain dari adanya sektor ekonomi non rill adalah minimalnya serapan tenaga kerja karena tidak berfokus pada dihasilkannya produk berupa barang atau jasa sehingga pertumbuhan ekonomi pun terhambat.
Selanjutnya adalah kapitalisme global yang berimbas pada sistem pendidikan dan berujung pada kualitas tenaga kerja. Meskipun pada sistem kapitalisme, kurikulum PT disiapkan untuk adaptif dengan dunia kerja, tetapi prinsip liberalisasi perdagangan (termasuk perdagangan jasa) menjadikan negara lepas tangan dalam memastikan warganya bisa bekerja, untuk memenuhi kebutuhan dasar atau pokok mereka. Maka lumrah kita temui, lulusan sarjana yang menganggur karena sulit mencari kerja atau bekerja bukan pada bidangnya.
Dengan begitu dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari kapitalisme global maka berujung pada kondisi perekonomian yang semakin krisis. Maka wajar saja jika terjadi banjir job hugging, sebab seseorang tetap butuh pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup yang biayanya terus meroket. Mereka tak peduli meski tertekan secara mental dan fisik sebab jika pekerjaan dilepaskan, risiko sangat berat akan dihadapi, yakni kesulitan mendapatkan pekerjaan baru apalagi pekerjaan yang sesuai harapan dan menyebabkan sulit juga membiayai hidup.
Inilah kiranya potret gelap yang terjadi di dunia kerja. Selama kapitalisme masih menjadi hegemoni, fenomena job hugging tak akan berhenti dan jaminan pekerjaan untuk rakyat tak akan tercapai. Di sisi lain, pekerja pun akan menghadapi tekanan baik fisik maupun mental akibat terpaksa bertahan dari beban kerja yang berat atau lingkungan kerja yang tak sehat demi memenuhi kebutuhan hidup.
Solusi Tuntas Problem Job Hugging
Pada hakikatnya, dunia kerja memang tak selamanya menyenangkan. Hanya saja dengan manajemen yang tepat, para pekerja bisa tetap merasakan kenyamanan meski menghadapi tantangan dunia kerja. Hal ini tentunya tak lepas dari peran negara dalam mengurusi kebutuhan pekerjaan bagi rakyatnya.
Solusi yang diberikan untuk mengatasi fenomena job hugging haruslah bersifat sistemis agar bisa menyelesaikan masalah dari akarnya, dan Islam memberikan jawaban atas itu semua. Solusi yang diberikan oleh Islam dalam mengurai problem job hugging di antaranya adalah:
Pertama, negara berperan sebagai penanggung jawab utama mengurus rakyat. Negara wajib menyediakan lapangan kerja yang memadai. Hal ini terdapat pada Kitab Muqaddimah ad- Dustur pasal 153. Pasal 153 dalam kitab ini secara umum menekankan tanggung jawab negara dalam menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi warganya yang lemah atau membutuhkan.
Referensi dalam pasal tersebut biasanya merujuk pada hadis Nabi Muhammad saw. seperti "Siapa saja yang meninggalkan harta, itu adalah hak ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan orang lemah (yang tidak punya anak maupun orangtua), itu adalah urusan kami". Ini menegaskan bahwa urusan menafkahi orang-orang lemah adalah tanggung jawab kolektif umat Islam dan terutama negara.
Kedua, negara menyediakan lapangan kerja seluas mungkin dengan mengelola sumber daya alam, industrialisasi, ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), memberikan tanah produktif, memberikan bantuan modal, sarana dan keterampilan bagi warga yang membutuhkan.
Dengan dibukanya pintu kesempatan kerja yang luas, rakyat tidak akan kesusahan mencari kerja. Khususnya bagi laki-laki yang diamanahkan sebagai pencari nafkah. Sistem upah yang diterapkan pun akan memberikan rasa adil bagi pekerja karena besarnya upah sesuai dengan beban pekerjaan.
Ketiga, menerapkan sistem pendidikan Islam dari tingkat dasar hingga PT dengan output generasi berkepribadiam Islam. Dalam kesehariannya mereka berakidah Islam yang mantap, memiliki wawasan luas dan skill termasuk saat terjun ke dunia kerja. Ketika mereka masuk ke dunia kerja, selain memiliki keterampilan yang handal, saat bekerja pun ruh dan keimanan akan selalu menjadi bingkai aktivitas, sehingga rakyat melakukannya dengan dorongan ibadah, dan senantiasa mengikuti standar halal-haram.
Negara memfasilitasi semua ini dengan paradigma melayani urusan rakyatnya, juga dengan dorongan ibadah bukan dianggap sebagai beban. Dengan solusi ini dunia kerja bagi masyarakat termasuk bagi generasi muda akan menjadi terang benderang dan membawa berkah. Di satu sisi rakyat merasa ikhlas saat bekerja dan tenang memenuhi kebutuhan hidupnya, pada sisi yang lain apa yang mereka lakukan bernilai pahala di mata Allah Swt. terlebih karena keterampilan yang mereka berikan bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Dengan menerapkan solusi ini di level institusi yang menjadikan Islam sebagai pengatur negara maka tidak akan muncul fenomena job hugging atau pun potret gelap lain yang melanda dunia kerja. Wallahu'alam bishowab.